PRINSIP-PRINSIP DASAR ATAU PEDOMAN PERUMUSAN/FORMULASI KETENTUAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh :

Barda Nawawi Arief
A. Prinsip Harmonisasi Kesatuan Sistem
1. Prinsip dasar atau prinsip umum yang harusdiperhatikan adalah :
* setiap perumusan ketentuan pidana dalam RUU di luarKUHP harus tetap berada dalam sistem        hukum pidana materiel (sistem pemidanaansubstantif) yang berlaku saat ini.
2. Sebagaimanadimaklumi, sistem hukum pidana substantif (sistem pemida-naan substantif) yangberlaku saat ini adalah sebagai berikut :  

a. Sistemhukum pidana materiel terdiri dari keseluruhan sistem per-aturanperundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP (sebagaiinduk aturan umum) dan UU khusus di luar KUHP. 

b. Keseluruhanperaturan perundang-undangan (“statutory rules”) di bidang hukum pidanasubstantif itu, terdiri dari “aturan umum” (“gene-ral rules”) dan“aturan khusus” (“special rules”). 

c. Aturanumum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat di dalam KUHP(Buku II dan III) maupun dalam UU Khusus di luar KUHP. Aturan khusus ini padaumumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturankhusus yang menyimpang dari aturan umum. 

Dengandemikian, sistem hukum pidana substantif yang berlaku saat ini dapatdigambarkan sebagai berikut :  

3. Dari gambar di atas terlihat, bahwa ketentuanpidana dalam UU khusus di luar KUHP merupakan sub-sistem dari keseluruhan sistemhukum pidana.

4. Sebagai sub-sistem, UU khusus terikat padaketentuan umum yang ada di dalam KUHP (Buku I). Namun patut dicatat, bahwaketentuan umum KUHP “yang mengikat (yang berlaku)” untuk UU khusus, hanyalahBab I s/d VIII (Pasal 1 s/d 85) Buku I KUHP, sepanjang UU khusus tidak membuatketentuan lain yang menyimpang (Lihat Pasal 103 KUHP).

5. Ketentuan umum dalam Bab IX Buku I KUHP(Pasal 86 s/d 102) hanya berlaku untuk KUHP, tidak untuk UU khusus di luarKUHP. 

6. Agar ada harmonisasi dan kesatuan sistemyang demikian, maka bagi setiap perancang UU khusus harus memahami danmenguasai keselu-ruhan sistem aturan umum dalam Buku I KUHP. Apabila tidak,akan timbul masalah-masalah juridis.

B. Masalah Perumusan Delik

1. Seperti terlihat dari gambar/pola sistem hukum pidanadi atas, perumusan delik (tindak pidana) dalam “aturan khusus” hanya merupakansub-sistem dari keseluruhan sistem hukum pidana (sistem pemidanaan). Artinya,perumusan delik (baik unsur-unsurnya, jenis deliknya, maupun jenispidana/sanksi dan lamanya pidana) tidak merupakan sistem yang berdiri sendiri.Untuk dapat diterapkan (dioperasionalkan/difungsikan), perumus-an delik itumasih harus ditunjang oleh sub-sub sistem lainnya, yaitu sub-sistem aturan/pedomandan asas-asas pemidanaan yang ada di dalam aturan umum KUHP atau aturan khususdalam UU khusus ybs.

2. Oleh karena itu, agar perumusan delik dapatoperasional, harus memper-hatikan aturan umum yang ada di dalam KUHP, antaralain sbb. :

a. KUHP membedakan “aturan umum”untuk tindak pidana yang berupa “kejahatan” dan “pelanggaran”. Artinya,kualifikasi delik berupa “keja-hatan” atau “pelanggaran” merupakan “kualifikasijuridis” yang akan membawa “konsekuensi juridis” yang berbeda. Oleh karena itu,setiap tindak pidana yang dirumuskan dalam UU khusus harus disebut kualifikasijuridisnya. Apabila tidak disebutkan, akan menimbulkan masalah juridis dalammenerapkan aturan umum KUHP terhadap UU khusus itu. Di dalam poduk legislatifselama ini, banyak sekali UU yang tidak menyebutkan/menetapkan kualifikasidelik (lihat lampiran).

b. Kualifikasi juridis/resmi menurutKUHP adalah “kejahatan dan pelang-garan”. KUHP tidak mengenal kualifikasijuridis berupa “delik aduan”, walaupun di dalam KUHP ada aturan umum tentang“mengajukan dan menarik kembali pengaduan” untuk kejahatan-kejahatan tertentu(tidak untuk “pelanggaran”). Oleh karena itu, apabila UU khusus menetapkansuatu tindak pidana sebagai “delik aduan” seperti dalam UU No. 14/2001 (Paten), UU No. 15/2001 (Merek), dan UU No. 23/ 2004 (KDRT), maka hal itu dapat menimbulkanmasalah juridis, karena ketiga UU itu :

- tidak menyebutkan delik mana yang dikualifikasikansebagai “keja-hatan” (padahal aturan umum delik aduan dalam KUHP hanya tertujuuntuk “kejahatan tertentu”);

- tidak menyebutkan siapa (subjek) yang berhak mengadu;

- tidak membuat aturan/ketentuan khusus lainnya yangberkaitan dengan masalah pengaduan itu.

c. KUHP tidak membuat aturan umumuntuk bentuk-bentuk tindak pidana (“forms of criminal offence”) yangberupa “permufakatan jahat”, “persiapan”, dan “pengulangan” (recidive). Ketigabentuk tindak pidana ini hanya diatur dalam aturan khusus (Buku II atau BukuIII). Artinya, ketentuan mengenai “permufakatan jahat”, “per-siapan”, dan“pengulangan” di dalam KUHP hanya berlaku untuk delik-delik tertentu dalam KUHP,tidak untuk delik di luar KUHP. Oleh karena itu, apabila UU khusus di luar KUHPmenyebut ketiga istilah juridis itu (misal dalam UU Psikotropika, UU TPKorupsi, UU Pencucian Uang, UU Terorisme), maka UU khusus itu harus mem-buataturan khusus/tersendiri mengenai hal itu. Apabila tidak, akan dapatmenimbulkan masalah juridis. 

Illustrasi : 

* Di dalam UU Narkotika, dijelaskan makna juridis daripengertian “permufakatan jahat” (dimasukkan dalam ketentuan umum Pasal 1 ke-17),sedangkan dalam UU lainnya tidak dijelaskan. 

* UU Psikotropika dan Narkotika membuat ketentuankhusus tentang “recidive”, sedangkan di dalam UU Korupsi tidak ada. 

 

C. Masalah Perumusan Sanksi Pidana dan Aturan Pemidanaan

1. Sanksi pidana pada umumnya dirumuskan dalam perumusandelik, walaupun ada juga yang dirumuskan terpisah dalam pasal (ketentuankhusus) lainnya. 

2. Sebagai bagian dari perumusan delik, maka perumusansanksi pidana juga merupakan sub-sistem yang tidak berdiri sendiri. Artinya,untuk dapat diterapkan (dioperasionalkan/difungsikan), perumusan sanksi pidanaitu masih harus ditunjang oleh sub-sub sistem lainnya, yaitu sub-sistematuran/pedoman dan asas-asas pemidanaan yang ada di dalam aturan umum KUHP atauaturan khusus dalam UU khusus ybs.

3. Oleh karena itu, agar perumusan sanksi pidana dapatoperasional, harus memperhatikan aturan umum yang ada di dalam KUHP, antaralain sbb. :

a. Dilihat dari sudut ”strafsoort”(jenis-jenis sanksi pidana), semua aturan pemidanaan di dalam KUHP berorientasipada “strafsoort” yang ada/ disebut dalam KUHP, baik berupa pidana pokokmaupun pidana tambahan. Oleh karena itu, apabila UU khusus menyebut jenis-jenispidana/tindakan lain yang tidak ada di dalam KUHP (misal ”pidana pengawasan”seperti disebut dalam UU No. 3/1997 tentang Penga-dilan Anak; pidana pembayaranganti rugi atau uang pengganti; dsb.), maka UU khusus itu harus membuat aturanpemidanaan khusus untuk jenis-jenis sanksi pidana itu.

b. Menurut pola KUHP, jenis pidanayang dirumuskan/diancamkan dalam perumusan delik hanya pidana pokok dan/ataupidana tam-bahannya. Pidana “kurungan pengganti” tidak dirumuskan dalam perumusandelik (aturan khusus), tetapi dimasukkan dalam aturan umum mengenai pelaksanaanpidana (“strafmodus”). Oleh karena itu, UU khusus tidak perlu memasukkanpidana kurungan pengganti se-bagai jenis pidana yang diancamkan dalam perumusandelik (seperti misalnya terlihat dalam UU:5/1999 ttg. “Larangan PraktekMonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”), terlebih apabila jumlah lama-nyakurungan pengganti itu tidak menyimpang dari aturan umum KUHP. Kalau punmenyimpang, perumusannya tidak dimasukkan sebagai “strafsoort” dalamperumusan delik, tetapi diatur tersendiri dalam aturan tentang pelaksanaanpidana (“strafmode/strafmodus”). 

c. Dilihat dari sudut “strafmaat”(ukuran jumlah/lamanya pidana), aturan pemidanaan dalam KUHP berorientasi padasistem minimal umum dan maksimal khusus, tidak berorientasi pada sistem minimalkhusus. Artinya, di dalam KUHP tidak ada aturan pemidanaan untuk ancaman pidanaminimal khusus. Oleh karena itu, apabila UU khusus membuat ancaman pidanaminimal khusus, maka harus disertai juga dengan aturan/pedoman penerapannya. DalamUU khusus selama ini, kebanyakan masalah ini tidak diatur, kecuali dalam UUTerorisme dan UU TP Korupsi, walaupun pengaturannya masih sangat sumir dan lebihtertuju pada batas-batas berlakunya pidana minimal itu. Menurut UU Terorisme,tidak berlaku untuk anak di bawah 18 tahun (Pasal 19); dan menurut UU TPK,tidak berlaku untuk TPK yang bernilai kurang dari 5 juta rupiah (Psl. 12A). 

d. Aturan pemidanaan umum dalam KUHPberorientasi pada “orang” (natural person), tidak ditujukan pada“korporasi”. Oleh karena itu, apabila UU khusus menyebutkan adanya sanksipidana untuk korpo-rasi, maka harus disertai juga dengan aturan khususpemidanaan un-tuk korporasi. Misal mengenai :

- aturan pertanggugjawaban korporasi;

- aturan pelaksanaan pidana denda untuk korporasi. 

 

 

 

D. Masalah Perumusan Subjek Tindak Pidanadan PJP Korporasi

1. Subjek tindak pidana dalam KUHP hanya“orang”, sehingga semua aturan pemidanaan di dalam KUHP diorientasikan pada“orang”, tidak pada korporasi.

2. Oleh karena itu, apabila UU khususmemperluas subjek TP pada korpora-si, seyogyanya juga disertai dengan aturanpemidanaan atau pertang-jawaban khusus untuk korporasi.

3. Di dalam perundang-undangan selama ini terlihathal-hal sbb. :

 

* Banyak yang memasukkan“korporasi” sebagai subjek tindak pidana, namun dengan berbagai variasiistilah; 

 

* Ada korporasi yang dijadikan subjek TP, tetapi UU ybs. tidak membuat ketentuanpidana atau “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi; 

 

* Dalam hal UU membuat ketentuanPJP korporasi, belum ada pola aturan pemidanaan korporasi yang seragam dankonsisten, antara lain terlihat hal-hal sbb. :

 

a. ada yang merumuskan dan ada yangtidak merumuskan “kapan korporasi melakukan TP dan kapan dapatdipertanggungjawab-kan”;

 

b. ada yang merumuskan dan ada yangtidak merumuskan, “siapa yang yang dapat dipertanggungjawabkan”.  

 

c. “jenis sanksi” :

- ada yang pidanapokok saja; ada yang pidana pokok dan tambahan; dan ada yang ditambah lagidengan tindakan “tata tertib”; 

- pidana denda adayang sama dengan delik pokok; ada yang diperberat; 

- ada yang menyatakandapat dikenakan tindakan tata tertib, tetapi tidak disebutkan jenis-jenisnya;

 

d. Jenis pidana/tindakan untuk korporasi,tidak berpola/tidak sera-gam. Kebanyakan hanya dikenakan pidana denda(bersifat “finan-cial sanction”), jarang yang berupa “Structuralsanctions“ atau “restriction on enterpreneurial activities” (pembatasankegiatan usaha; pembubaran korporasi) dan “Stigmatising sanctions”(pengumuman keputusan hakim; teguran korporasi).



0 komentar: