Tinjauan Agama Islam atas Hukuman Mati


oleh:
Adri Noor Rachman
Bentuk peraturan dalam ajaran Islam terdiri dari hudud dan ta’zir. Hudud adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggaran dan sanksinya sudah di atur secara pasti. Sedangkan ta’zir adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggarannya sudah di atur tetapi bentuk sanksinya di serahkan kepada negara[1]. 

Dalam agama Islam dikenal apa yang dinamakan kisas. Kisas yaitu memberikan perlakuan yang sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukannya terhadap korban[2]. Kisas diterapkan terhadap pelaku pembunuhan. Dasar berlakunya kisas ini adalah berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah, yakni surat kedua dari Al-Quran, ayat 178 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”[3]. Dalam penjelasannya diterangkan bahwa diat adalah suatu ganti rugi yang dibayarkan kepada ahli waris korban. Dalam hukum Islam hukuman mati dapat diganti dengan pembayaran ganti rugi kepada ahli waris korban apabila sebelumnya ahli waris korban telah memaafkan pelaku kejahatan pembunuhan atas apa yang dilakukannya. Selanjutnya dalam ayat 179 Allah SWT berfirman: “Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”[4]. 

Dalam Kitab Suci umat Islam ini terdapat surat yang isinya sangat jelas menunjukan bahwa Islam sejalan dengan teori absolut, yakni surat Al-Maaidah ayat 45 yang artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan hak qishaashnya, maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”. Surat ini dan surat-surat sebelumnya menunjukan bahwa Allah SWT menetapkan bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal bagi tindak pidana pembunuhan karena begitu beratnya akibat dari pembunuhan tersebut[5].

Adapun untuk diberlakukannya kisas terdapat beberapa syarat, yaitu:[6]

a. Pelaku seorang mukalaf, yaitu sudah cukup umur dan berakal.

b. Pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja.

c. Unsur kesengajaan dalam pembunuhan itu tidak diragukan lagi.

d. Pelaku pembunuhan tersebut melakukannya atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari orang lain.

Dalam hal terjadi pembunuhan yang melibatkan pelaku dan korban yang memiliki hubungan keturunan, maka kisas tidak dapat diberlakukan.

Mengenai kisas ini banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para pemuka agama Islam itu sendiri, di antaranya mengenai cara pelaksanaan kisas. Pendapat pertama mengatakan bahwa kisas hanya bisa dilakukan dengan pedang atau senjata, terlepas dari pembunuhan yang telah dilakukan menggunakan pedang atau tidak. Pendapat kedua mengatakan bahwa kisas itu dilakukan sesuai dengan cara dan alat yang digunakan pembunuh pada saat melakukan pembunuhan. Namun terdapat kesepakatan di antara ahli agama Islam bahwa apabila ada alat lain yang dapat lebih cepat menghabisi nyawa terpidana, maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama[7].

Bagi penegak hukum dalam negara Islam terdapat prinsip “Lebih baik salah memaafkan dari pada salah menghukum.”[8]. Prinsip ini menunjukan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman, khususnya hukuman mati. Apabila seseorang mengakui kesalahan yang telah dilakukannya serta bertaubat dengan sungguh-sungguh, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 34, maka ia akan di ampuni atas perbuatannya oleh Allah[9]. Penegak hukum Islam juga berpedoman pada ayat tersebut dalam menegakkan hukum Islam. Maka apabila seorang pelaku kejahatan menyerahkan diri lalu mengakui perbuatannya dan bertaubat, hendaknya menjadi suatu pertimbangan bagi para penegak hukum dalam proses penjatuhan hukuman.


[1] Miftah Faridl, “Pokok-pokok Ajaran Islam”, Pustaka, Bandung, 1996, hal. 156.

[2] Ensiklopedi Hukum Islam No.4, hal 1381.

[3] T.M. Hasbi Ashshiddiqi, dkk., “Al-Quran dan Terjemahannya”, Mujamma’ Khadim Al-Haramain Asy-Syarifain, Madinah, 1971, hal. 43.

[4] Ibid, hal. 44.

[5] Ahmad Wardi Muslich, “Hukum Pidana Islam”, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 136.

[6] Ensiklopedi Hukum Islam No. 4, op cit, hal. 1382.

[7] Ibid, hal. 1383.

[8] Miftah Faridl, op cit, hal. 157. 

[9] T.M. Hasbi Ashshiddiqi, dkk, op cit, hal. 164-165.

0 komentar: