tag:blogger.com,1999:blog-4533668917731656472024-03-13T13:06:56.553-07:00rici's BlogINSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.comBlogger20125tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-44725273491703030602009-07-18T11:43:00.000-07:002009-07-18T11:44:36.480-07:00KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGAoleh :<br />citra dewi saputra<br /><br />BAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />1.1. Latar Belakang<br />Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana.1 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351-358.2 Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama kekerasan dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam UU No. 23 tahun 2004.<br />Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.<br /><br /><br />mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.<br />Keutuhan dan kerukunan Untuk rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya da-pat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak-adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.<br />Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai Hidden crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan<br />Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melak-sanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap marta-bat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.<br />Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.<br />Pembaruan hukum sangat diperlukan, khusus-nya tentang perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekera-san, terutama kekerasan dalam rumah tangga.Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.<br />Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:<br />UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya;<br />UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;<br />UU 1/1974 tentang Perkawinan;<br />UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan<br />UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.<br />Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.<br />Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saat-nya dibentuk Undang-Undang tentang Peng-hapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidi-kan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.<br /><span class="fullpost"><br />1.2.Permasalahan<br />Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan yang saya angkat dalam makalah ini yaitu :<br />1. Apakah Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT sudah bisa melindungi korban akibat kekerasan dalam rumah tangga ?<br />2. Apakah Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan bahan acuan dalam memutuskan perkara di pengadilan dalam tindakan KDRT atau mengacu pada KUHP Bab XX tentang penganiayaan pasal 351-358 ?<br />3. Faktor apa yang menyebabkan seorang suami tega melekukan tindak kekerasan dalam rumah tangga ?<br /><br /><br />BAB II<br />PEMBAHASAN<br /><br />2.1. Definisi Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga<br />Secara ringkas, definisi kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan.1<br />Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).<br /><br />Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.3<br />Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:<br />1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.<br />2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.<br />3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.<br />4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.<br />5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.<br /><br />Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga."5<br />Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP.<br />Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.<br />5. proyek penyuluhan hukum agama, UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan UU tentang pengadilan agama, jakarta:departemen agama, 1995/1996,hal 15<br />Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu:<br />“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”<br /><br />2.2. Bentuk dan Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga<br />Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu:6<br />1. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.<br />2. Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab.<br />6.Ratna batara munti(ed), advokasi legislatif untuk perempuan: sosialisasi masalah dan Draft RKUHP tentang KDRT, Jakarta: LBH APIK ,2000, hal 36<br />3. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.<br />4. Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun ekonomis.<br />Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.7<br />Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:8<br />1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya. <br />7.Pangemaran diana ribka,tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga,jakarta:program studi kajian wanita program pasca sarjana UI,1998, hal 78<br />8.istiadah pembagian kerja dalam rumah tanggaislam, jakarta: hal 18<br />2. Ketergantungan ekonomi.<br />Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya. <br />3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.<br />Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.<br />4. Persaingan<br />Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.<br />5. Frustasi<br />Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang<br />a. Belum siap kawin<br />b. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.<br />c. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua. <br />Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.<br />6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum<br />Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.<br /><br />2.3. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga <br />Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya.9 Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:<br />1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.<br />2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.<br />3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.<br />4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.10<br /><br />Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya. <br />Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.11<br />Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:<br />1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan<br />11.Tim kalyanamitra,menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, jakarta:kalyanamitra,pusat komunikasi dan informasi perempuan, 1999, hal 27<br />2. Tidak perlu menghormati perempuan<br />3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar<br />4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja<br />Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:12<br />1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan<br />2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil<br />3. Merasa disia-siakan oleh orang tua<br />Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima. <br />12. Farha ciciek, ikhtiar mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, belajar dari kehidupan Rasulullah SAW,Jakarta:lembaga kajian agama dan jender dengan perserikatan solidaritas perempuan, 1999, hal 37<br />2.4. Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekerasan (Fisik) Terhadap Istri- Dalam Rumah Tangga<br />1. Menurut Hukum Pidana<br />Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban.13<br />Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan yaitu "tiada pidana tanpa kesalahan" atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.14<br />Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa). <br />13.Aruan sakidjo dan bambang poernomo, hukum pidana,dasar aturan umum hukum pidana dalam kodifikasi,jakarta:Ghalia Indonesia,1990, hal 61<br />14.D.scaffmeister, N keijzer,dan E.PH.Sutorius,hukum pidana, yogyakarta:liberti, 1995 hal 82-86<br />Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.<br />Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: "Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun". Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: "Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”15<br />Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang berbunyi: "Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.” <br /><br />15. Moeldjatno, op.cit,hal 151,153<br />Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.<br />Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri, dan anaknya.16<br />Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.<br />Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis kelamin. <br />16.Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 150<br />2. Menurut UU No. 23 Tahun 2004<br />UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal.[19] Secara garis besar dapat penulis uraikan sebagai berikut: <br />Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).<br />Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:<br />a. Penghormatan hak asasi manusia<br />b. Keadilan dan kesetaraan jender<br />c. Anti diskriminasi, dan<br />d. Perlindungan korban<br />Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu: <br />a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga<br />b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga<br />c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga<br />d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera<br />Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.<br />Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:<br />a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan<br />b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis<br />c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban<br />d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan<br />e. Pelayanan bimbingan rohani<br />Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:<br />a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga<br />b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga<br />c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga<br />d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender<br />Adapun yang dimaksud dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15, yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:<br />a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana<br />b. Memberikan perlindungan kepada korban<br />c. Memberikan pertolongan darurat, dan<br />d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait<br />Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25.<br />Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari: <br /><br />a. tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal 40)<br />b. Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)<br />Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:<br />a. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- <br />b. Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-<br />c. Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-<br />d. Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-<br />Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).<br /><br /><br />BAB III<br />KESIMPULAN<br /><br />Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentangt KDRT sudah bisa melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 bab II, juga terdapat dalam bab IV pasal 10 yaitu: Cara melindungi korban dapat dilakukan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, advokad, lembaga sosial atau pihak lainnya.apabila dalam hal ini ada warga yang mendengar, melihat atau mengetahui telah terjadinya kekerasan terhadap rumah tangga di dalam lingkungannya maka wajib melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana; memberikan perlindungan terhadap korban; memberikan pertolongan darurat; membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.<br />Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan acuan dalam merumuskan perkara dalam tindakan kekerasan dalam rumah tangga karena undang-undang ini sudah disahkan, tetapi masih ada yang menggunakan KUHP Bab XX tentang penganiayaan dalam memutuskan perkara ini sesuai dengan kekerasan yang dilakukan si pelaku. KUHP pada dasarnya tidak mengenal kekerasan yang berbasis jender, itulah sebabnya dikeluarkan UU No.23 tahun 2004 yang mengatur secara khusus tentang kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam rumah tangga.<br /><br /><br />Banyak sekali faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, seorang suami dapat melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri jadi suami disini merasa dirinya yang berkuasa dan bebas melakukan apapun terhadap istrinya, ketergantungan ekonomi juga menyebabkan faktor kekerasan dalam rumah tangga karena disini hanya seorang suami yang mencari nafka sedangkan istri hanya bergantung pada suami maka hanya suami yang merasa berhak mengendalikan semuanya, menurut para suami dengan melakukan tindak kekerasan maka istrinya bisa menuruti semua kehendak dari suami maka kekerasan dijadikan alat untuk menyelesaikan konflik, frustasi seorang suami karena beberapa faktor seperti belum siap kawin, belum kerja menyebakan suami menjadi stes dan bisa melakukan kekerasan terhadap istri, persaingan antara suami dan istri dalam hal pendidikan, jabatan, pergaulan dapat menjadi faktor kerasan dalam rumah tangga.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Sakidjo, Aruan, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.<br />Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Panca Usaha, 2004.<br />Heise Lori L. Wits Jacquline Pitanguy and Adrianne Germain, Violence Againts Women, Washington DC.: World Bank Discussion Paper, 1994.<br />M.Rasyid Ariman,SH.,MH, Fahmi Raghib,SH.,MH, dan Syarifuddin Petanasse,SH.,MH.Hukum Pidana Dalam Kodifikasi.2007.<br />Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan, Whasington DC., 2000.<br />Maggi Humm, The Dictionary Of Feminist Theory, London: Harvester Wheatsheaf, 1989.<br />Proyek Penyuluhan Hukum Agama, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Dep. Agama, Dirjen Binbaga DEPAG., 1995/1996.<br />Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000.<br />Pangemaran Diana Ribka, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas Indonesia, 1998.<br />Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP.<br />Majalah Psikologi Empathy, KDRT Membuat Anakku Tak Sempat Lahir, No. 10/II/Juni 2005.<br />Ratna Batara Munti, loc. cit.<br />Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999.<br />Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW., Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999.<br />Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.<br />D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, 1995.<br />Moeldjatno, op.cit.<br />Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.<br /></span>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-91177227620654524872009-06-01T08:26:00.001-07:002009-06-01T08:26:57.572-07:00<span xmlns=''><p style='text-align: center'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>BAB I<br /></strong></span></p><p style='text-align: center'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>PENDAHULUAN<br /></strong></span></p><p style='text-align: center'><br /> </p><ol style='margin-left: 54pt'><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>LATAR BELAKANG <br /></strong></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan. <br /></span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 2pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat). <br /></span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 2pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Indonesia dari waktu ke waktu kian akrab dengan berbagai permasalahan sosial, hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya salah satu fenomena yang menjadi topik perbincangan terkini di masyarakat, yaitu masalah tentang pernikahan atau perkawinan anak di bawah umur. Bagaimana tidak ? Perkawinan tersebut telah memicu munculnya kontroversi yang hebat. Adapun 'tokoh' yang terlibat dalam problema tersebut adalah pelaku perkawinan di bawah umur beserta para pengikut atau pembela yang bertindak sebagai pihak yang pro, sedangkan masyarakat maupun pemerintah duduk sebagai pihak yang kontra<br /></span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 2pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal dengan Syekh puji, seorang pria setengah baya yang menikahi gadis belia yang belum genap berumur 12 tahun, menilai pernikahannya dengan anak tersebut benar dan sah di mata agama Islam. Ia mengungkapkan bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan sunnah Rasul dan tidak perlu diributkan khalayak ramai.<br /></span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 2pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis. <br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah sebagai berikut :<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>"Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. <br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun". Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. <br /></span></p><p style='text-align: justify'> <br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>Permasalahan <br /></strong></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dalam makalah ini penulis ingin mengankat permasalahan:<br /></span></p></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Bagaimana hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam ?<br /></span></div></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?<br /></span></div></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Bagaimana hokum perkawinan anak di bawah umur berdasarkan pandangan hokum adat ?<br /></span></div></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Bagaimana upaya menyikapi atau mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur ?<br /></span></div><p style='text-align: justify'><br /> </p></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>Tujuan <br /></strong></span></div></li></ol><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Tujuan dari ini adalah untuk :<br /></span></p><ol style='margin-left: 72pt'><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Menganalisis hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan berdasarkan Hukum adat.<br /></span></div></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Menciptakan upaya untuk menyikapi atau mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur.<br /></span></div></li></ol><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify; margin-left: 18pt'><br /> </p><p style='text-align: justify; margin-left: 18pt'><br /> </p><p style='text-align: justify; margin-left: 18pt'><br /> </p><p style='text-align: justify; margin-left: 18pt'><br /> </p><p style='text-align: center; margin-left: 18pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>BAB II <br /></strong></span></p><p style='text-align: center; margin-left: 18pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>TINJAUAN UMUM<br /></strong></span></p><p><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong> <br /></strong></span></p><ol style='margin-left: 56pt'><li><div><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN<br /></strong></span></div><ol><li><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>Pengertian Perkawinan<br /></strong></span></li></ol></li></ol><ul style='margin-left: 78pt'><li><div><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong><br /> </strong>Pengertian perkawinan menurut peraturan perundang- undangan<br /></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong> </strong>Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Tetapi menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu 'perikatan' (verbindtenis). Dalam hal ini marilah kita lihat kemabali dalam pada pada 26 KUH Perdata. Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.<sup><br /> </sup>Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.<br /></span></p><ul><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Pengertian perkawinan menurut Hukum Islam<br /></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatanantara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar berkehidupan keluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi, perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau <em>miitsaaqan gholiidhzan</em> untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.<br /></span></p></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Pengertian perkawinan menurut Hukum Adat<br /></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Perkawinan menurut huku adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan berarti sebagai "perikatan perdata" tetapi juga merupakan "perikatan adat" dan sekaligus merupakan "perikatan kekerabatan dan ketetanggaan". Jadi, terjadinya perikatan perkawinan buakn saja semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harat bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juuga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggan, serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan dengan manusia dengan Tuhannya(ibadah) maupun hubungan sesama manusia (mu'amalah) dalam pergaulan hidupagar selamat dunia dan akhirat.<br /></span></p><p style='text-align: justify'> <br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p></li></ul></li></ul><ol style='margin-left: 56pt'><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan<br /></strong></span></div></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Hakikat Perkawinan <br /></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri. <br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>b. Asas Perkawinan <br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).<br /></span></p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>c. Syarat Sahnya Perkawinan <br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI,<strong><br /> </strong>dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda. <br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. <br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman'> Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman'>d. Tujuan Perkawinan <br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman'> Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong> </strong>Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.<sup><br /> </sup><br /> </span></p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>C. Perkawinan Campuran<br /></strong></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong> </strong>Dalam pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena beda warga negara dan salah satu warga negaranya adalah warga negara Indonesia.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Jadi unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia dan masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan, yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman'> Dan syarat-syarat perkawinan campuran pada pasal pasal 59 ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan prinsip Lex loci actus yaitu menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut dilangsungkan. Hal ini berarti perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut hukum perkawinan Indonesia.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>D.</strong><br /> <strong>Perkawinan di Luar Negeri<br /></strong></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Menurut pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan warga negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (pasal 84 KUHPerdata).<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Pada pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar UU ini.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p><h4><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>E. Perkawinan Menurut Hukum Agama<br /></span></h4></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan. Kedua pasangan suami isteri tersebut menganut agama yang sama. Jika antara keduanya menganut agama yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya menganut agama calon lainnya tersebut.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: center'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>BAB III</strong><br /> </span></p><p style='text-align: center'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>PEMBAHASAN<br /></strong></span></p><p style='text-align: justify'><br /> </p></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>Hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam<br /></strong></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk sumber utama dari ajaran Islam, yakni Al Qur'an. Apakah Al Qur'an mengijinkan atau justru melarang pernikahan dari gadis ingusan di bawah umur? Yang jelas, tidak ada satu ayatpun yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang dapat dijadikan inspirasi untuk menjawab persoalan di atas, meski substansi dasarnya adalah tuntunan bagi muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Meski demikian, petunjuk Al Qur'an mengenai perlakuan anak yatim itu dapat juga kita terapkan pada anak kandung kita sendiri. Ayat tersebut adalah : "Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (mampu mengelola harta), maka serahkan kepada mereka harta bendanya." (Q.S. An Nisa' : 6).<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Dalam kasus anak yang ditinggal wafat orang tuanya, seorang bapak asuh diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji kedewasaan mereka "sampai usia menikah" sebelum mempercayakan pengelolaan keuangan sepenuhnya. Di sini ayat Al Qur'an mempersyaratkan perlunya tes dan bukti obyektif perihal kematangan fisik dan kedewasaan intelektual anak asuh sebelum memasuki usia nikah sekaligus mempercayakan pengelolaan harta benda kepadanya. Logikanya, jika bapak asuh tidak diperbolehkan sembarang mengalihkan pengelolaan keuangan kepada anak asuh yang masih kanak-kanak, tentunya bocah ingusan tersebut juga tidak layak, baik secara fisik dan intelektual untuk menikah. Oleh karena itu, sulit dipercaya, Abu Bakar As Shiddiq, seorang pemuka sahabat, menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun, untuk kemudian menikahkannya pada usia 9 tahun dengan sahabatnya yang telah berusia setengah abad. Demikian pula halnya, sungguh sulit dibayangkan bahwa Nabi SAW menikai gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun. Ringkasnya, pernikahan 'Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun itu bisa bertentangan dengan prasyarat kedewasaan fisik dan kematangan intelektual yang ditetapkan Al Qur'an. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa cerita pernikahan 'Aisyah gadis belia berusia 7 atau 9 tahun dengan Nabi SAW, itu adalah mitos yang perlu diuji kesahihannya. <br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Di samping persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di atas, seorang wanita sebelum dinikahkan harus ditanya dan dimintai persetujuan agar pernikahan yang dilakukannya itu menjadi sah. Dengan berpegang pada prinsip ini, persetujuan yang diberikan gadis belum dewasa (berusia 7 atau 9 tahun) tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun intelektual. Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakar meminta persetujuan puterinya yang masih kanak-kanak. Buktinya, menurut hadis riwayat Ibn Hanbal, 'Aisyah masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika mulai berumah tangga dengan Nabi SAW. Nabi SAW sebagai utusan Allah yang maha suci juga tidak akan menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun, karena hal itu tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan Islam tentang klausa persetujuan dari pihak istri. Besar kemungkinan pada saat Nabi SAW menikahi 'Aisyah, puteri Abu Bakar As Shiddiq itu adalah seorang wanita yang telah dewasa secara fisik dan matang secara intelektual.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Sebetulnya, dalam masyarakat Arab tidak ada tradisi menikahkan anak perempuan yang baru berusia 7 atau 9 tahun. Demikian juga tak pernah terjadi pernikahan Nabi SAW dengan 'Aisyah yang masih berusia kanak-kanak. Masyarakat Arab tak pernah keberatan dengan pernikahan seperti itu, karena kasusnya tak pernah terjadi. Menurut hemat kami, riwayat pernikahan 'Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun tak bisa dianggap valid dan reliable mengingat sederet kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain dalam catatan sejarah Islam klasik. Lebih ekstrim, dapat dikatakan bahwa informasi usia 'Aisyah yang masih kanak-kanak saat dinikahi Nabi SAW hanyalah mitos semata.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Nabi adalah seorang gentleman. Beliau takkan menikahi bocah ingusan yang masih kanak-kanak. Umur 'Aisyah telah dicatat secara kontradiktif dalam literatur hadis dan sejarah islam klasik. Karenanya, klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah Nabi SAW itu adalah bermasalah, baik dari sisi normatif (agama) maupun secara sosiologis (masyarakat). Jikalau riwayat-riwayat seputar pernikahan Nabi SAW dengan 'Aisyah yang masih kanak-kanak itu valid, itu juga tidak bisa serta merta dijadikan sandaran untuk mencontohnya. Tidakkah Nabi SAW itu memiliki previlige (hak istimewa) yang hanya diperuntukkan secara khusus untuknya, tapi tidak untuk umatnya? Contoh yang paling gamblang adalah kebolehan Nabi SAW menikahi lebih dari 4 orang istri.<br /></span></p><p><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>Hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia<br /></strong></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan, menurut UU no.1 tahun 1974 Pasal 6 ayat 1 : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat 2 : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 : perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin. <br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'> Selain itu juga Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 mencegah adanya perkawinan pasa usia anak-anak yaitu dimana dalam Pasal 1 tentang perlindungan anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam UU No. 23 tahun 2002 Pasal 4 : setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, Pasal 9 ayat 1 : Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, Pasal 11 : setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri, Pasal 13 ayat 1 : setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan (a) diskriminasi (b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual (c) penelantaran (d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan (e) ketidakadilan (f) perlakuan salah lainnya. Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak seperti yang tertulis di UU no. 23 tahun 2002 Pasal 26 ayat 1 : orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya (d) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.<br /></span></p><p style='text-align: justify'> <br /> </p></li><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>Hukum perkawinan anak di bawah umur berdasarkan pandangan hukum adat<br /></strong></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>hukum adat tidak menentukan batasan umur tertentu bagi orang untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat membolehkan perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam Hukum Adat perkawinan bukan saja merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di bawah umur atau perkawinan kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam Hukum Adat karena kedua suami isteri itu akan tetap dibimbing oleh keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua keluarga, sehingga Hukum Adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak.<strong><br /> </strong></span></p></li></ol><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p><br /> </p><p><br /> </p><ol style='margin-left: 56pt'><li><div style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>Upaya menyikapi atau mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur<br /></strong></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Pernikahan anak di bawah umur merupakan suatu fenomena sosial yang kerap terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit di permukaan atau yang terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini bisa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan 'Aisyah r.a. . Selain itu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan UU terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko-resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya diharapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak-anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p></li></ol><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: center; margin-left: 56pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong> BAB IV<br /></strong></span></p><p style='text-align: center; margin-left: 56pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>PENUTUP<br /></strong></span></p><p style='text-align: center; margin-left: 56pt'><br /> </p><ol style='margin-left: 56pt'><li><div><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>KESIMPULAN DAN SARAN<br /></strong></span></div><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya pernikahan tersebut.<br /></span></p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Pernikahan anak di bawah umur masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pandangan diantara pihak-pihak terkait dalam hal menyikapi pernikahan anak di bawah umur. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara Indonesia diharapkan bisa menjadi penengah diantara pihak-pihak yang berselisih dan mampu menegakkan regulasi terkait pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara dua belah pihak yaitu pemerintah dan masyarakat merupakan jalan keluar terbaik yang bisa diambil sementara ini agar pernikahan anak di bawah umur bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin keberadaannya di tengah masyarakat.<br /></span></p><p><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: justify'><br /> </p></li></ol><p style='text-align: justify'><br /> </p><p style='text-align: center'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><strong>DAFTAR PUSTAKA<br /></strong></span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 35pt'><br /> </p><p style='text-align: justify; margin-left: 85pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>H. Hilman Hadikusuma, Prof. <em>Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama</em>. Bandung: Mandar Maju. 2003.<br /></span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 28pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Islamlib.com<br /></span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 28pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'>Kompas.com<br /></span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 28pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><em>Kitab Undang-Undang Hukum Perdata</em><br /> </span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 28pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><em>Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan<br /></em></span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 28pt'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><em>Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak <br /></em></span></p><p style='text-align: justify; margin-left: 28pt'><br /> </p><p style='text-align: justify'><span style='font-family:Times New Roman; font-size:12pt'><em><br /> </em></span> </p></span>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-42804974061593468802009-02-14T07:52:00.000-08:002009-02-14T08:01:51.841-08:00KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA<div align="justify">oleh :<br />citra dewi saputra<br /><br />BAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />1.1. Latar Belakang<br /> Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana.1 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351-358.2 Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama kekerasan dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam UU No. 23 tahun 2004.<br />Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.<br /><br /><span class="fullpost"><br />mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.<br />Keutuhan dan kerukunan Untuk rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya da-pat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak-adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.<br /> Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai Hidden crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan<br />Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melak-sanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap marta-bat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.<br />Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.<br />Pembaruan hukum sangat diperlukan, khusus-nya tentang perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekera-san, terutama kekerasan dalam rumah tangga.Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.<br />Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:<br />UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya;<br />UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;<br />UU 1/1974 tentang Perkawinan;<br />UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan<br />UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.<br />Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.<br /> Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saat-nya dibentuk Undang-Undang tentang Peng-hapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidi-kan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.<br /><br />1.2.Permasalahan<br /> Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan yang saya angkat dalam makalah ini yaitu :<br />1. Apakah Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT sudah bisa melindungi korban akibat kekerasan dalam rumah tangga ?<br />2. Apakah Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan bahan acuan dalam memutuskan perkara di pengadilan dalam tindakan KDRT atau mengacu pada KUHP Bab XX tentang penganiayaan pasal 351-358 ?<br />3. Faktor apa yang menyebabkan seorang suami tega melekukan tindak kekerasan dalam rumah tangga ?<br /><br /><br />BAB II<br />PEMBAHASAN<br /><br />2.1. Definisi Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga<br />Secara ringkas, definisi kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan.1<br />Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).<br /><br />Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.3<br />Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:<br />1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.<br />2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.<br />3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.<br />4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.<br />5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.<br /><br />Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga."5<br />Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP.<br />Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.<br /> 5. proyek penyuluhan hukum agama, UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan UU tentang pengadilan agama, jakarta:departemen agama, 1995/1996,hal 15<br />Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu:<br />“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”<br /> <br />2.2. Bentuk dan Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga<br />Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu:6<br />1. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.<br />2. Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab.<br /> 6.Ratna batara munti(ed), advokasi legislatif untuk perempuan: sosialisasi masalah dan Draft RKUHP tentang KDRT, Jakarta: LBH APIK ,2000, hal 36<br />3. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.<br />4. Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun ekonomis.<br />Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.7<br />Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:8<br />1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya. <br /> 7.Pangemaran diana ribka,tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga,jakarta:program studi kajian wanita program pasca sarjana UI,1998, hal 78<br /> 8.istiadah pembagian kerja dalam rumah tanggaislam, jakarta: hal 18<br />2. Ketergantungan ekonomi.<br />Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya. <br />3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.<br />Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.<br />4. Persaingan<br />Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.<br />5. Frustasi<br />Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang<br />a. Belum siap kawin<br />b. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.<br />c. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua. <br />Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.<br />6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum<br />Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.<br /><br />2.3. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga <br />Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya.9 Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:<br />1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.<br />2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.<br />3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.<br />4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.10<br /><br />Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya. <br />Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.11<br />Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:<br />1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan<br /> 11.Tim kalyanamitra,menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, jakarta:kalyanamitra,pusat komunikasi dan informasi perempuan, 1999, hal 27<br />2. Tidak perlu menghormati perempuan<br />3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar<br />4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja<br />Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:12<br />1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan<br />2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil<br />3. Merasa disia-siakan oleh orang tua<br />Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima. <br /> 12. Farha ciciek, ikhtiar mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, belajar dari kehidupan Rasulullah SAW,Jakarta:lembaga kajian agama dan jender dengan perserikatan solidaritas perempuan, 1999, hal 37<br />2.4. Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekerasan (Fisik) Terhadap Istri- Dalam Rumah Tangga<br />1. Menurut Hukum Pidana<br />Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban.13<br />Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan yaitu "tiada pidana tanpa kesalahan" atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.14<br />Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa). <br /> 13.Aruan sakidjo dan bambang poernomo, hukum pidana,dasar aturan umum hukum pidana dalam kodifikasi,jakarta:Ghalia Indonesia,1990, hal 61<br /> 14.D.scaffmeister, N keijzer,dan E.PH.Sutorius,hukum pidana, yogyakarta:liberti, 1995 hal 82-86<br />Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.<br />Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: "Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun". Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: "Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”15<br />Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang berbunyi: "Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.” <br /><br /> 15. Moeldjatno, op.cit,hal 151,153<br />Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.<br />Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri, dan anaknya.16<br />Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.<br />Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis kelamin. <br /> 16.Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 150<br /> 2. Menurut UU No. 23 Tahun 2004<br />UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal.[19] Secara garis besar dapat penulis uraikan sebagai berikut: <br />Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).<br />Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:<br />a. Penghormatan hak asasi manusia<br />b. Keadilan dan kesetaraan jender<br />c. Anti diskriminasi, dan<br />d. Perlindungan korban<br />Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu: <br />a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga<br />b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga<br />c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga<br />d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera<br />Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.<br />Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:<br />a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan<br />b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis<br />c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban<br />d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan<br />e. Pelayanan bimbingan rohani<br />Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:<br />a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga<br />b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga<br />c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga<br />d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender<br />Adapun yang dimaksud dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15, yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:<br />a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana<br />b. Memberikan perlindungan kepada korban<br />c. Memberikan pertolongan darurat, dan<br />d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait<br />Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25.<br />Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari: <br /><br />a. tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal 40)<br />b. Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)<br />Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:<br />a. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- <br />b. Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-<br />c. Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-<br />d. Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-<br />Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).<br /><br /><br />BAB III<br />KESIMPULAN<br /><br /> Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentangt KDRT sudah bisa melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 bab II, juga terdapat dalam bab IV pasal 10 yaitu: Cara melindungi korban dapat dilakukan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, advokad, lembaga sosial atau pihak lainnya.apabila dalam hal ini ada warga yang mendengar, melihat atau mengetahui telah terjadinya kekerasan terhadap rumah tangga di dalam lingkungannya maka wajib melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana; memberikan perlindungan terhadap korban; memberikan pertolongan darurat; membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.<br /> Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan acuan dalam merumuskan perkara dalam tindakan kekerasan dalam rumah tangga karena undang-undang ini sudah disahkan, tetapi masih ada yang menggunakan KUHP Bab XX tentang penganiayaan dalam memutuskan perkara ini sesuai dengan kekerasan yang dilakukan si pelaku. KUHP pada dasarnya tidak mengenal kekerasan yang berbasis jender, itulah sebabnya dikeluarkan UU No.23 tahun 2004 yang mengatur secara khusus tentang kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam rumah tangga.<br /><br /><br /> Banyak sekali faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, seorang suami dapat melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri jadi suami disini merasa dirinya yang berkuasa dan bebas melakukan apapun terhadap istrinya, ketergantungan ekonomi juga menyebabkan faktor kekerasan dalam rumah tangga karena disini hanya seorang suami yang mencari nafka sedangkan istri hanya bergantung pada suami maka hanya suami yang merasa berhak mengendalikan semuanya, menurut para suami dengan melakukan tindak kekerasan maka istrinya bisa menuruti semua kehendak dari suami maka kekerasan dijadikan alat untuk menyelesaikan konflik, frustasi seorang suami karena beberapa faktor seperti belum siap kawin, belum kerja menyebakan suami menjadi stes dan bisa melakukan kekerasan terhadap istri, persaingan antara suami dan istri dalam hal pendidikan, jabatan, pergaulan dapat menjadi faktor kerasan dalam rumah tangga.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Sakidjo, Aruan, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.<br />Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Panca Usaha, 2004.<br />Heise Lori L. Wits Jacquline Pitanguy and Adrianne Germain, Violence Againts Women, Washington DC.: World Bank Discussion Paper, 1994.<br />M.Rasyid Ariman,SH.,MH, Fahmi Raghib,SH.,MH, dan Syarifuddin Petanasse,SH.,MH.Hukum Pidana Dalam Kodifikasi.2007.<br />Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan, Whasington DC., 2000.<br />Maggi Humm, The Dictionary Of Feminist Theory, London: Harvester Wheatsheaf, 1989.<br />Proyek Penyuluhan Hukum Agama, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Dep. Agama, Dirjen Binbaga DEPAG., 1995/1996.<br />Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000.<br />Pangemaran Diana Ribka, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas Indonesia, 1998.<br />Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP.<br />Majalah Psikologi Empathy, KDRT Membuat Anakku Tak Sempat Lahir, No. 10/II/Juni 2005.<br />Ratna Batara Munti, loc. cit.<br />Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999.<br />Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW., Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999.<br />Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.<br />D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, 1995.<br />Moeldjatno, op.cit.<br />Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.<br /></span></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-42752363244320482942009-02-14T07:42:00.000-08:002009-02-14T07:44:29.060-08:00PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN “Pembangunan Seribu Menara di Jakarta”<div align="justify">1. PENJELASAN<br />Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, yang tingkat kesejahteraan masih rendah, pembangunan menjadi sangat penting untuk dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tanpa pembangunan akan terjadi kerusakan lingkungan yang akan menjadi semakin parah dengan berjalanya waktu. Namun di lain pihak pembangunan juga mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan apabila tidak dilakukan secara terencana dan tidak memperhatikan aspek lingkungan.<br />Pembangunan yang baik adalah pembangunan itu haruslah berwawasan lingkungan yaitu lingkungan diperhatikan sejak mulai pembangunan itu direncanakan sampai pada waktu operasi pembangunan itu dilaksanakan. Dengan adanya pembangunan berwawasan lingkungan itu, pembangunan tersebut dapat dikatakan sebagai pembangunan yang berkelanjutan.<br />Mengenai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan UU No.23 tahun 1997 memberikan definisi tersendiri mengenai itu. Yang dikatakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam proses pembagunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Adapun pembangunan yang merupakan pembangunan berkelanjutan (sustinable development) haruslah memiliki konsep dalam melaksanakan kegiatan pembagunanya tersebut, yaitu :<br />a. Konsep pembangunan<br />b. Konsep lingkungan<br />c. Konsep sosial budaya.<br /><br /><span class="fullpost"><br />2. MASALAH<br />Permasalahan yang akan diangkat dalam paper ini adalah mengenai pembangunan seribu menara yang berlokasi di Jakarta dan Tanggerang. Pembangunan seribu menara adalah suatu proyek pemerintah pusat dan pemerintah daerah Jakarta dalam pembagunan rumah susun yang bertujuan untuk menekan pembangunan yang semakin meningkat, khususnya pembangunan perumahan. Pembagunan yang ditargetkan tahun 2011 selesai terbagi menjadi rumah susun sewa (rusunwa) dan rumah susun milik (rusunami). Adapun lokasi pembagunan rusun tersebut tidak akan banyak mengunakan lahan warga/tanah rakyat. Adapun yang menjadi sasaran pasar dalam pembagunan ini diharapkan adalah warga yang berasal dari kalangan menengah kebawah. Sehingga kelak di Jakarta antara pembangunan rumah dengan pembanguan ruang terbuka hijau dapat berimbang, yang berdampak pada berkurangnya pembangunan liar yang tidak berwawasan lingkungan yang terdapat di Jakarta dan Tanggerang.<br />2.1 ANALISIS<br />Analisis pertama, mengenai konsep pembangunan yang merupakan salah satu konsep yang terdapat dalam pembangunan berkelanjutan. pada pembangunan diatas konsep tersebut haruslah merujuk pada UU No. 26 tahun 2007 mengenai tata ruang, yang berarti bahwa setiap pembangunan haruslah mengadakan perencanaan tata ruang dan memanfaatkan ruang dengan sebaik-baiknya. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam pasal 19 UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang menyebutkan bahwa dalam menerbitkan izin melakukan usaha adanya hal-hal yang wajib diperhatikan salah satunya adalah rencana tata ruang. Dengan melihat kedua aturan yang menyebutkan bahwa setiap pembangunan harus dengan melakukan rencana tata ruang, maka pembangunan rumah susun sebagaimana disebutkan diatas telah memenuhi salah satu dari konsep pembangunan berkelanjutan yaitu konsep pembagunan. itu dapat dilihat dari perencanaan pembangunan yang tidak menggunakan banyak lahan dan pembangunan rusun tersebut tidak terlalu banyak menggunakan tanah warga sebagai lahan untuk pembangunan rusun tersebut. Dengan demikian semakin sedikitnya lahan yang digunakan dalam pembangunan tersebut berdampak pada semakin luasnya ruang terbuka hijau didaerah Jakarta.<br />Analisis kedua, mengenai konsep lingkungan yang menjadi salah satu bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan. sesuai dengan konsep tersebut pembangunan rusun di Jakarta tersebut telah mengimplementasikannya, itu terlihat dari pembangunan rusun yang dibangun tanpa banyak menggunakan lahan dan adanya pembangunan rusun tersebut ini jelas akan memperbanyak ruang terbuka hijau yang ada di Jakarta. Bukan itu saja dengan adanya pembangunan rusun tersebut berarti pemerintah serius dalam menekan musibah banjir karena dengan adanya pembangunan rusun tersebut maka warga Jakarta yang berpenghasilan di bawah rata-rata sanggup untuk memiliki atau menyewa rusun tersebut. Sehingga pemerintah dapat menekan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan seperti pembangunan rumah kumuh dibantaran sungai. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan pada pasal 4 UU No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang menyatakan bahwa yang menjadi sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah salah statunya tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal tersebut dipertegas melalui pasal 3 sub c UU No.26 tahun 2007 tentang tata ruang yang menyatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang salah satu tujuanya adalah terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif dari terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dengan demikian pembangunan diatas apabila merujuk kepada dua aturan tersebut jelas bahwa konsep lingkungan sangatlah diperhatikan, itu terlihat jelas pada pembangunan rusun yang dibuat dengan seminimal mungkin memanfaatkan ruang yang bertujuan semakin luasnya ruang terbuka hijau dan mengembalikan fungsi lingkungan / ruang sebagaimana mestinya.<br />Analisis ketiga, mengenai konsep sosial-budaya konsep adalah sangat vital apabila dalam setiap pembangunan tidak diperhatikan. Sebagai contoh kesenjangan sosial. Namun melihat permasalahan diatas mengenai pembagunan rusun itu, konsep sosial budaya sangatlah diperhatikan betul, hal tersebut tercerrmin dari perencanaan pembangunan yang tidak akan banyak menggunakan tanah warga sebagai lahan pembangunan rusun tersebut. Selain itu masalah kesenjangan sosial yang merupakan masalah yang paling mungkin terjadi pada setiap pembangunan,hal tersebut tidak akan terjadi karena pembangunan rusun yang menjadi proyek pemerintah Jakarta tersebut, yang menjadi sasaran pasar adalah warga yang memiliki penghasilan rata-rata/menengah kebawah sehingga dengan adanya pembagunan rusun tersebut akan berdampak pada berkurangnya masyarakat miskin yang berarti kesenjangan sosial yang diakibatkan karena adanya pembangunan tersebut sebisa mungkin ditekan atau kalau mungkin dihilangkan.<br />Oleh karena itu dengan terpenuhinya ketiga konsep tersebut maka baru dapat dikatakan bahwa pembangunan tersebut berwawasan lingkungan.<br /><br /><br /></span></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-4616263498655457262009-02-14T07:34:00.000-08:002009-02-14T07:35:57.584-08:00SURAT BERHARGA<br /><br />(Arfianna Novera) <br /><br />A. Pengertian <br /><br /> 1. HMN. Poerwosutjipto : Surat berharga adalah surat bukti tuntutan utang, pembawa hak dan mudah dijualbelikan<br /><br /><br /> 2. A.Kadir Muhammad : Surat berharga adalah suatu surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain. Alat bayar itu berupa surat yang di dalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ketiga atau pernyataan sanggup untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut. Dengan perkataan lain surat berharga adalah surat berisi perintah kepada pihak ketiga untuk menyerahkan suatu hak yang tercantum di dalamnya kepada orang yang berhak atas surat berharga tersebut.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br /> 3. CST. Kansil : Surat berharga atau surat perniagaan adalah surat yang dapat diperdagangkan dalam dunia perniagaan untuk memudahkan pemakaian uang yang akan diterima dari pihak ketiga dan untuk mempermudah penagihan piutang dari pihak ketiga. <br /><br /><br /> <br /><br /> 4. H. Burhanuddin S.B : Surat berharga adalah suatu alat bukti dari suatu tagihan atas orang yang menandatangani surat itu, tagihan mana dipindahtangankan dengan penyerahan surat itu dan akan dilunasi sesudah surat itu diunjukkan. <br /><br /><br /> <br /><br /> 5. Pasal 1 angka 10 UU No.10 thn 1998 : Surat berharga adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit atau setiap derivatifnya, atau kepentingan dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang. <br /><br />B. Pengaturan <br /><br /> 1. Dalam KUH Dagang : tentang wesel, cek, surat sanggup dan promes. <br /><br /> 2. Di luar KUH dagang atau dalam ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) antara lain bilyet giro, sertifikat deposito Sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat berharga komersil, dan lain-lain. <br /><br /><br /> <br /><br />C. Penggunaan Surat Berharga dalam praktek <br /><br /> 1. Untuk aspek lalu lintas bisnis, penggunaan surat berharga lebih praktis aman dan lancar sistem pembayaran. <br /><br /><br /> <br /><br /> 2. Untuk aspek usaha perbankan yaitu kegiataan pembelian, penjualan, penyimpanan (custodian) memberikan jaminan surat berharga dan warkat-warkat perbankan, merupakan produk bisnis perbankan dewasa ini, hal ini berkaitan dengan usaha menghimpun dana, baik untuk kepentingan masyarakat maupun untuk kepentingan pembangunan. <br /><br /><br /> <br /><br />D. Perbedaan Surat Berharga dan Surat Yang <br /><br /> Mempunyai Harga <br /><br /> Surat berharga diterbitkan untuk memenuhi prestasi, maka surat yang mempunyai harga diterbitkan hanya untuk menjadi bukti bahwa pemiliknya berhak atasa sesuatu, dengan demikian surat yang mempunyai harga adalah surat yang diterbitkan bukanlah sebagai pemenuhan prestasi dan tidak diperjualbelikan melainkan sebagai alat bukti diri bagi pemegangnya sebagai pihak yang berhak atas apa yang disebutkan atau untuk menikmati hak yang disebutkan dalam surat itu. <br /><br /><br /> <br />SURAT BERHARGA <br />SURAT YANG MEMPUNYAI HARGA <br /><br />Haknya bersifat objektif <br /><br />Dapat diperdagangkan <br /><br />Menganut legitimasi formal <br /><br />Kreditur berganti-ganti <br /><br /><br /> <br /><br />Misalnya : wesel, cek, dll <br />Haknya bersifat subjektif <br /><br />Tidak dapat diperdagangkan <br /><br />Legitimasi material <br /><br />Krediturnya hanya satu orang (yang nama nya tercantum di dalam surat <br /><br /><br /> <br /><br />Misalnya : SIM, KTP, dll<br /><br /><br />E. Penggolongan Surat Berharga <br /><br /> 1. Surat-surat yang mempunyai sifat kebendaan : yang di dalamnya terkandung hak atas pemilikan barang-barang tertentu yang tercantum dalam surat berharga tersebut. Adapun prikatan dasar surat ini adalah penyerahan barang-barang tersebut. Yang termasuk kedalam golongan surat ini adalah : <br /><br /> a. Konosemen (bill of lading) adalah dokumen pengangkutan barang di laut yang diserahkan oleh pengangkut kepada pengirim <br /><br /><br /> <br /><br /> b. Ceel adalah dokumen penitipan barang di gudang pelabuhan (veem) sebelum diangkut ke atas kapal <br /><br /><br /> <br /><br /> 2. Surat tanda keanggotaan suatu persekutuan adalah surat berharga yang berisi hak-hak keanggotaan suatu persekutuan. Adapun perikatan dasarnya adalah hak-hak tertentu yang diberikan oleh persekutuan kepada pemegangnya, misalnya hak untuk mendapatkan deviden, hak suara dalam rapat dan sebagainya. Yang termasuk ke dalam golongan surat berharga ini adalah : <br /><br /> a. Surat saham dalam Perseroan Terbatas <br /><br /> b. Surat saham dalam CV <br /><br /> c. Surat keanggotaan Koperasi <br /><br /><br /> <br /><br /> 3. Surat-surat tagihan utang adalah surat berharga yang bersisi hak untuk menagih sejumlah uang yang tercantum dalam surat berharga tersebut. Adapun perikatan dasarnya adalah untuk pemenuhan suatu prestasi. Yang termasuk dalam surat berharga ini adalah wesel, cek, aksep/ prosmes dan bilyat giro <br /><br /><br /> <br /><br />F. Klausula Dalam Surat Berharga <br /><br /> 1. Atas tunjuk (aan toonder, to bearer) <br /><br /> 2. Atas pengganti (aan order, to order) <br /><br /> 3. Atas nama (aan naam)<br /></span>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-44883053364327738712009-02-14T07:13:00.000-08:002009-02-14T07:24:07.107-08:00EKSISTENSI KUHP DALAM MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR<div align="justify">BAB I<br /><br />PENDAHULUAN<br />LATAR BELAKANG<br /><br />Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) terbagi dalam 3 bagian, buku I berisi tentang ketentuan-ketentuan umum, buku II membahas mengenai kejahatan dan buku III membahas mengenai pelanggaran. Dalam makalah ini saya akan mencoba membahas salah satu pasal yang terdapat dalam buku II yaitu tentang tindak pidana perbuatan cabul yang dilakukan terahadap orang sesama kelamin (homo seksual).<br /><br />Di dalam KUHP tindak pidana cabul terhadap orang belum dewasa diatur dalam pasal 290 ayat 1-3, pasal 291 ayat 1-2 dan juga dalam pasal 292 kesemua aturan tersebut masing-masing memiliki aturan yang berbeda mengenai tindak pidana cabul juga memiliki sanksi yang berbeda pula satu sama lain.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Mengenai tindak pidana perbuatan cabul terhadap orang sesama kelamin dan belum dewasa, dirumuskan dalam pasal 292 KUHP sebagai berikut:<br /><br />Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:<br /><br /> "orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa1".<br /><br /> Kemudian mengenai tindak pidana perbuatan cabul terhadap orang belum dewasa dan sesama kelamin yang dirumuskan dalam RKUHP terdapat dalam pasal 495 RKUHP.<br /><br /> Diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 7 tahun<br /><br /> "setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sejenis kelaminnya yang diketahui atau sepatutnya diduga belum berumur 18 tahun2".<br /><br /> Dari kedua rumusan mengenai tindak pidana cabul yang diatur dalam KUHP dan RKUHP Indonesia masing-masing memiliki perbedaan dalam merumuskan tindak pidan cabul tersebut. Dalam pasal 292 KUHP<br /><br /> Unsur-unsur objektifnya:<br /><br /> a. perbuatannya : perbuatan cabul<br /><br /> b. si pembuatnya : oleh orang dewasa<br /><br />c. objeknya :pada orang sesama jenis kelamin yang belum dewasa :<br /><br /> Unsur subjektifnya<br /><br /> d. diketahuinya atau sepatutnya harus diduga belum dewasa<br /><br /> e. yang diketahuinya belum dewasa<br /><br /><br /> Sedangkan dalam pasal 495 RKUHP unsur-unsurnya adalah:<br /><br /> Unsur objektifnya <br /><br /> a. perbuatanya : perbuatan cabul<br /><br /> b. objeknya : pada orang sesama jenis dan belum berumur 18 tahun<br /><br /> c. si pembuat : setiap orang <br /><br /> Unsur subjektifnya<br /><br /> d. diketahui atau sepatutnya harus diduga belum berumur 18 tahun.<br /><br /> selain itu pula terdapat perbedaan mengenai ancaman pidana yang diatur dalam kedua pasal tersebut. Dalam KUHP tindak pidana perbuatan cabul tersebut daincam dengan pidana penjara paling lama lima tahun penjara sedangkan dalam RKUHP tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, paling singkat 1 tahun dan paling lama 7 tahun.<br />PERMASALAHAN<br /><br /> Sejalan dengan perkembangannya didalam masyarakat, pasal 292 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana cabul terhadap orang sesama kelamin dan belum dewasa. Menjadi suatu ancaman bagi para pelaku tindak pidana pencabulan di Indonesia, tetapi dipihak lain pasal tersebut terdapat banyak kelemahan-kelemahan dalam hal melindungi para korban tindak pidana pencabulan. Sehingga dalam kenyataannya pasal tersebut seharusnya di revisi sehingga tidak akan banyak anak-anak Indonesia yang akan mengalami pelecehan seksual.<br /><br /><br /><br /><br /> oleh karena itu timbullah suatu permasalah dalam hal :<br />sejauh mana eksistensi pasal 292 KUHP tersebut dalam memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pencabulan<br />apakah dalam pasal 292 KUHP tentang tindak pidana cabul terhadap orang sesama kelamin (homo seksual) telah dapat dikatakan melindungi hak-hak korban tindak pidana tersebut.<br /><br /><br /><br /><br /> Dengan tujuan bahwa dengan diterpakannya pasal 292 ayat 2 KUHP tersebut, telah mampu mengantisipasi tindak pidana pencabulan terhadap anak dan juga bagi para korban tindak pidana tersebut mampu untuk kembali hidup seperti biasa tanpa mengalami suatu trauma akibat apa yang pernah dialaminya di waktu ia belum dewasa. Dan juga dapat memberikan efek jera kepda para pelaku pencabulan tersebut.<br />BAB II<br /><br />PEMBAHASAN<br />DEFINISI<br /><br /> Mengenai definisi tindak pidana cabul terhadap orang sesama kelamin dan belum dewasa, KUHP tidak memberikan secara konkrit pengertian mengenai tindak pidana cabul tersebut. Namun KUHP hanya merumuskan bahwa:<br /><br />Tindak pidana perbuatan cabul terhadap orang sesama kelamin dan belum dewasa adalah sebagai berikut, "orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun" .<br /><br /> Sedangkan dalam UU No.23 tahun 20024 tentang perlindungan anak, Bab XII mengenai ketentuan pidana, dalam pasal 82 UU perlindungan anak tersebut dirumuskan bahwa perbuatan cabul adalah, "setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, mamaksa, melakukan tipu muslihat,serangkain kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 dan paling sedikit Rp 60.000.000.<br /><br /><br /> Dari kedua rumusan tersebut tidak memberikan suatu perincian yang konkrit dan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana pencabulan tersebut, di dalam KUHP dan pasal 82 UU No.23 th 2002 hanya menjelaskan mengenai unsur-unsur tindak pidana tersebut dan tidak memberikan secara pasti mengenai perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai pencabulan.<br /><br /> Mengenai perbuatan cabul5 (ontuchtige handelingen) adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun yang dilakukan pada orang lain mengenai dan berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seseorang dan sebagainya.<br /><br /> Dari semua perumusan tindak pidana cabul tesrsebut baik itu di dalam KUHP maupun di dalam UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana tersebut pastilah anak-anak.<br /><br /><br />EKSISTENSI PASAL 292 KUHP<br /><br /> Dalam perkembanganya dalam masyarakat pasal 292 KUHP memang sudah cukup mampu menjerat para pelaku tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak-anak. Itu jelas terlihat dalam perumusan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, "orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun" .<br /><br /> Namun selanjutnya dalam perkembangannya di dalam masyarakat pasal 292 tersebut apabila menjadi acuan tunggal dalam setiap putusan hakim pengadilan, maka akan banyak sekali kasus-kasus cabul yang tidak dapat dijangkau oleh pasal tersebut, oleh karena itu UU NO.23 tahun 2002 bisa dijadikan acuan bagi para hakim untuk memutuskan perkara yang tidak dapat dijangkau dengan hanya mengandalkan pasal 292 KUHP.<br /><br /> Dalam contoh kasus dibawah ini PN amalpura tidak hanya mengacu kepada pasal 292 tetapi juga mengacu pada UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.<br /><br /><br /> Contoh kasusnya adala seperti dibawah ini :<br /><br />Brown William Stuart alias Tony, 52, terpidana kasus pedofilia (pelecehan seks terhadap anak-anak), pada waktu yang lalu, tewas gantung diri setelah divonis 13 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Amlapura. Itulah kasus pertama pedofilia yang diputus menggunakan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak6.<br /><br />Seperti ditulis dalam harian Jawa Pos, Kasus Tony, mantan diplomat Australia, boleh dikata merupakan kasus pedofilia kedua yang paling menggegerkan di Indonesia. Kasus Tony itu hampir menyamai "kebesaran" Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Hanya, kelebihan pada kasus Robot Gedek, sejumlah korban, yakni anak-anak usia belasan tahun tewas dibunuhnya. Dalam kasus pedofolia ini yang menjadi korban pelecehan seksual adalah dua bocah bali, IBA 15 tahun dan IMS 14 tahun.<br />Setelah mencuak kasus tersebut di amalpura, banyak para aktivis yang concern terhadap kasus tersebut sebut saja CASA7 aktivis yang bergerak dibibidang perlindungan anak ini mendesak PN alamapura untuk segera memutuskan perkara ini dengan menggunakan acuan UU perlindungan anak. Bukan lagi, hanya sekedar pasal-pasal pencabulan sebgaimana termaktub di pasal 292 jo pasal 64 KUHP.<br /><br />Pasal 292 jo pasal 64 KUHP soal pencabulan dengan tuntutan maksimal 5 tahun penjara. Dipandang aktivis anak bali tidak relevan8 dalam untuk memberi efek jera bagi para pelaku tindak pidana pencabulan, bahkan dengan hukuman yang ringan, setelah keluar dari penjara, ada kecenderungan pelaku berhasrat mengulangi perbuatannya kembali.<br /><br />Kelemahan dari pasal 292 jo. Pasal 64 KUHP terlihat dari contoh kasus fedopolia yang terjadi di singaraja, Prof Dr LK Suryani SpKj mencontohkan soal kasus serupa di PN Singaraja pada 2002. Menurut dia, lemahnya hukuman yang dijatuhkan kepada Mario Manara9, terpidana 8 bulan penjara dalam kasus sodomi terhadap puluhan anak di Pantai Lovina, Singaraja, menyebabkan ada kecenderungan pelaku-pelaku yang belum tertangkap dan terungkap melakukan hal serupa.<br /><br /><br />Oleh karena itu dalam penerapanya di pengadilan dalam memberikan putusan-putusan mengenai tindak pidana pencabulan maka para hakim seharusnya tidak hanya terpaku kepada KUHP saja melainkan UU lain yang sesuai dengan kasus yang sedang di sidangkan, seperti UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Sehingga eksistensi pasal 292 KUHP menjadi tidak diragukan lagi dalam memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pencabulan tersebut.<br /><br /><br />PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TP PENCABULAN<br /><br />Setelah kita sama-sama melihat kasus pedofolia yang terjadi di Amlapura, kita dapat melihat lemahnya KUHP kita dalam melindung para anak dari kejahatan pencabulan oleh orng dewasa. Karena di dalam KUHP kita hanya mengacu pada sanksi apa yang akan dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut,tanpa melihat bagaimana memberi perlindungan terhadapat anak korban TP pencabulan.<br /><br />Dalam pasal 292 KUHP maupun dalam pasal 495 RKUHP yang menjadi korban tindak pidana tersebut adalah anak-anak. Oleh karena itu UU NO 23/2002 tentang perlindungan anak memebrikan sebuah pengertian mengenai anak disebutkan bahwa anak adalah seseoranng yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan9.<br /><br />Oleh karena itu sebagimana diatur dalam UU perlindungan anak pemerintah dan lembaga Negara berkewajiban dan bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan khusus terhadap korban tindak pidana pencabulan. Dan semua itu berlaku bagi setiap anak Indonesia tanpa adanya diskriminasi<br /><br /><br /><br /><br /><br /> Maraknya aksi kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi pada anak, baik berupa kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, tidak mendapatkan perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang memadai sehingga anak berulang kali menjadi korban.<br /><br /> Anak memang merupakan manusia paling lemah. Pada umumnya anak sangat bergantung kepada orang dewasa, sangat rentan terhadap tindak kekerasan yang dilakukan orang dewasa, dan secara psikologis masih labil<br /><br /> . Oleh karena itu pemerintah berkewajiban memberiakn perlindungan terhadap anak korban tindak pidana. Sebagiama diatur dalam pasal 59 bagian perlindungan khusus, UU Perlindungan anak adalah "Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran10". <br /><br /><br />Dalam memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan psikis. Pemerintah memeberikan perlindungan melalui upaya, sebagaiman diatur dalam pasal 69 UU perlindungan anak:<br />penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan<br />pemantauan, pelaporan, dan pemberian saksi.<br /><br /> Namun dalam perakteknya, , perlindungan khusus yang seharusnya diberikan bagi anak yang berhadapan dengan hukum tampaknya belum memadai. Dibandingkan dengan negara tetangga, yaitu Thailand, Indonesia sudah cukup tertinggal. Sejak tahun 1996 Thailand telah memiliki Subkomite untuk Reformasi Hukum, yang antara lain terdiri dari perwakilan dari Mahkamah Agung, Pengadilan Anak dan Pengadilan Keluarga, polisi, Komnas Perempuan, Biro Pemuda, LSM, Asosiasi Pengacara Perempuan, dan Unicef Thailand11.<br /><br /><br /><br /> Sehingga dengan adanya UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka hak-hak anak sebagai warga Negara dijamin oleh pemerintah, tanpa adanya diskriminasi satu sama lain. Sehingga bagi anak-anak korban tindak pidana pelecehan seksual seperti yang terjadi di amalpura akan mendapat perlindungan selama mereka menjalani terapi untuk menghilangkan trauma akibat dari pelecehan seksual yang mereka alami sebelumnya.<br /><br /><br />BAB III<br /><br />PENUTUP<br />KESIMPULAN<br /><br />Setelah kita semuanya melihat perkembangan pasal 292 KUHP, kita dapat menyimpulkan bahwa pasal 292 KUHP sudah tidak relevan lagi dalam membuat efek jera terhadap para pelaku tindak pidana cabul, karena dalam pasal tersebut hukumannya terlalu ringan sehingga sering kali para pelaku yang telah keluar dari penjara akan kembali mengulangi perbuatanya tersebut.<br /><br />Dengan adanya UU No. 23 tahun 2002 maka bagi para korban tindak pidana pelecehan seksual,telah diberikan suatu perlindungan oleh pemerintah dalam hal ini pepemrintah berkewajiban memberikan perlindungan kepada siapa saja korban tindak pidana tersebut, tanpa terkecuali. Sehingga tidak menimbulkan adanya pandangan dari masyarakat bahwa pemerintah berlaku diskriminatif terhadap korban tindak pidana pelecehan seksual.<br />SARAN<br /><br />Dengan berlakunya UU perlindungan anak, maka seharusnya pemerintah lebih selektif dalam memberikan putusan kepada para pelaku tindak pidana pelecehan seksual, bukan hanya mengacu kepada KUHP tetapi juga kepada UU lain yang terkait dengan kasus yang terjadi. Sehingga dalam memeberikan putusan dipengadilan hakim dapat memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pelecehan seksual.<br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br /><br /><br />KUHAP dan KUHP, dilengkapi dengan UU no 27 th 1999 tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan keamanan Negara, Jakarta, 2007.<br /><br /><br /><br /><br />www.kompas.com, forum perlindungan khusus bagi korban anak, Jabar, 2007<br /><br /><br /><br /><br />Ariman M. Rasyid, hukum pidana dalam kodifikasi, kejahatan tertentu dalam KUHP, Palembang, 2007<br /><br /><br /><br />www.solusihukum.com, kasus pedofilia: UU perlindungan anak jadi acuan tunggal dalam putusan PN Amlapura, Amlapura, 2004.<br /><br /><br />Raghib M. Fahmi, naskah rancangan kitab KUHP nasional (draf II edisi th.2005), Palembang, 2007.<br /><br /><br />Undang-Undang Republik Indonesia No.23 tahun 2002, tentang perlindungan anak.<br /></span></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-80809253335199137362009-02-03T19:29:00.000-08:002009-02-03T19:31:40.932-08:00TINJAUAN FILSAFAT ILMU TERHADAP MISTIK DALAM HUBUNGANNYA DENGAN BUDAYA HUKUM INDONESIAOleh : <br />Dian Istiaty, SH.,M.Hum<br />Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br /><br /> <br />Abstrak : Kebudayaan mempengaruhi hukum dalam masyarakat. Mistik sebagai pengetahuan yang mempengaruhi pola fikir manusia pada akhirnya akan muncul dalam bentuk budaya. Proses kebudayaan mempengaruhi hukum menjadi budaya hukum. Secara filosofis, keberadaan misitk dalam budaya hukum dapat dilihat dari 3 aspek yaitu, aspek ontologis aspek epistemologis, dan aspek aksiologis. Persoalannya menjadi pelik, apabila mistik budaya hukum, terlalu dominan sehingga mempengaruhi pola fikir masyarakat, seperti dalam menentukan pilihan hukumnya pada pemilihan umum, atau wakil rakyat dalam menentukan ketentuan hukum apa yang perlu diatur. Hal ini dapat menjadi penghambat perkembangan hukum dalam beradaptasi pada perubahan dan kemajuan dunia. Oleh karenanya, keberadaan mistik sebagai suatu budaya hukum, harus ditempatkan pada posisi yang tepat serta harus disertai dengan upaya pembuktian hukum yang tepat jika akan menjadi bagian ketentuan tertulis, seperti pengaturan mengenai santet dalam KUHPidana. <br />Kata Kunci : Filsafat Ilmu, Mistik, Budaya Hukum. <br /><br /><span class="fullpost"><br /><br /> <br /><br /> <br />Pendahuluan.<br />Prof. Kuntowijoyo telah membagi tiga tingkat evolusi pemikiran manusia yaitu mitos, ideologI dan ilmu. Beliau menjelaskan bahwa periode mitos berlangsung sebelum dan pada abad ke 19 serta awal abad ke-20. Bahkan hingga saat inipun sebetulnya, mitos maupun mistik ternyata masih terus mempengaruhi pemikiran manusia Indonesia. <br /> Bahkan, dapat diasumsikan bahwa sebetulnya mistik tersebut tetap mempengaruhi pemikiran manusia Indonesia, hingga menjadi bagian dari suatu budaya dan pada akhirnya mempengaruhi aturan hidup manusia Indonesia. Terdapat beberapa contoh yang menunjukkan masih adanya pengaruh mistik terhadap budaya ataupun pola prilaku manusia, seperti diketahui saat ini terdapat sikap yang diyakini oleh beberapa orang yang menghendaki agar santet dikriminalisasi dan dimasukkan aturannya dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang hingga kini masih menjadi pembicaraan kontroversial. <br /> Pada politik hukum sebagai hal yang mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan, juga terdapat unsur keyakinan yang cenderung bersifat mistik. Sebagai contoh, adalah cara orang Indonesia dalam menentukan calon legislatif, calon presiden ataupun partai yang akan dipilih dalam Pemilihan Umum. <br /> Meskipun slogan dengan hati nurani atau melihat visi dan misi suatu partai atau seseorang, namun tetap ada unsur yang tidak terjangkau oleh akal manusia biasa, seperti pengkultusan seseorang, kharisma seseorang atau partai, aliran yang dianut suatu partai, bahkan tidak jarang berdasarkan pula angka yang digunakan oleh seseorang atau partai tersebut. <br /> Apabila diperhatikan, jumlah pasal dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 (yang telah mengalami 4 kali amandemen), tidak mengalami perubahan. Tetap berjumlah 37 pasal, dan hanya mengalami penambahan huruf–huruf dibelakang angka pasal untuk penambahannya. Seolah-olah para anggota MPR tidak berani untuk menambah angka tersebut ataupun memiliki keyakinan terhadap angka 37 tersebut. Hal ini juga terlihat dari dirombaknya batang tubuh UUD 1945 namun tidak menyentuh sama sekali Pembukaan UUD 1945. <br /> Tulisan ini bukan untuk menyarankan adanya perubahan tersebut, namun justru memikirkan hal yang terdapat dibalik itu semua. Beberapa contoh yang telah dipaparkan mengindikasikan terdapatnya suatu unsur keyakinan, yang selanjutnya akan disebut mistik dalam nilai-nilai atau ide ataupun sikap masyarakat Indonesia yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan apapun sehingga pada akhirnya menjadi suatu budaya hukum. <br /> Sebagaimana diketahui bahwa, budaya hukum merupakan iklim pikiran masyarakat dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagaimana suatu hukum itu digunakan, dihindarkan atau disalah gunakan. Budaya hukum juga merupakan budaya non material ataupun spiritual. <br /> Adapun inti budaya hukum sebagai budaya non material atau spiritual adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehingga harus dianuti) dan apa yang buruh (sehingga harus dihindari). Nilai-nilai tersebut merupakan dasar dari etika (mengenai apa yang benar dan yang salah), norma atau kaidah (yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan) dan pola prilaku manusia. Artinya ada unsur spiritual yang dekat dengan keyakinan atau kepercayaan, seperti halnya mistik yang muncul karena keyakinan seseorang. <br /> Lebih lanjut dijelaskan oleh Prof.Soerjono Soekanto bahwa nilai-nilai tersebut paling sedikit mempunyai 3 aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Aspek kognitif adalah aspek yang berkaitan dengan rasio atau pemikiran, aspek afektif adalah aspek yang berkaitan dengan perasaan, sedangkan aspek konatif adalah aspek yang berkaitan dengan kehendak untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai-nilai ini (terutama nilai afektif) juga berkaitan dengan keberadaan mistik dalam budaya hukum, karena nilai afektif (perasaan, emosional dan keyakinan) turun berperan dalam diri manusia Indonesia. <br /> Meskipun demikian, asumsi mengenai keberadaan mistik dikaitkan dengan suatu budaya hukum tetap akan menimbulkan suatu pro kontra di kalangan masyarakat umum maupun akademisi, mengingat budaya hukum harusnya menempati bentuk lanjutan dari suatu kesadaran hukum. Oleh karenanya tidak setiap pihak menerima adanya suatu mistik sebagai bagian dari budaya hukum di Indonesia. <br />Setelah diasumsikan bahwa mistik juga merupakan budaya hukum, maka untuk memahami mengenai mistik tersebut dari aspek filsafat ilmu, maka dilakukan pendekatan sebagaimana karakteristik filsafat ilmu yaitu secara mendasar, menyeluruh dan spekulatif yakni dengan mencoba memahami mistik melalui aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. <br />Meskipun diketahui bahwa secara ontologis, ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia dan secara epistemologi, ilmu merupakan metode ilmiah yakni cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar, sehingga sempat diragukan untuk membicarakan mistik (yang berada diluar pengalaman manusia atau akal sehat manusia) tersebut apakah dapat ditinjau secara persfektif filsafat ilmu atau hanya melalui persfektif filsafat saja. <br />Meskipun demikian, ilmu adalah bagian dari pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Maka terdapat suatu benang merah disini, yakni mistik sebagai budaya hukum yang berakar dari suatu kebudayaan suatu masyarakat. Artinya mistik dapat dilihat dengan persfektif keilmuan, dalam hal ini, ditinjau melalui filsafat ilmu. <br />Keadaan ini justru menjadi menarik untuk ditelaah lebih jauh, terutama dari aspek filsafat ilmu, dimana diketahui bahwa mistik juga merupakan bagian dari obyek kajian filsafat yakni dalam cabang metafisik karena dalam metafisik dipelajari pembicaraan-pembicaraan tentang prinsip yang paling universal dan sesuatu yang diluar kebiasaan (beyond nature). Mistik sendiri merupakan suatu yang universal (hampir dipastikan di negara manapun mempunyai keyakinan dalam bentuk mistik ataupun mitos) dan sering kali merupakan suatu hal diluar kebiasaan manusia umumnya atau sebaliknya kemudian justru menjadi kebiasaan manusia. <br />Dijelaskan bahwa "metafisik berusaha untuk menyajikan pandangan yang komprehensif tentang segala yang ada : ia membicarakan problema seperti hubungan antara akal dan benda, hakikat perubahan, arti kemerdekaan, kemauan, wujud tuhan dan percaya kepada kehidupan sesudah mati bagi setiap orang" Dengan demikian, metafisik pun mampu untuk mempelajari hal-hal terkait dengan mistik. <br />Filsafat kontemporer dengan tekanannya terhadap persepsi rasa dan pengetahuan ilmiah yang obyektif bersikap skeptis terhadap kemungkinan pengetahuan metafisik serta terhadap berartinya soal "metafisik". Namun hanya filosof dari timur atau barat yang percaya bahwa problem nilai dan agama atau problem metafisik adalah erat hubungannya dengan konsepsi seseorang tentang watak yang fundamentarl dari alam. Banyak filosof percaya bahwa dalam diri manusia ada sesuatu yang lebih tinggi dari alam empiris.<br />Artinya keberadaan dan fungsi metafisik sendiri juga menimbulkan banyak perdebatan dikalangan filosof. Meskipun demikian, kajian ini tetap diyakini dapat dilakukan melalui filsafat karena terdapat juga sebagai filosof yang percaya akan metafisik tersebut.<br /> Oleh karenanya, dengan harapan melalui kajian filsafaat Ilmu ini, maka akan ditemukan penjelasan mengenai hakekat (aspek ontologis), cara (aspek epistemologis) dan kegunaan (aspek aksiologis) dari telaah mengenai mistik dalam budaya hukum ini. <br />Hakekat mistik dikaitkan dengan budaya hukum<br />Terdapat banyak pengertian mengenai mistik, baik berdasarkan kamus bahasa Indonesia, ilmu antropologi dan filsafat sendiri. Berikut beberapa pengertian mengenai mistik tersebut : <br />• merupakan hal gaib yang sangat diyakini hingga tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa.<br />• merupakan sub sistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan tuhan.<br />• merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam dan sistem keagamaan ini sendiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan.<br />• merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio.<br />• Perkataan mitos atau mythical sebagai pertimbangan nilai yang negatif tentang suatu kepercayaan atau riwayat. Walaupun begitu, kata tersebut dapat dipakai sebagai deskriptif semata-mata tanpa konotatif negatif. Mitos dapat menunjukkan kepada (1) dongengan-dongengan (2) bentuk-bentuk sastra yang membentangkan soal-soal spritual dalam istilah sehari-hari (3) cara berpikir tentang ketenaran-ketenaran yang tertinggi (ultimate). Bentuk pertama merupakan dongengan dengan binatang-binatang sebagai pelaku, tujuannya adalah memberi moral atau prinsip tindakan dan bukan untuk meriwayatkan suatu kejadian dalam sejarah secara terperinci. Bentuk kedua dalam arti sesungguhnya sangat bergantung pada konteks keagamaan. Bentuk ketiga merupakan bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak.<br />• merupakan pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spritual, bebas dari ketergantungan pada indera dan rasio.<br /><br /> <br />Apabila dikaitkan dengan budaya hukum, maka pada hakekatnya mistik merupakan merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak di dalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya. <br />Kemudian, buah pikiran atas ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini menjadi sesuatu yang keadaanya tidak statis melainkan berubah mengikuti perubahan dalam masyarakat dan diyakini menjadi budaya hukum.Dengan demikian, dapat diartikan bahwa meskipun mistik tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa, namun memiliki pengaruh bagi masyarakat yang menyakininya. <br />Sebagai contoh mengenai mistik yang ada dalam masyarakat, diantaranya terdapat dalam beberapa peristiwa berikut ini : <br />• Pengkultusan seseorang yang mudah menggiring para pengikutnya kepada tindakan antisosial yang berbahaya, seperti tindakan bunuh diri massal yang dilakukan kelompok Heaven's Gate di Amerika Serikat dan usaha pembunuhan massal oleh Sekte Aum Shinrikyo di Jepang. Sikap mengkultuskan ini merupakan sikap fanatik terhadap seseorang yang tidak dapat dimengerti secara rasio dan sulit dijelaskan oleh akal. <br />• Contoh lain yang berkaitan dengan budaya dan berpengaruh pada politik adalah aliran kelompok meditasi Falun Gong, yaitu pemrotes dengan cara diam, yang dianggap sekte sesat oleh pemerintah komunis Cina. Tudingan pemerintah Beijing adalah gerakan Falun Gong merupakan gerakan makar berbau mistik. Hal ini dilatar belakangi sejarah politik Cina yang dipenuhi sederet contoh gerakan arus bawah yang kebanyakan direkat oleh kohesi kepercayaan dan mistisisme yang tumbuh menjadi kekuatan politik dan menggulingkan dinasti. Kelompok meditasi yang dianggap berbau mistik ini juga sulit dijelaskan oleh akal, namun meditasi yang dilakukan tersebut diyakini oleh masyarakat dapat mengubah politik negara mereka. <br />• Munculnya aliran kebatinan di Indonesia, dimana ulama sufi (mistik) menerjemahkan teks suci Alqur'an secara ta'wil tidak secara lahiriayah sehingga menimbulkan kontroversial. Dalam ajaran dan perkembangannya mereka "menafikan" dan "menolak" syariah dan lebih mengedepankan hubungan pribadi dengan tuhan tanpa penuntun yang jelas. Aliran ini banyak diikuti masyarakat di Jawa dan menjadi bagian budaya hukum, sehingga sewaktu itu pemilihan umum ataupun melakukan kegiatan politik yang berkaitan dengan hukum, didasarkan pada "eling" kepada tuhan sekaligus meminta petunjuk dan meyakini hal-hal mistis disekitar mereka, seperti karisma pemimpin, jumlah angka dan hal lainnya.<br />• Contoh mistik lainnya yang terkait erat dengan budaya hukum di Indonesia adalah mengenai kesaktian (kasakten) dalam konsep kekuasaan Jawa, yaitu memilih pemimpin karena karisma. Karisma adalah kemampuan seseorang pemimpin dalam ilmu gaib atau hal-hal yang bersifa keramat untuk memperbesar pengaruh sehingga keabsahannya sebagai pemimpin diakui dan didukung. Rakyat yang menyakini hal demikian akan memilih seorang pemimpin bukan karena kinerja atau komitmennya terhadap bangsa. Yang paling menonjol di masa orde baru adalah istilah Pandito Ratu, yang menegaskan bahwa seorang pemimpin tidak dapat disalahkan. Budaya hukum demikian jelas terbukti berpengaruh pada hasil politik hukum di Indonesia pada masa tersebut. <br />• Adanya "partai-partai mitikal" dapat dilacak dari keberpegangan partai terhadap masa lalu, dogma parsial yang kemudian dijadikan semacam mitos. Sebagai misal, beberapa tokoh dimasa lalu yang pernah berjasa kepada negeri Indonesia dicoba dilepaskan dari sifat-sifat kemanusiaanya yang lekat dengan keterbatasan dan kekurangan. Para tokoh tersebut dimitoskan oleh masing-masing pendukungnya sebagai manusia paripurna yang nyaris tidak memiliki kekurangan. Mereka dipuji dan diagungkan sebagai sosok demokrat sejati, pembela humanisme atau bapak pembangunan yang tiada tara. Mereka pun digambarkan – implisit atau eksplisit - sebagai pembawa misi profetik yang kehadiran mereka untuk pembebasan bangsa atau untuk mengantarkan bangsa ini menuju kesejahteraan yang hakiki. Padahal, terlepas dari kelebihan yang dimiliki masing-masing, mereka adalah manusia biasa yang punya kekurangan, yaitu dari yang sangat otoriter hingga yang totaliter dan korup. Mereka memilih partai bukan karena program kongkret yang ditawarkan, melainkan lebih bersifat karena kekaguman dan tarikan aura mitikal yang dimiliki sang figur partai, bukan berdasarkan rasionalitas tentang kemampuan si figur atau kehebatan partai memperjuangkan kepentingan rakyat. <br /><br /> <br />Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hakekat mistik sendiri merupakan suatu hal gaib yang tidak dapat dijelaskan secara rasio, pada tingkat supra rasional dan mempunyai pengaruh besar kepada keyakinan orang yang menyakininya sehingga menjadi bagian dari kultur atau budaya hukum mereka. Adapun bentuk-bentuk dari mistik tersebut dapat berupa pengkultusan, meditasi, karisma, aliran kebatinan dan lainnya.<br />Budaya hukum merupakan sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, pandangan-pandangan, pikiran-pikiran, sikap-sikap dan harapan-harapan (bagian dari budaya umum yang berhubungan dengan sistem hukum).<br />Budaya hukum sendiri menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Apabila masyarakat hukum tersebut sederhana, maka kehidupan masyarakatnya terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis. Dengan demikian, budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan budaya, posisi ataupun kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan. Termasuk nantinya keyakinan ataupun kepercayaan anggota masyarakat tersebut. <br />Secara sempit, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai tradisi hukum yang dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum Indnesia. Sedangkan secara luas, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai keseluruhan endapan dari kegiatan dan karya hukum masyarakat Indonesia.<br />Perlu untuk diketahui, bahwa budaya hukum juga tidak terlepas dari budaya yang kemudian menjadi kebudayaan suatu masyarakat. Budaya berarti Pikiran ; akal budi ; hasil atau Sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Budaya Indonesia pada hakikatnya : satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa seluruhnya dengan tidak menolak nilai-nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa yang hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa. <br />Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan secara sempit adalah pikiran, karya dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Secara luas, kebudayaan berarti seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Perlu ditekankan bahwa kebudayaan berbeda dengan agama, karena kebudayaan merupakan sesuatu yang spesifik insani (manusiawi), realisasi dari bawah, bukan seperti agama yang merupakan rahmat dari Atas.<br />Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan tersebut paling sedikit memiliki 3 (tiga) wujud, yaitu : <br />1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.<br />2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.<br />3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.<br /><br /> <br />Berdasarkan 3 (tiga) wujud tersebut, yang patut disoroti adalah wujud kebudayaan yang pertama. Pada wujud pertama ini, adat merupakaan wujud ideel dari kebudayaan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakukan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat ialah : (1) tingkat nilai-budaya, (2) tingkat norma-norma, (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan khusus. <br />Hal ini berarti ada keterkaitan antara kebudayaan dengan nilai budaya, norma dan hukum (disini tentunya juga termasuk sistem hukum yang memuat mengenai budaya hukum). <br />Selanjutnya, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks idee-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, karena berkaitan dengan budaya hukum, yakni merupakan konsep abstrak dari manusia yang berkaitan dengan sistem hukum, maka perlu untuk diperhatikan bahwa budaya hukum tersebut memberi pengaruh kepada perubahan nilai-nilai, ide-ide dan sikap dalam masyarakat. Artinya untuk mengubah kesadaran hukum dan kepastian hukum dalam masyarakat, maka harus mengubah nilai-nilai, ide-ide dan sikap-sikap dalam diri masyarakat.<br />Pada kutipan lain dijelaskan bahwa budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan prilaku hukum. Jadi budaya hukum menunjukkan tentang pola prilaku individu sebagai anggota masy yg menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat yang bersangkutan. <br />Kemudian, budaya hukum tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku dan pemikiran yang sah terlepas, akan tetapi diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum, berikut sikapyang mempengaruhi hukum. Termasuk sikap meyakini mistik sebagai bagian dari budaya yang menjadi bagian dari budaya hukum. <br />Keterkaitan budaya hukum dengan mistik menjadi jelas, karena mistik juga merupakan ide-ide , nilai-nilai yang sangat diyakini (hal gaib) hingga tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa. Biasanya keyakinan ini mempengaruhi sikap-sikap yang ada dalam diri masyarakat, sebagaimana dicontohkan pada bagian latar belakang. Hal inilah yang menunjukkan adanya hubungan antara budaya hukum dengan suatu keyakinan yang bersifat mistis. Namun disisi lain mistik sebenarnya merupakan sub sistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan tuhan. Tapi, fakta di Indonesia, kecenderungan mistik lebih bersifat keyakinan irrasional dan menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat tersebut. <br />Apabila dikaitkan dengan karakteristik budaya hukum, yaitu tidak tertulis, hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kemudian merupakan ide, nilai dan sikap yang diyakini oleh masyarakat yang berkaitan dengan sistem hukum, maka mistik sebagai suatu nilai dan sikap yang sangat diyakini masyarakat meski sulit dijangkau oleh akal sehat dan hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dapat dianalisis sebagai bagian atau merupakan suatu budaya hukum dalam masyarakat Indonesia. <br /><br /> <br />Proses munculnya mistik dikaitkan dengan budaya hukum<br /> Membahas mengenai epistemologi mistik, berarti berusaha mencari tahu bagaimana sejarah munculnya mistik dan bagaimana memperoleh keyakinan mistik tersebut. Sebagaimana dijelaskan mengenai hakekat mistik yang gaib, maka alat yang dapat digunakan untuk mengeahui mistik ini diantaranya adalah rasa, hati dan keyakinan seseorang. Jadi tidak melalui indera atau pun rasio atau akal manusia. <br /> Adapun yang menjadi obyek dari mistik tersebut merupakan obyek yang gaib, kasat mata dan supra rasional, maka cara memperolehnya pun sering kali tidak menggunakan akal rasional. Mistik dapat diperkenalkan sebagai suatu bentuk dari intuisi Dijelaskan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam pejabaran-penjabaran mistik memungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung yang mengatasi pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indra. Pengetahuan mistik telah diberi definisi sebagai kondisi orang yang amat sadar tentang kehadiran yang Maha riil. (Hubungan aku dengan tuhan / Kesadaran Kosmis). <br />Berikut ini beberapa cara yang dimungkinkan masuknya keyakinan mistik kepada seseorang : <br />• Apabila seseorang mengalami guncangan psikis, seperti perasaan tersingkir, hilangannya pegangan hidup maupun teringkari, maka dapat secara mudah gerakan kultus yang fanatik, eksklusif dan tak jarang anti sosial dapat masuk. Artinya tanpa adanya pegangan hidup, maka mistik dalam bentuk kultus dapat masuk ke diri seseorang. <br />• Dapat juga dengan melakukan meditasi dan pendalaman suatu aliran kebatinan yang hanya menyatakan diri berhubungan langsung dengan tuhan tanpa memiliki syarat atau aturan tertentu. <br />• Perbedaan oritantasi politik atau aliran dipercaya menjadi sebab dari munculnya perbedaan partai politik dan konflik diantara masyarakat, khususnya Jawa. Aliran yang berbeda bersaing terutama dalam endefinisikan apa itu Indonesia. Atas dasar apa Republik Indonesia harus dibangun sehingga menjadi negara yang kuat dan punya pemerintahan yang baik ? Kalau disederhanakan, ada dua aliran politik yang mempengaruhi apa jawaban elite politik atas pertanyaan tersebut ; santri dan abangan. Santri adalah kelompok muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Bagi santri pada tahun 1950-an, taat terhadap agama berarti mengupayakan agar islam menjadi landasan atau asas bagi pengelompokan politik, seperti parpol dan negara. Karena itu mereka mendirikan parpol berasas islam. Dan pada tahun 1950-an mereka juga mengupayakan agar RI berasakan Islam. Hanya dengan demikian Indonesia menjadi kuat. Sebaliknya, abangan adalah kelompok muslim yang tidak taat menjalankan kewajiban agam islam, apalagi memperjuangkan agar negara berasaskan islam. Islam tidak penting dalam kehidupan sosial politik kelompok abangan. Tidak heran kemudian ia lebih terbuka terhadap ideologi politik lain yang dominan di dunia pada waktu itu yakni komunisme. PKI lahir dari elite dan massa yang berorientasi abangan seperti ini. Sementara itu, abangan yang berada pada posisi kelas atas mewujudkan nilai politik mereka dalam PNI. Perbedaan PNI dengan PKI secara kultural terlaetak pada sopistikasi kepercayaan mereka dan pada perbedan kelas konstiuen mereka. Meski demikian, ketika dihadapkan dengan islam dan partai islam, mereka merupakan kekuatan yang relatif homogen. Keyakinan tanpa diimbangi dengan rasional terhadap aliran politik yang dianut ini juga mempermudah masukkan unsur mistik dan menjadi budaya hukum. <br />• Munculnya aliran kebatinan atau islam mistik di Jawa melalui cara damai, yakni dimulai dari Syekh Siti Jenar memaklumkan dirinya sebagai pengembang aliran manunggaling kawula-gusti (widhatul wujud) yang melambangkan ajaran perkembangan dan percaturan filsafat serta tasawuf pada masa peralihan kekuasaan di jawa, dari majapatit (hindu dan budha) ke pemrintahan islam Demak Bintoro. Aliran sufi atau mistik ini berkembang mejadi Aliran Kebatinan. Terhadap kondisi keyakinan melalui aliran kebatinan ini, dapat dilihat juga bahwa berdasarkan teori Emile Durkheim mengenai sifat solidaritas dari dalam masyarakat, maka adanya solidaritas mekanis yang muncul dalam masyarakat sebagai akibat yang ditimbulkan dari kesamaa yang mengaitkan individu dengan masyarakatnya, maka didalam masyarakt demikian, terdapat kesamaan antra para anggotanya mengenai kebutuhan-kebutuhan, prikelakuan, kepercayaan dan sikap. Hal ini yang pada akhirnya menimbulkan keinginan untuk menimbulkan efek mempertahankan aliran yang diyakininya tersebut. <br />• Sementara, apabila dilihat dari proses lahir atau munculnya mistik tersebut turut mempengaruhi cara memperoleh mistik tersebut, khususnya di negara Indonesia. Seperti mengenai kultus sebagai ekspresi beragama yang cenderung tertutup dan merasa paling benar, proses munculnya adalah diawali dengan terjadinya perubahan kepribadian seseorang yang tiba-tiba drastis, suka menyendiri dan menjaga jarak dengan orang lain, kehilangan daya kritis, sensitif terhadap kritik, cenderung defensif yang berlebihan dan lama-lama menyakini pihak yang dikultuskannya dan bersedia diajak bunuh diri.<br />• Kehadiran mistik ke dalam budaya hukum, secara teori juga dapat dianalisis berdasarkan teori-teori mengenai prilaku masyarakat dan budaya. Budaya menjadi sarana penting bagi mistik untuk masuk menjadi bagian budaya hukum dikarenakan mistik mempengaruhi pola pikir manusia yang akhirnya akan mnucul dalam bentuk budaya atau kebudayaan, sementara kebudayaan memberi pengaruh pada hukum sehingga proses ini menjadi suatu budaya hukum, sebagaimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat bahwa hubungan antara kebudayaan dengan hukum digambarkan sebagai berikut : <br /> "Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatannya lebih kongkret, seperti norma-norma, hukum dan aturan-aturan khusus semuanya berpedoman kepda sistem nilai budaya."<br /><br /> <br />Berdasarkan hal ini, maka diketahui bahwa hukum dengan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat, yaitu hukum merupakan kongkretisasi dari nilai-nilai budaya suatu masyarakat, dengan kata lain hukum merupakan penjelmaan dari sistem nilai-nilai budaya masyarakat. Perkembangan analisis ini melahirkan istilah budaya hukum sebagai persenyawaan antara variable hukum dan kebudayaan.<br />Berikut beberapa teori yang menjelaskan cara mistik masuk ke dalam kebudayaan dan kemudian menjadi budaya hukum, diantaranya : <br />• Berdasarkan bentuk-bentuk karakteristik perilaku sosial yang dikemukakan oleh Max Weber yaitu : Pertama perilaku sosial masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai rasional dan berorientasi terhadap suatu tujuan. Kedua, bahwa prilaku sosial dapat diklasifikasikan oleh kepercayaan secara sadar pada arti mutlak perilaku. Ketiga, perilaku sosial yang diklasifikasikan sebagai suatu yang bersifat afektif atau emosional. Keempat, merupakan prilaku sosial yang dikalsifikasikan sebagai tradisonal yang telah menjadi adat istiadat. Berdasarkan prilaku sosial masyarakat tersebut, dapat dianalisis bahwa mistik juga merupakan suatu prilaku sosial yang cenderung bersifat emosional dan tradisional yang kemudian menjadi bagian dari budaya. <br />• Menurut teori dari Robert K. Merton dijelaskan bahwa magis atau mistik atau ritus kepercayaan tertentu maupun kepercayaan bersifat fungsional memberi efek terhadap jiwa atau kepercayaan diri bagi mereka yang memang mempercayainya. Dengan demikian, mistik dianggap mampu mempengaruhi suatu maryarakat sehingga dapat diartikan juga mempengaruhi budaya masyarakat tersebut.<br />• Berdasarkan inti teori Von Savigny : "semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa yang biasa tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk yakni bahwa hukum itu mulai-mula dikembangkan oleh adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum. Baru kemudian oleh yurisprudensi, jadi dimana-mana oleh kekuatan dalam yang bekerja diam, tidak oleh kehendak sewenang-wenang dalam pembuatan UU. Von Savigny menekankan bahwa setiap masyararakat mengembangkan hukum kebiasaanya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat (termasuk kepercayaan) dan konstitusi yang khas Dengan demikian, apabila suatu mistik telah menjadi kepercayaan suatu masyarakat (seperti munculnya aliran keagamaan atau aliran politik) maka dapat berarti mistik menjadi kebiasaan dalam masyarakat tersebut, dimana kebiasaan tersebut mampu mengembangkan suatu hukum. <br />• Bahkan berdasarkan Teori Max Weber lainnya, dijelaskan bahwa dalam perkembangan hukum sehingga samapai kepada bentuknya yang sekarang ini, dominasi dalam masyarakat bertolak dari struktur yang karismatik dan tradisional menuju ke struktur yang legal rational. Adanya kharismatis yang berunsur magis diakui oleh Weber sebagai faktor yang memberi sumbangan dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum <br /><br /> <br />Dengan demikian, dari aspek epistemologinya, mistik dapat diperoleh melalui berbagai cara, seperti meyakinkan seseorang melalui pengkultusan, karisma, secara damai melalui pendekatan agama dan keyakinan termasuk melalui jalur partai politik, melakukan meditasi sampai dengan beberapa teori yang dikemukakan oleh para filosof dan sosiolog terkait dengan analisis teori yang mendukung argumentasi mengenai cara mistik masuk ke dalam kebudayaan dan kemudian menjadi budaya hukum<br /><br /> <br />Manfaat telaah mistik dalam budaya hukum <br /> Berdasarkan teori dari Ann Ruth Willner yang menjelaskan bahwa terhadap suatu kepemimpinan yang hanya berdasarkan suatu karistmatis belaka, dapat menimbulkan ciri-ciri bahwa : Pertama , adanya keyakinan bahwa sang pemimpin memiliki kualitas Istimewa yang superhuman. Kedua, para pengikutnya kehilangan kritisme terhadap pemimpinnya, bahkan cenderung memperlakukan pendapat atau sikap pemimpinnya sebagai suatu kebenaran. Ketiga, para pengikut memberikan loyalitas mutlak kepada para pemimpinnya dan Keempat, massa pengikut senantiasa memperlihatkan komitmennya yang emosional dan personal terhadap pemimpin. Dan hal ini menjadi salah satu faktor digunakannya mistik yang dikaitkan dengan suatu budaya masyarakat, karena lebih mempermudah suatu pihak menggunakan kharismatik dalam menentukan keberadaan kepemimpinannya pada suatu masyarakat. <br />Selain itu terdapat beberapa kegunaan mistik sebagai budaya hukum apabila dikaitkan dengan kegiatan baik dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum : <br />• Dapat dimanfaatkan oleh para politisi dalam meraih perhatian masyarakat yang pemahaman politiknya belum tinggi, sehingga dalam hal seperti pemilihan umum, partai politik atau seorang tokoh lebih mudah mempengaruhi pemilihnya melalui keyakinan, kultus maupun karisma yang semuanya merupakan mistik. <br />• Sifat subyektif dalam mistik menunjukkan kegunaanya lebih ditujukan kepada pihak-pihak yang menggunakan mistik tersebut. Seperti pengembangan aliran kebatinan ataupun aliran dalam agama yang mempengaruhi suatu partai politik. <br />• Disukai atau tidak, masuknya islam dan meluasnya penyebaran agama tersebut di Jawa maupun di wilayah lain, dilakukan secara damai tanpa harus berperang. Dikarenakan dalam penyebaran tersebut menggunakan upaya mistik sekaligus memberikan kepercayaan lain yang dianut untuk melebur pada islam, sehingga muncullah islam abangan ataupun islam mistik. <br />• Dalam pembuatan UU sekalipun, mistik yang telah menjadi suatu budaya dan memiliki suatu nilai yang mewakili suatu masyarakat tertentu, dapat diberikan perlindungan hukum. Sebagai contoh suatu mistik yang menjadi budaya dan bernilai sejarah serta menjadi mitos dalam kalangan masyarkat tertentu, diakui sebagai bagian dari Folklore masyarakat tersebut dan dilindungi melalui UU Hak Cipta. <br />• Bahkan tidak jarang, pengaruh keyakinan, sikap serta kebiasaan yang berasal dari mistik yang telah menjadi budaya hukum dapat berperan sebagai pendorong proses adaptasi dari suatu perubahan, sekaligus dapat pula berperan sebagai penghambat. Hal ini dapat dilihat, dari banyaknya budaya yang bernilai ekonomis yang apabila dilindungi akan membantu proses adaptasi dari suatu perubahan, misalnya dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual suatu masyarkat seperti Hak Cipta, atau sebaliknya menjadi penghambat apabila tidak dimanfaatkan secara positif. <br /><br /> <br />Ditarik suatu sintesa bahwa, kegunaan utama dari mistik sebagai budaya hukum selain mempermudah sebagian pihak untuk mempengaruhi masyarakat melalui kharismatik dan pengkultusan baik dalam dunia politik dan keagamaan, namun juga dapat dimungkinkan dimanfaatkan secara positif seperti menjadi bagian dari folklore masyarakat tertentu, sehingga bernilai ekonomis dan dapat dilindungi oleh hukum.<br />Pada akhirnya, suatu kebudayaan, aspirasi, cita-cita dunia nilai-nilat, tetap merupakan variabel bebas yang turut menentukan penampilan kahir dari hukum. Demikian analisis melalui persfektif filsafat ilmu mengenai keberadaan mistik sebagai budaya hukum yang cukup mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia. <br /><br /> <br />Penutup.<br /> Kebudayaan mempengaruhi suatu hukum dalam suatu masyarakat. Mistik sebagai suatu pengetahuan yang mempengaruhi pola pikir manusia pada akhirnya akan muncul dalam bentuk budaya. Selanjutnya proses kebudayaan mempengaruhi hukum ini lebih dikenal sebagai suatu proses yang menjadi budaya hukum. Dengan demikian mistik pun dapat dikaitkan dan menjadi bagian dari budaya hukum. <br />Secara filosofis, keberadaan misitk dalam budaya hukum dapat dilihat dari 3 aspek yaitu, aspek ontologis yang menjelaskan bahwa mistik dalam budaya hukum merupakan mistik merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak didalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya.<br />Kemudian berdasarkan aspek epistemologis, mistik dapat diperoleh melalui berbagai cara, seperti meyakinkan seseorang melalui pengkultusan, karisma, secara damai melalui pendekatan agama dan keyakinan termasuk melalui jalur partai politik, melakukan meditasi sampai dengan beberapa teori yang dikemukakan oleh para filosof dan sosiolog terkait dengan analisis toeri yang mendukung argumentasi mengenai cara mistik masuk ke dalam kebudayaan dan kemudian menjadi budaya hukum.<br />Pada akhirnya, berdasarkan aspek aksiologis, kegunaan utama dari mistik sebagai budaya hukum adalah, selain mempermudah sebagian pihak untuk mempengaruhi masyarakat melalui kharismatik dan pengkultusan baik dalam dunia politik dan keagamaan sampai mempengaruhi pembentukan dan pelaksanaan hukum, namun juga dapat dimungkinkan dimanfaatkan secara positif seperti menjadi bagian dari folklore masyarakat tertentu, sehingga bernilai ekonomis dan dapat dilindungi oleh hukum.<br /><br /> <br />Saran. <br />Apabila nilai mistik sebagai budaya memiliki nilai positif dalam arti memiliki keuntungan ekonomis sehingga berbentuk mitos dan kepercayaan masyarakat lokal dan pada akhirnya dapat dilindungi melalui perlindungan hukum terhadap folklore, maka keberadaan mistik masih tetap dapat dipertahankan. <br />Persoalannya menjadi pelik, apabila mistik sebagai suatu budaya tersebut setelah melalui prosesnya menjadi budaya hukum, terlalu dominan sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat, seperti dalam menentukan pilihan hukumnya pada pemilihan umum, atau wakil rakyat dalam menentukan ketentuan hukum apa yang perlu diatur. Hal ini dapat menjadi penghambat perkembangan hukum dalam beradaptasi pada perubahan dan kemajuan dunia. Oleh karenanya, keberadaan mistik sebagai suatu budaya hukum, harus ditempatkan pada posisi yang tepat, seperti hanya sebagai alat untuk mempengaruhi menjelang adanya pilihan hukum, tidak pada saat melakukan pilihan hukum dalam pemilihan umum ataupun harus disertai dengan upaya pembuktian hukum yang tepat jika akan menjadi bagian ketentuan tertulis, seperti pengaturan mengenai santet dalam KUHPidana. <br />Daftar Pustaka<br />Buku : <br />Ahmad Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu : mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. <br />Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. <br />Cita Citrawinda Priapantja. 1999. Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi. Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi. Jakarta : Chandra Pratama. <br />Eman Suparman. 2004. Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan. Jakarta : PT. Tatanusa. <br />Hajriyanto. Y. Thohari. 2002. Kepemimpinan Nasional : antara Primordialisme dan Akuntabilitas. Dalam buku Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat L: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta : LP3ES.<br />Harold H. Titus, et al. 1984. Pesoalan-Persoalan Filsafat. (alih Bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi). Jakarta : PT. Bulan Bintang. <br />J.W.M. Bakker. Sj. 1984. Filsafat Kebudayaan : Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Kanisius. <br />Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT. Dian Rakyat. <br />--------------------. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia. <br />Lawrence. M. Friedman. 2001. American Law : An Introduction. Hukum Amerika : Sebuah Pengantar (alih bahasa Wishnu Basuki). Jakarta : Tatanusa. <br />Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung : CV. Mandar Maju.<br />Moh. Mahfud MD. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : PT. Pustaka LP3ES. <br />Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.<br />--------------------. 2003. Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas.<br />Soerjono Soekanto et al. 1994. Antropologi Hukum : Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Jakarta : CV. Rajawali.<br />Soerjono Soekanto. 1985. Seri Pengenalan Sosiologi 1 : Max Weber, Konsep-Konsep Dasar Dalam Sosiologi. Jakarta : Rajawali Pers. <br />Soerjono Soekanto. 1989. Seri Pengenalan Sosiologi 10 : Robert K. Merton, Analisa Fungsional. Jakarta : Rajawali Pers. <br />W. Friedmann. 1994. Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan (Susunan II). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. <br /><br /> <br />Dokumen lainnya : <br /><br /> <br />Chamzawi. Munculnya Aliran Kebatinan.<br />http://www.yarsi.ac.id/kolom_chamzawi/detail.php?id=8. diakses tanggal 04 Oktober 2004<br />Falun Gong, Komunisme dan Aquaria". Majalah Tempo. CD. Room . Vol. 3. Edisi No. 24/XXVIII/16-22 Agustus 1999. Bagian Selingan <br />http://kompas.com/kompas-cetak/0403/21/pemilu/920904.htm. Analisis Pemilu : Perubahan Signifikansi Politik Aliran. Minggu 21 Maret 2004., diakses tanggal 29 September 200<br />Kelik. M. Nugroho. "Obat itu bernama Kultus. Majalah Tempo. CR-Rom. Vol. 2. Desember 1998 bagian Agama <br />Kompas 27 Desember 2003. Opini. Abd A'la. "Mitos dalam Politik, Ancaman bagi Demokrasi Substansial <br />Pusat Bahasa Departemen P dan K. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. <br />Republika. 27 Agustus 2001. Kuntowijoyo. "Mitos, Ideologi, dan Ilmu : Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan". <br />Tim Tata Nusa. Juli 1999. Kamus Istilah : Memuat Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia 1945 – 1998. Jakarta : PT. Tatanusa Indonesia. <br /><br /><br /></span>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-31220303373205525502009-02-03T19:24:00.000-08:002009-02-03T19:27:08.920-08:00Pencucian Uang Sebagai Kejahatan TerorganisirOleh :<br />Malkian Elvani<br /><br />I. Latar belakang<br />Pencucian uang (disebut dengan istilah Money Laundering). Mahmoeddin As dalam bukunya Analisis Kejahatan Perbankan yang dikutip oleh Munir Fuady menge-mukakan bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya money laundering dimulai dari negara Amerika Serikat sejak tahun 1830. Pada waktu itu banyak orang yang membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan (uang panas) seperti hasil perjudian, penjualan narkotika, minuman keras secara illegal dan hasil pelacuran. Pusat-pusat gangster besar yang piawai masalah pencucian uang di Amerika Serikat yang terkenal dengan nama kelompok legendaries Al Capone (Chicago). Mayer Lansky memutihkan uang kotor milik kelompok Al Capone dengan mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada). Lalu dikembangkan lagi offshore banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh kelom-pok ini menjadikan Mayer Lansky dijuluki sebagai bapak Money Laundering Modern.<br />Setelah memasuki tahun 1980 an kegiatan ini semakin jadi dengan banyaknya penjualan obat bius. Bertolak dari sini dikenal istilah narco dollar atau drug money yang merupakan uang hasil penjualan narkotika. Perkembangan selanjutnya uang panas itu disimpan di lembaga keuangan antaranya di bank. Penyimpanan uang panas ini dengan tujuan agar uang hasil dari kejahatan itu menjadi legal. <br /><br /><span class="fullpost"><br />Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering. <br />Apabila uang hasil kejahatan dipergunakan dan atau dimasukkan ke dalam dunia peredaran uang termasuk lembaga keuangan, berarti status uang itu identik dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang legal. Jika demikian berarti akan menumbuh subur-kan kejahatan yang bermotif uang baik kejahatan konvensional maupun modern,sehing-ga samar perbuatan yang legal dan illegal. <br />Pencucian uang tidak dilakukan seperti kejahatan tradisional lainnya walaupun bentuk kejahatannya sama seperti penipuan atau penyuapan. Penipuan dan penyuapan ini merupakan tindak pidana kejahatan menurut KUHP. Apakah sama cara melakukan kedua tindak pidana ini dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi berlainan atau oleh orang yang satu dengan orang yang lain atau dapat terjadi pelakunya sama, akan tetapi objek dan korbannya tidak sama . <br />Kejahatan berkembang seiring perkembangan IPTEK. Kegiatan pencucian uang akan menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK. Penipuan, penyuapan secra tradisional akan langsung dilakukan dengan tunai. Akan tetapi penyuapan dan kegiatan penipuan dilakukan dengan kecanggihan teknologi tidak harus pada suatu tempat terten-tu. Praktik money laundering bisa dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri. <br />Sifat money laundering menjadi universal dan bersifat internasional yakni melin tasi batas-batas yurisdiksi negara. Berarti Money laundering berhubungan dengan dan dicapai dengan kemajuan teknologi melalui system cyberspace (internet), pembayaran dilakukan melalui bank secara elektronik (cyberpayment) Sudarmadji salah seorang penasehat hukum Bank Indonesia menyebutkan bahwa tindak pidana penyuapan, korupsi, perjudian, pemalsuan uang merupakan pemicu money laundering. Money Laundering dapat menimbulkan ketidak percayaan nasabah dan masyarakat kepada sistem perbankan.<br />Apabila dikatakan bahwa kegiatan pencucian uang telah menembus batas negara berarti pemahaman hukum pidana terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan azas teritorial suatu negara saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional yang dilanggar. Uang hasil dari tindak pidana ini tidak saja disimpan atau dimanfaatkan dalam suatu lembaga keuangan suatu negara asal, akan tepi juga dapat ditransfer ke negara lain de-ngan berbagai macam cara dan kepentingan. Ada kepentingan untuk membiayai kegiat-an teroris dan ada juga untuk proses bisnis. Kegiatan semacam ini melibatkan lebih dari satu hukum pidana nasional.<br />Kasus-kasus kejahatan money laundering seperti mantan Presiden Phillipina Ferdinand Marcos, uang hasil tindak pidana koroupsi disimpan di bank Credit Suisse. Mantan Presiden negara Panama yaitu Noriega. Noriega melakukan perdagangan obat bius. Kegiatan money laundering sampai ke Amerika serikat sehingga akhirnya dia di penjarakan di Amerika. <br />Kegiatan money laundering oleh bank seperti kasus Bank Bank of Credit & Commerce Internasional (BCCI) tahun 1991. Salah satu kasus BCCI adalah dibukanya rekening di BCCI oleh sebuah kantor konsultan keuangan yang mengatakan mempunyai klien berupa investor kaya di negara Amerika Latin. Jenis-jenis kejahatan money laun-dering yang dilakukan BCCI berhubungan dengan perdagangan obat bius. BCCI ber-tindak sebagai penyalur uang hasil transaksi itu. Kemudian tahun 1990 Dinas Bea dan Cukai Amerika Serikat berhasil membongkar jaringan perdagangan obat bius yang melibatkan BCCI. <br />Kasus Chemical Bank tahun 1977. Chemical Bank cabang New York melalui salah seorang manajernya menerima suap dari seorang yang terlibat dalam perdagangan obat bius agar transaskinya berupa setoran uang (hasil kejahatan) dalam rekening valas tersebut tidak dilaporkan dengan tidak mengisi formilir Currency Transaction Report (CTR). <br />Jika diperhatikan uang hasil money laundering itu telah melalui dua periode. Pertama uang itu diperoleh dari kejahatan, kedua uang itu dibersihkan melalui money laundering dengan berbagai cara sehingga menjadikan uang itu legal. <br />Memperhatikan konvensi yang berhubungan dengan money laundering dan kasus money laundering, nampak kejahatan ini tersusun rapi dan bersifat internasional. <br />Munir Fuady menyebutkan bahwa money laundering merupakan kejahatan yang teror-ganisir (organized crime). Menurut hemat penulis tentu ada beberapa parameter untuk menentukan bahwa kejahatan money laundering ini merupakan kejahatan terorganisir.<br />II. Permasalahan <br />Kejahatan konvensional sifatnya expressive hanya karena kebutuhan sesaat, dan tidak memerlukan kecanggihan teknlogi serta pelakunya tidak memerlukan keahlian, cukup dengan modal berani. Andainya mereka menggunakan teknologi hanya bersifat kebetulan .<br />Kejahatan terorganisir memerlukan organisasi dan sistematika yang kuat. Akan tetapi pencucian uang disebut kejahatan terorganisir (organized crime) belum ada indi-kator . Berdasarkan pemikiran itu penulis ingin mendeskripsikan indikator pencucian uang sebagai kejahatan terorganisir.<br />III. Tujuan Penulisan<br />Mendeskripsikan indikator pencucian uang sebagai tindak pidana terorganisir (organized crime).<br />IV. Pencucian Uang sebagai Kejahatan terorganisir (Organized Crime)<br />Mendeskripsikan pencucian uang sebagai kejahatan terorganisir dilihat dari segi kriminalisasi dan pelaku.<br />Kriminalisasi suatu tindak pidana merupakan bagian dari proses penegakan hukum pidana. Penegakan hukum Pidana melalui tiga tahap diantaranya tahap formulasi. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislative. Pada tahap inilah terjadi proses kriminalisasi. Pada proses kriminalisasi tidak saja hanya merumuskan tindak pidana be-serta sanksinya saja, akan tetapi menentukan atau memberikan sifat apakah tindak pida-na ini tindak pidana konvensional atau transnasional. Jika tindak pidana itu bersifat transnasional menunjukkan indikasi bahwa tindak pidana itu melampaui batas negara dan tidak terikat dengan yurisdiksi hukum satu negara saja. Semua negara (lebih dari satu) negara yang mengatur tindakan itu merupakan tindak pidana. <br />Demikian juga kegitan dan pelaku, tentunya pelaku tidak terlepas dari perkem-bangan ilmu pengetahuan dan teknologi.<br />1. Kriminalisasi Pencucian Uang<br />Pada tingkat internasional ada suatu konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering. Berdasarkan kon-vensi ini RI telah meratifikasi dengan UU No 7 tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini baru pada tahun 2002 RI membuat UU No 15 tahun 2002 menyatakan bahwa money laundering sebagai tindak pidana. UU No 15 tahun 2002 kemudian diubah dengan UU No 25 tahun 2003.<br />Konsideran UU No 15 tahun 2002 jelas menyatakan bahwa pencucian uang bu-kan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau inter-nasional mela-lui forum bilateral atau multilateral,.... <br />Konsideran UU No 25 tahun 2003 menyatakan bahwa agar upaya pencegahan dan pem-berantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif, maka UU No 15 tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional.<br />Kriminalisasi tindak pidana berpedoman kepada sifat hukum pidana, yaitu clarity (jelas), certainty (pasti), proportion (terukur), speedy (cepat) dan prevention (bersifat mencegah). <br />Kriminalisasi pencucian uang terdapat dalam Pasal 3. UU No 25 tahun 2003. Rumusan Pasal 3 paralel dengan rumusan Pasal 1 angka 1. Pencucian uang adalah per-buatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, me-nyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lain-nya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pi-dana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta keka-yaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah.<br />2. Kegiatan dan Pelaku Pencucian Uang<br />Pencucian uang sebagai tindak pidana yang terorganisir tentu ada beberapa pi-hak yang terlibat dan mempunyai tugas masing-masing. Biasanya organisasi seperti ini disebut dengan sindikat atau jaringan. Agar organisasi ini berjalan dengan sempurna sesuai dengan rencana perlu adanya kerangka tertentu sebagai sarana. Beberapa literatur yang membahas pencucian uang mengemukakan bahwa kegiatan pencucian uang mem-punyai kerangka, model, modus operandi, instrumen, metode, tahapan serta pela-ku tertentu dalam kegiatan kejahatan merupakan satu paket.. Masing-masing sarana terdiri dari berbagai jenis sebagai alternatif. Sarana-sarana ini menjadi pedoman melakukan pencucian uang sehingga untuk melakukan pencucian uang dapat dipilih dari beberapa alternatif.<br />2.1. Model<br />Schaap, Cees sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan banyak model untuk melakukan kejahatan pencucian uang. Diantara model pencucian uang yang paling lazim adalah :<br />Model dengan operasi C-Chase. Model ini menyimpan uang di bank diba-wah ketentuan sehingga bebas dari kewajiban lapor transaksi keuangan (Non Currency Transaction Reports) dan melibatkan bank luar negeri dengan memanfaatkan tax haven. <br />Model pizza connection. Model ini memanfaatkan sisa uang yang ditanam di bank untuk mendapatkan konsesi Pizza, dan melibatkan negara tax haven dengan memanfaatkan ekspor fiktif. <br />Model La Mina. Model ini memanfaatkan pedagang grosir emas dan permata dalam negeri dan luar negeri.<br />Model dengan penyelundupan uang kontan ke negara lain. Model ini mem-pergunakan konspirasi bisnis semu dengan system bank parallel.<br />Model dengan melakukan perdagangan saham di Bursa Efek.Model ini melakukan kerja sama dengan lemabaga keuangan yang bergerak di bursa efek.<br />2.2. Modus Operandi<br />Mahmoeddin, H.AS yang dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan ada 8 (delapan) modus operandi pencucian uang :<br />1. Kerjasama Penanaman Modal<br />Uang hasil kejahatan dibawa ke luar negeri. Kemudian uang itu dimasukkan lagi ke dalam negeri lewat proyek penanaman modal asing (joint venture). Selanjkutnya keuntungan dari perusahaan joint venture diinvestasikan lagi ke dalam proyek-proyek yang lain, sehingga keuntungan dari proyek terse-but sudah uang bersih bahkan sudah dikenakan pajak.<br />2. Kredit Bank Swiss<br />Uang hasil kejahatan diselundupkan dulu ke luar negeri lalu dimasukkan di bank tertentu, lalu di transfer ke bank Swiss dalam bentuk deposito. Deposito dijadikan jaminan hutang atas pinjaman di bank lain di negara lain. Uang dari pinjaman ditanamkan kembali ke negara asal dimana kejahatan dilakukan. Atas segala kegiatan ini menjadikan uang itu sudah bersih.<br /><br />3. Transfer ke luar Negeri<br />Uang hasil kejahatan ditransfer ke luar negeri lewat cabang bank luar negeri di negara asal. Selanjutnya dari luar negeri uang dibawa kembali ke dalam negeri oleh orang tertentu seolah-olah uang itu berasal dari luar negeri.<br />4. Usaha Tersamar di dalam Negeri<br />Suatu perusahaan samaran di dalam negeri didirikan dengan uang hasil keja-hatan. Perusahaan itu berbisnis tidak mempersoalkan untung atau rugi. Akan tetapi seolah-olah terjadi adalah perusahaan itu telah menghasilkan uang bersih.<br /><br />5. Tersamar Dalam Perjudian<br />Uang hasil, kejahatan didirikanlah suatu usaha perjudian, sehingga uang itu dianggap sebagai usaha judi. Atau membeli nomor undian berhadiah dengan nomor menang dipesan dengan harga tinggi sehingga uang itu dianggap se-bagai hasil menang undian.<br />6. Penyamaran Dokumen<br />Uang hasil kejahatan tetap di dalam negeri. Keberadaan uang itu didukung oleh dokumen bisnis yang dipalsukan atau direkayasa sehingga ada kesan bahwa uang itu merupakan hasil beberbisnis yang berhubungan dengan do-kumen yang bersangkutan. Rekayasa itu misalnya dengan melakukan double invoice dalam hal ekspor impor sehingga uang itu dianggap hasil kegiatan ekspor – impor.<br />7. Pinjaman Luar Negeri<br />Uang hasil kejahatan dibawa ke luar negeri. Kemudian uang itu dimasukkan lagi ke dalam negeri asal dalam bentuk pinjaman luar negri. Sehingga uang itu dianggap diperoleh dari pinjaman (bantuan kredit ) dari luar negeri.<br />8. Rekayasa Pinjaman Luar Negeri.<br />Uang hasil kejahatan tetap berada di dalam negeri. Namun dibuat rekayasa dokumen seakan-akan bantuan pinjaman dari luar negeri<br /><br />2.3. Metode<br />NHT Siahaan mengemukakan ada tiga metode yang dipergunakan melaku-kan pencucian uang, sbb:<br />1. Buy and Sell Conversions<br />Metode ini dilakukan meallui transaksi barang dan jasa. Suatu aset dapat dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual lebih mahal dengan mendapatkan fee atau deskon. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci secara transaki bisnis. Barang atau jasa dapat diubah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank <br />2. Offshore Conversions<br />Uang hasil, kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenagkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money laun-dering centers) untuk kemudian di depositokan di bank yang berada di wila-yah tersebut. Negara yang termasuk atau berciri tax heaven memang terdapat system hukum perpajakan yang tidak ketat. Akan tetapi system rahasia bank sangat ketat. Birokrasi bisnis cukup mudah untuk memungkinkan adanya ra-hasia bisnis yang ketat serta pembentukan usaha trust fund. Untuk mendu- kung usaha itu pelaku memakai jasa pengacara, akuntan dan konsultan keuangan dan para pengelola dana yang handal untuk memanfaatkan segala cela yang ada di negara itu. <br />3, Legitimate Business Conversions<br />Metode ini dengan melakukan kegiatan bisnis yang sah sebagai cara peng-alihan atau pemanfaatan hasil uang kotor. Uang kotor kemudian dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank lainnya. Biasanya pelaku bekerja sama dengan perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uang kotor.<br />2.4. Instrumen. Instrumen yang dimaksud berupa lembaga penyedia jasa baik penyedia jasa keuangan berupa bank ataupun non bank maupun non keuangan. <br />Ada 8 (delapan) Instrumen yang dipergunakan dalam pencucian uang. yaitu :<br />1. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya<br />2. Perusahaan Swasta<br />3. Real estate<br />4. Deposit Taking Institution dan Money Changer<br />5. Institusi Penanaman Uang Asing<br />6. Pasar Modal dan Pasar uang.<br />Menurut UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan public yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. (Pasasl 1 angka 13). Pasar Uang adalah sarana yang menyediakan pembaiayaan jangka pendek (kurang dari satu tahun). Pasar uang tidak mempunyai tempat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan antara lain : surat berharga pemerintah, sertifikat deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan wesel. Lemabaga – lembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur uang, dan bank sentral .<br />7. Emas dan Barang Antik<br />8. Kantor konsultan keuangan<br />2.5. Tahapan<br />1. Placement.<br />Tahap ini upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam system keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, weselbank, sertifikat deposito, dll) kembali ke dalam system keuangan, terutama system perbankan.<br />2. Layering<br />Upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement ) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi pene-gak hukum untuk dapat mengetahui assal usul harta kekayaan tersebut.<br />3. Integration.<br />Upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang te-lah berhasil masuk ke dalam system keuangan melalui penempatan atau trans-fer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.<br />2.6. Pelaku<br />Kejahatan terorganisir termasuk pencucian uang pelakunya juga lebih dari satu atau dua orang. Terorganisir dalam pengertian terdapat kerjasama diantara pelaku dan masing-masing pelaku dapat berada pada tempat yang berlainan. <br />Pencucian uang sebagai kejhahatan terorgaanisir dilakukan oleh orang yang me-nguasai dunia penyedia jasa keuangan baik bank maupun non bank Tindak pidana seba-gai mana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat saja dilakukan oleh siapa saja. <br />Akan tetapi untuk melanjutkannya ke tingkat pencucian uang diperlukan pengetahuan khusus tentang dunia penyedia jasa keuangan. Bahkan harus menguasasi ilmu pengetah-uan computer. Pencucian uang merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan kerah putih tidak ada rumusan yang jelas baik dari sisi kriminologi maupun dalam perundang-undangan. Pergerakan kejahatan kerah putih sangat luas yang dapat meliputi perekonomian, keuangan, ... dan biasanya dilakukan secara terorganisir (organized crime).<br />Kejahatan kerah putih dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mulai dari manual hingga exrtra sophisticated atau super canggih yang memasuki dunia maya (cyberspace) sehingga kejahatan kerah putih dalam bidang pencucian uang disebut dengan cyber laundering merupakan bagian dari cyber crime yang didukung oleh pengetahuan tentang bank, bisnis, electronic banking.yang cukup. <br />Contoh kasus pencucian uang yang tergolong sebagai kejahatan teroraganisir seperti kasus Bank of Credit & Commerce International (BCCI), Pizza Connection, Penyelundupan uang dan Kasus Nusse.<br />Kasus Bank of Credit & Commerce International (BCCI<br />Kasus BCCI dengan mempergunakan model Operasi C-Chase, modus kerja sama penanaman modal, metode legitimate business conversions dan dengan instrument bank dan lembaga keuangan lainnya<br />Kasus Bank of Credit & Commerce Internasional(BCCI) tahun 1991. Bank of Credit & Commerce Internasional(BCCI) mengalami kemajuan sekitar tahun1970 hing-ga tagun 1980. BCCI banyak mempunyai anak cabang di Timur Tengah, Eropa, Afrika, Asia dan di Amerika Serikat mempunyai anak perusahaan berupa First American Bank of Washington sekaligus memiliki cabang di seluruh kota besar di Amerika Serikat. Selain itu BBCCI mempunyai bank terafiliasi di Negara Negara tax haven, seperti Luxemburg atau Cayman Islands. BCCI menggunakan tenaga konsultan manajemen<br />Kasus pencucian uang yang dilakukan lewat BCCI adalah dengan menggunakan tenaga konsultan manajemen. Salah satu kasus BCCI adalah dibukanya rekening di BCCI oleh sebuah kantor konsultan keuangan yang mengatakan mempunyai klien beru-pa investor kaya di negara Amerika Latin. Rekening tidak aktif selama 6 bulan lalu mendadak ada masuk dana melalui telegram berkali kali dalam jumlah yang besar. Lalu Direktur dari kantor konsultan keuangan tersebut memerintahkan mentransfer sebagian besar dananya kesebuah rekening bank di Panama via bank besar di New York. Jenis-jenis kejahatan money laundering yang dilakukan BCCI berhubungan dengan perda-gangan obat bius./ BCCI bertindak sebagai penyalur uang hasil transaksi itu. Kemudian tahun 1990 Dinas Bea dan Cukai Amerika Serikat berhasil membongkar jaringan per-dagangan obat bius yang melibatkan BCCI sebagai penyalur uangbhasilm transaksi. Kasus BCCI lain, BCCI pernah membeli sebuah bank di Kolombioa yang mempunyai 30 cabang di seluruh Kolombia, sepertio di Madelin dan Cali yang terkenal dengan pusat kartel narkotika.<br />Pada suatu saat BCCI berperilaku sebagai Godfather. Hal ini dilakukan ketika negara Jamaika ditolak kredit sebanyak US $ 60 Juta dari dana Moneter International, karena kredit lamanya belum lunas. BCCI sebagai Godfather datang dengan menawar-kan kredit sebesar US $ 40 Juta, dengan syarat agar Bank Sentral Jamica menyerahkan bisnisnya kepada BCCI, dan hal ini dipenuhi oleh Jamaica. <br />Kasus Pizza Connection<br />Kasus Pizza Connection ini mempergunakan model tersendiri yang disebut “model Pizza Connection”. Pizza Connection ini banyak mempunyai restoran Pizza yang mengalirkan uang haram. Modus operandi yang dipergunakan adalah kerjasama penanaman modal dan transfer ke luar negeri. Metode dipergunakan metode offshore Conversion. Instrumen yang dipergunakan adalah bank. <br />Kasus Pizza Connection merebak pada tahun 1984 yang ditangani oleh pihak polisi International (Interpol). Kasus ini dilakukan investigasinya oleh investigator Amerika Serikat dan Italy yang dipimpin oleh Hakim Italy Judge Falcone.Restoran Pizza yang tersebar dimana-mana banyak menghasilkan uang haram sebagai hasil per-dagangan obat bius di Amerika Serikat. Uang ini sebagian dipergunakan dan ditanam untuk mendapat konsesi pizaa, selebihnya lewat negara tax haven di Karibia dan Swiss. Uang tersebut dibwerikan kepada anggota mafia di Sicilya dalam bentuk pembayaran terhadap ekspor juice buah-buahan ke Rumania, Bulgaria dan Libanon, Padahal ekspor tersebut fiktif. Sasaran yang dituju adalah untuk mendapatkan uang masyarakat Eropa terhadap reimbursements ekspornya.<br />Kasus Nusse. <br />Kasus Nusse mempergunakan model perdagangan saham, modus operandi kerjasama penanaman modal, metode Legitimate business Conversions, dengan instrument Pasar modal dan lembaga keuangan bank. <br />Kasus Nusee terdeteksi di Belanda dengan bursa efek Amesterdam yang meli-batkan perusahaan efek Nusse Brink Commissionairs di Pasar Modal.<br />Nussee mempunyai beberapa klien yang merupakan pelaku pencucian uang. Nusse Brink membuat 2 rekening bagi kliennya. Satu rekening untuk transaksi menderita kerugian, satunya lagi untuk transaski memperoleh untung. Rekening dibuka di tempat yang sangat rahasia sehingga tidak terdeteksi siapa pemilik uang.<br />V. Penutup.<br />Kegiatan pencucian uang bukan merupakan kejahatan baru ditemukan. Kejahatan ini pertama kali muncul di negara maju sebagai akibat perkembangan perda-gangan obat bius (narkotika). Kejahatan terorganisir seperti Pencucian uang tidak hanya didasarkan kepada jumlah pelaku. Pencucian uang dilakukan tidak saja secara terorganisir berdasarkan jumlah pelaku akan tetapi sistematis yang dapat melintasi batas yurisdiksi negara. Kejahatan terorganisir dibentuk berdasarkan sistematika kerja yang tersusun secara rapi. Jaringan tidak harus bersifat permanent akan tetapi daya kerja harus dinamis.. Antara model, modus operandi, metode serta instrumen disesuaikan sehingga dapat berlaku efektif. Unsur model tidak bersifat mutlak,tanpa model kegiatan pencuciasn uang dapat terlaksana. Kejahatan teroganisir selalu didukung oleh perkembangan teknologi serta berpeluang pada cyber space sehingga kejahatan terorganisir disebut cyber crime termasuk pencucian uang. <br /><br />Daftar Pustaka<br />Marulak Pardede. 1995.Hukum Pidana Bank. Pustaka Sinar Harapan Jakarta <br />M.Irsan Nasarudin dan Indera Surya 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Kencana Jakarta. <br />Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip. Semarang <br />Munir Fuady. 2001. Hukum Perbankan Indonesia. PT. CirtraAditya Bakti Bandung <br />NHT. Siahaan. 2005. Pencucian uang dan Kejahatan Perbankan. Sinar Harapan. Jakarta, <br />Romli Atmasasmita, 2003. Pengantar Hukum Bisnis<br />Sudarmadji .Makalah yang berjudul Essensi dan Cakupan UU Tentang Pencucian Uang di Indonesia, disampaikan pada seminar nasional Sosialisasi UU No 15 tahun 2002 Kerjasama Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum Unsri dengan PT. Bank Pembangunan Daerah Sumsel tgl 15 Juli<br />* Disampaikan pada kegiatan seminar Head Fakultas Hukum Unsri tgl 22 September 2005<br />** Dosen Fakultas Hukum Unsri<br />Munir Fuady. 2001. Hukum Perbankan Indonesia. PT. CirtraAditya Bakti Bandung halaman 154.<br />Loc.cit<br />NHT. Siahaan. 2005. Pencucian uang dan Kejahatan Perbankan. Sinar Harapan. Jakarta, halaman 103. <br />Ibid. halaman 3<br />Sudarmadji .Makalah yang berjudul Essensi dan Cakupan UU Tentang Pencucian Uang di Indonesia, disampaikan pada seminar nasional Sosialisasi UU No 15 tahun 2002 Kerjasama Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum Unsri dengan PT. Bank Pembangunan Daerah Sumsel tgl 15 Juli 2002.halaman 12<br />Munir Fuady, 2001, op.cit halaman 186 – 195.<br />Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip. Semarang halaman 13.<br />Pada tingkat internasional usaha penegakkan hukum pidana tahap formulasi atau kriminalisasi dituangkan dalam bentuk konvensi. Konvensi mewajibkan negara-negara peserta membentuk undang-undang untuk memberantas kejahatan yang disebutkan dalam konvensi.<br />Perubahan UU No 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang<br />Munir Fuady. 2001. op.cit halaman 198 – 206 ada 11 model .<br />Munir Fuady, 2001 ibid halaman 155<br />NHT.Siahaan. 2005 Op.cit halaman 21<br />M.Irsan Nasarudin dan Indera Surya 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Kencana Jakarta. halaman 19<br />Baca penjelasan umum UU No 25 tahun 2003 . LN No. 108 tahun 2003 dan TLN No 4324 tahun 2003<br />Ilmu hukum pidana mengenal dengan istilah “delneming:”.<br />Marulak Pardede. 1995.Hukum Pidana Bank. Pustaka Sinar Harapan Jakarta halaman 135<br />NHT. Siahaan. Op.cit halaman 41<br /><br /><br /></span>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-21218375193151117262009-02-03T19:18:00.000-08:002009-02-03T19:20:28.157-08:00UPAYA PENYELESAIAN MASALAH ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI KOTA PALEMBANGOleh:<br />Ruben Achmad, SH.,MH<br />Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br /><br />Abstrak: Alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hokum melalui upaya diversi. Lembaga kepolisian menggunakan kewenangan diskresioneryang dimilikinya, antara lain tidak menahan anak akan tetapi menetapkan suatu tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau menyerahkannya kepada negara. Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan, karena lembaga penuntut tidak memiliki kewenangan diskresione, sedangkan pada tingkat pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan.<br />Kata Kunci: Diversi, Restoratif justice.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br /> <br />Pendahuluan<br />Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita – cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.<br />Indonesia merupakan salah satu dari 191 negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak (Convention on the Right of Children) pada tahun 1990 melalui Kepres no. 36 tahun 1990. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak bagi semua anak tanpa terkecuali, salah satu hak anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hak anak yang berkonflik dengan hukum.<br />Menurut laporan BPS tahun 1997 menyatakan bahwa Pengadilan Negeri seluruh Propinsi mencatat sebanyak 4000 tersangka berusia 16 tahun yang diajukan melalui mekanisme sistem perdilan pidana anak (SPP anak) akan tetapi seringkali kita mendengar hal-hal yang mengecewakan daripada hasil-hasil positip sistem peradilan pidana anak. Kehadiran berbagai perangkat hukum dalam SPP anak Indonesia seperti Undang-Undang no 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM (khususnya menyangkut seperangkat hak dalam proses peradilan pidana ), maupun Undang – Undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, tampaknya tidak cukup membawa perubahan yang signifikan bagi nasib dari anak-anak.konflik hukum yang tengah berada dalam SPP anak.<br />Hasil sementara studi menunjukan anak-anak konflik hukum memperoleh perlakuan yang buruk bahkan dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak konflik hukum mengaku telah mengalami tindak kekerasan ketika berada di kantor polisi. Bentuk kekerasan yang umum terjadi, yaitu kekerasan fisik berupa tamparan dan tendangan, namun ada juga kasus kekerasan yang sekaligus berupa pelecehan seksual seperti kekerasan yang ditujukan pada alat kelamin atau tersangka anak yang ditelanjangi. Dua hal seperti ini terjadi pada anak yang disangka melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan. Selain kekerasan yang dilakukan dalam rangka penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dimana kekerasan merupakan bagian dari upaya memperoleh pengakuan, bentuk kekerasan lain yang terjadi, yaitu perampasan uang yang ada pada anak. Selain itu kekerasan juga terjadi dalam wujut penghukuman yaitu berupa tindakan memaksa anak untuk membersihkan kantor polisi (menyapu dan mengepel) dan membersihkan mobil.<br />Perlakuan buruk juga kadang masih terjadi ketika anak berada dalam Tahanan (RUTAN) mapun Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), perlakuan tersebut berupa pemalakan atau bentuk eksploitasi lainnya. Pada banyak kasus kekerasan semacam ini dilakukan oleh para tahanan /Napi anak dan dewasa ditempatkan dalam sel yang terpisah.<br />Kenyatan-kenyataan sebagaimana dikemukakan di atas, memaksa kita untuk tidak mengharapkan manfaat positip dari Sistem Peradilan Pidana Anak (SPP Anak ) yang ada, kecuali penderitaan dan efek jangka panjang bagi anak-anak tersebut mapun komunitas sosialnya dikemudian hari. Kenyatan tersebut menunjukan Rutan / Lapas memberikan pengaruh buruk terhadap anak-anak tidak saja sebagai akibat dari pergaulannya dengan sesama perilaku kriminal lainnya baik anak maupun dewasa, tetapi juga berupa pengalamannya terhadap kekerasan baik fisik mapun seksual. Pengaruh buruk lainnya yaitu ketika anak-anak harus menerima fakta perilaku aparat penegak hukum yang jauh dari sikap profesional dan bahkan koruptif. Masalah kegagalan atau kelemahan sistem peradilan pidana anak seperti ini bukan hanya dialami oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga dialami oleh negara-negara yang secara ekonomi sudah maju.<br />Dari uraian latar belakang maka diperlukan berbagai upaya alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum, selain daripada melalui sistim peradilan pidana anak. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dianut Convention of The Right of TheChild (CRC) dan juga sebagaimana telah diadopsi dalam Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, khusunya menyangkut prinsip "The Best Interest of The Child" dan Pidana sebagai "The Last Resort".<br />Permasalahan.<br />Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :<br />Upaya-upaya alternatif apakah yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum ?<br />Kendala- kendala apakah yang ditemui dalam penanganan kasus anak yang berkonflik dengan hukum ?<br />Tujuan Penelitian<br />Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :<br />1. Untuk menemukan upaya-upaya alternatif dalam menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum.<br />2. Untuk mengidentifikasi kendala-kendala dalam penanganan kasus anak yang berkonflik dengan hukum.<br />Kerangka Teori.<br />Hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam Pasal 40 Konvensi Hak Anak yang berbunyi "Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan martabat dan nilai anak, yang memperkuat penghargaan anak pada hak-hak azazi manusia dan kebeasan dasar dari orang lain dengan memperhatikan usia anak dan hasrat untuk meningkatkan penyatuan kembali/reintegrasi anak dan peningkatan peran yang konstruktif dari anak dalam masyarakat". <br />Dalam Pasal 37 ayat b konvensi hak anak yang berbunyi :<br />"Tidak seorang anakpun akan dirampas kemerdekaannya secara tidak sah dan sewenang-wenang. penangkapan, penahanan ataupun penghukuman seorang anak harus sesuai dengan hukum dan akan diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang paling pendek".<br />Kemudian dalam Pasal 37 ayat c Konvensi hak anak dinyatakan :<br />"Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat kemanusiaanya dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya".<br />Di Indonesia hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur di dalam Undang-undang no. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diantaranya mengatur tentang pemeriksaan terhadap anak harus dalam suasana kekeluargaan, setiap anak berhak didampingi oleh penasehat hukum, tempat tahanan anak harus terpisah dari tahanan orang dewasa, penahanan dilakukan setelah sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat , hukuman yang diberikan tidak harus dipenjara /ditahanan melainkan bisa berupa hukuman tindakan dengan mengembalikan anak keorang tua atau walinya serta pasal-pasal lainnya yang cukup memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.<br />Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi manusia (HAM) pada Pasal 66 juga mengatur hak anak yang berkonflik dengan hukum. Demikian juga dalam Undang-undang perlindungan anak yang baru disahkan pada tanggal 23 September 2002 Pasal 64 mengatur :<br />(1). Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.<br />(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :<br />1. Perlakuan atas anak secara manusiawi dengan martabat dan hak-hak anak.<br />2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;<br />3. Penjediaan sarana dan prasarana khusus;<br />4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;<br />5. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;<br />6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga dan<br />7. Perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.<br />(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :<br />1. upaya rehabilitasi, baik dalam lenbaga maupun diluar lembaga;<br />2. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;<br />3. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan<br />4. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.<br />Berdasarkan perundang-undangan yang diuraikan dan situasi kondisi (fakta) yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi dan keadilan restorative (Restorative Justice) merupakan salah satu langkah yang tepat bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum.<br />Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat, sedangkan keadilan restorative adalah proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana bersama-sama memecahkan masalah dan bagaimana menangani akibatnya dimasa yang akan datang <br />Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah :<br />1. untuk menghindari anak dari penahanan;<br />2. untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;<br />3. untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;<br />4. agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;<br />5. untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;<br />6. menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;<br />7. menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.<br />Program diversi dapat menjadi bentuk keadilan restoratif jika :<br />• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;<br />• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;<br />• memberikan kesempatan bagi sikorban untuk ikut serta dalam proses;<br />• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;<br />• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.<br /><br /> <br />Metode Penelitian<br />1. Pendekatan masalah.<br />Permasalahan dalam penelitian ini akan didekati dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif mengkaji ketentuan atau peraturan sehubungan dengan anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Sedangkan pendekatan yuridis empiris mengkaji bagaimana ketentuan normatif tersebut diwujutkan senyatanya., kemudian memberikan alternatif penyelesaian masalah anak yang konflik dengan hukum.<br />2. Sumber dan Jenis data<br />Sunber data skunder berasal dari data kepustakaan dan jenis data skunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tertier. Sumber data primer langsung dari lapangan khususnya anak-anak yang berkonflik dengan hukum.<br />3. Lokasi dan Penentuan Sample Penelitian<br />Lokasi Penelitian<br />Lokasi penelitian lapangan adalah wilayah Kota Palembang yang meliputi instansi-instansi sebagai berikut :<br />• Poltabes Palembang;<br />• Balai Pengentasan Anak (BAPAS) Palembang.<br />Penentuan Sample Penelitian<br />Populasi penelitian ini adalah seluruh individu dari instansi-instansi yang disebutkan diatas, namun karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya penelitian ini tidak dilakukan terhadap seluruh individu dari populasi; tetapi terhadap sample dari populasi yang ditentukan dengan teknik purposive sampling yaitu kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum.<br />Pemilihan lokasi penelitian sebagaimana tersebut diatas, didasarkan atas suatu pertimbangan bahwa di kota Palembang anak-anak yang berkontak dengan hukum kasusnya cukup banyak (rata-rata 5-10 kasus perhari).<br />Adapun responden yang akan diwawancarai meliputi :<br />1. 5 orang anak yang berkonflik dengan hukum;<br />2. 5 orang polisi yang menangani anak yang berkonflik dengan hukum;<br />3. 5 orang tokoh masyarakat;<br />4. 5 orang korban;<br />5. 5 orang tua dari anak yang konflik dengan hukum;<br />6. 5 orang kepala desa dimana anak tersebut tinggal.<br />4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data.<br />Apabila dilihat dari maksud dan tujuan penelitian sebagaimana telah disinggung diatas jelas bahwa data yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah data-data sekunder, disamping itu diperlukan juga data primer sebagai penunjang. Adapun teknik pengumpulan data tersebut adalah dengan studi kepustakaan dan studi lapangan.<br />a. Studi kepustakaan<br />Studi kepustakaan dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, yaitu kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum, perUU-an berkaitan dengan anak-anak. Hasil-hasil penelitian, karya ilmiah, kegiatan ilmiah baik nasional maupun internasional, pendapat ahli dan data statistik yang telah ada.<br />b. Studi lapangan.<br />Studi lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan data-data primer yang berhubungan dengan anak yang berkonflik dengan hukum seperti polisi, anak, tokoh masyarakat, korban, orang tua anak dan kepala desa dengan metode atau cara mengajukan beberapa pertanyaan tertulis dan wawancara.<br />c. Analisis data yang telah dikumpulkan secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk diskriptif kualitatif. <br /><br /> <br />Alternatif Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum.<br />Upaya alternatif yang dimaksud disini adalah menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum akan tetapi tidak melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Anak, Upaya ini disebut 'diversi'. Bila dibandingkan diantara institusi yang memperaktekan 'diversi' ternyata adalah Kepolisian, yang dilakukan dengan menggunakan kewenangan diskresioner yang dimilikinya. Dalam kasus-kasus anak, institusi penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Pengadilan, dengan sebab-sebab tertentu, seakan-akan memiliki kecenderungan untuk memilih pidana badan daripada jenis pidana lainnya. Kenyataan ini tampak dari data skunder yang diperoleh sebagaimana yang peneliti uraikan di atas.<br />Berdasarkan data skunder yang diperoleh dari Poltabes Palembang tentang perkara pidana anak, antara tahun 2000 s/d 2003, terdaftar sejumlah 75 kasus anak. Dari keseluruhan tersangka anak tersebut ternyata semuanya dikenakan penahanan. Apa yang terjadi pada kasus anak dalam kaitan dengan penahanan, ternyata memiliki konsistensi dengan apa yang terjadi dalam kaitan dengan pemidanaan. Dari 30 kasus yang berhasil dihimpun dari register perkara pidana biasa di Pengadilan Negeri Palembang, diperoleh fakta bahwa pidana penjara dijatuhkan untuk 25 kasus, yang diputus dengan pidana penjara antara 2 bulan sampai dengan 1 tahun 4 bulan. Tiga kasus tidak diperoleh informasi mengenai putusannya dan satu kasus diputus dengan "Dakwaan batal demi hukum" (putusan sebagai akibat adanya kesalahan prosedural). Dengan demikian dapat dikatakan semua terdakwa anak (100%) yang dinyatakan bersalah telah diputus dengan pidana penjara atau kurungan.<br />Fakta-fakta di atas, sesungguhnya berbeda dengan apa yang diatur dalam perundang-undangan dimana penahanan pada prinsipnya merupakan langkah yang bersifat eksepsional seperti yang dirumuskan dalam Pasal 45 UU No. 3 tahun 1997, beserta penjelasannya. Hal yang sama juga terjadi dalam kaitan dengan pemidanaan, dimana pidana penjara/kurungan sesungguhnya hanyalah salah satu alternatif dari pilihan pidana lainnya yang dimungkinkan seperti halnya "tindakan " mengembalikan kepada orang tua atau menyerahkan kepada negara. Keadaan ini juga tampak kontras dengan Pasal 37 Konvensi Hak Anak yang telah juga menjadi hukum nasional, dimana pidana penjara/kurungan seharusnya menjadi "the last resort". Prinsip yang sama juga sesungguhnya telah diadopsi dalam Pasal 16 ayat 3 UU Perlindungan Anak.<br />Kenyataan tersebut diatas, yang tampaknya sangat bertentangan dengan semangat UU perlindungan anak tersebut, perlu mendapat penjelasan.<br />Bahwa kepolisian secara "terselubung" dalam artian tidak transparan telah melakukan "seleksi" dengan kreteria yang juga tidak cukup terbuka, untuk memilah kasus anak mana yang akan dilanjutkan ke tingkat penuntutan. "Seleksi" tersebut menghasilkan sebagian dari kasus anak telah "dihentikan secara diam-diam" (penghentian penyidikan secara terselubung dan tidak diregister). Sekalipun tidak cukup jelas kreterianya, namun berdasarkan data yang ada, tampak ada kecenderungan bahwa terhadap kasus-kasus anak yang tidak terlalu serius seperti kasus-kasus pelanggaran ketertiban umum atau anak-anak yang memiliki pendamping dari LSM telah dilakukan kebijaksanaan (diskresi) untuk tidak meneruskan kasus tersebut ketingkat penuntutan. Kreteria yang tidak terbuka ini membuka peluang adanya praktek diskriminasi maupun penyalahgunaan wewenang. Data yang ada pada Lembaga Advokasi Anak (LAHA) menunjukkan dari 19 kasus pada tahun 2003, terdapat 5 kasus, sementara selama penelitian dilakukan berhasil ditemukan 10 kasus anak, dimana kepolisian menggunakan kewenangan diskresionernya untuk menghentikan proses penyidikan. Namun demikian data semacam ini tidak dapat diperoleh di Kepolisian, dan seakan-akan "diversi" tidak pernah dilakukan. Keadaan ini tampaknya disebabkan oleh kreteria "diversi" yang tidak jelas dan terbuka, sehingga "record" akan dapat mempersulit pihak Kepolisian, karena menimbulkan kemungkinan untuk dimintakan pertanggung jawaban.<br />Dari kesepuluh kasus anak yang dikumpulkan dari data skunder dapat dibedakan tentang inisiatif untuk melakukan "diversi" seperti yang peneliti uraikan dibawah ini :<br />1. Terhadap mereka yang disangka melanggar ketertiban umum seperti mabuk atau mengamen di jalan raya , Polisi memiliki inisiatif semdiri untuk melepaskan anak dari sel polisi dan tidak memperoses lebih lanjut, segera setelah tenggang waktu penangkapan berakhir. Namun demikian tindakan tersebut tidak disertai langkah apapun yang dapat mencerminkan adanya upaya untuk melindungi maupun mensejahteraan anak. Dengan demikian motivasi polisi untuk melakukan "diversi" sesungguhnya tidak didorong oleh ide-ide yang melatar belakangi diperlukannya diversi. Besar kemungkinan hal tersebut dilakukan oleh sebab-sebab lain seperti : frustasi dalam menghadapi kasus-kasus anak semacam itu, adanya prioritas lain dari pada disibukan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran ketertiban umum, keterbatasan anggaran, atau tidak adanya keyakinan bahwa sistem hukum yang ada mampu menyelesaikan masalah tersebut.<br />2. Terhadap kasus anak lainnya yang dikualifikasikan sebagai "kejahatan", inisiatif "diversi" ternyata tidak datang dari polisi, tetapi dari LSM pendamping. Hal ini dimungkinkan karena beberapa kreteria :<br />1. Pendamping sanggup menjadi penjamin dengan membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi melakukan tindak pidana;<br />2. Tersangka baru pertama kali terlibat tindak pidana (first offender);<br />3. Adanya hubungan baik antara pendamping dan polisi.<br /><br /> <br />Disamping kreteria di atas, ternyata masih ada kreteria – kreteria lain yang ditemukan seperti : tingkat keseriusan tindak pidana yang dilakukan serta sikap dari korban maupun keluarganya.<br />Bahwa setelah dilakukan "seleksi" di tingkat Kepolisian, maka sebagian kasus anak dipandang perlu untuk diteruskan ketingkat penuntutan. Terhadap anak-anak yang kasusnya akan dilanjutkan ke tingkat penuntutan memiliki kecenderungan untuk dikenakan penahanan. Situasi ini mungkin terjadi dikarenakan beberapa hal :<br />1. Kasus anak yang diputuskan untuk dilanjutkan merupakan kasus yang serius dan diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.<br />2. Mereka yang kasusnya dilanjutkan adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang jelas atau tidak ada jaminan untuk dapat dengan mudah dihadirkan pada persidangan.<br />Dengan alasan yang sama (kekhawatiran adanya kesulitan untuk menghadirkan) serta pertimbangan tentang status terdakwa anak yang telah berada dalam tahanan, menyebabkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melakukan penahanan lanjutan. Sesungguhnya keadaan terdakwa dalam status penahanan, akan menimbulkan kesulitan dalam kaitan dengan penuntutan. Dalam arti bahwa JPU dipaksa untuk mempertimbangkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa anak tersebut dalam hal ia menyusun surat tuntutan. Karena itu pula dapat dimengerti, sekalipun tidak berarti kita menyetujui, latar belakang yang menyebabkan adanya fakta bahwa JPU cenderung untuk tidak melakukan "diversi" atau memiliki kecenderungan untuk memilih pidana penjara/kurungan daripada jenis pidana lainnya.<br />Kesulitan lain bagi JPU untuk melakukan "diversi" adalah tidak dimilikinya kewenangan diskretioner sebagaimana dimiliki oleh Polisi. Kewenangan yang dimiliki untuk melakukan "penghentian penuntutan demi kepentingan umum", tidak dapat digunakan sebagai upaya melakukan "diversi" dikarenakan kewenangan tersebut dimaksudkan untuk digunakan dalam hal "penuntutan" bertentangan dengan "kepentingan umum". Selain itu, kewenangan tersebut juga hanya dimiliki oleh Jaksa Agung dan bukan oleh setiap JPU.<br /><br /> <br />Sebagaimana terjadi pada tingkat penuntutan, Pengadilan dengan pertimbangan keadaan terdakwa anak yang sudah dalam status penahanan anak dan untuk menghindari munculnya tanggung jawab moral dalam menghadirkan terdakwa, maka Pengadilan juga cenderung untuk melakukan penahanan lanjutan untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan. Sekalipun Penahanan terhadap terdakwa anak juga telah menimbulkan kesulitan bagi Pengadilan dalam memutus perkara, khususnya ketika Pengadilan hendak menjatuhkan 'tindakan' selain daripada "pidana" atau ketika Pengadilan hendak menjatuhkan pidana lain selain dari pada pidana penjara/kurungan. Karena apabila dijatuhkan putusan lain selain daripada pidana perampasan kemerdekaan, maka dikhawatirkan terpidana akan menuntut ganti rugi sebagai akibat dari penahanan yang pernah dialaminya.Oleh karena itu seringkali masa pidana sekedar disesuaikan dengan masa penahanan. Dengan demikian dari kasus-kasus yang ditemukan, masa pidana sesungguhnya adalah sekedar masa penahanan yang telah dijalaninya, dan yang bersangkutan segera meninggalkan rutan sebagai akibat dari keharusan mengurangi masa pidana dengan masa penahanan. Dengan demikian maka fakta yang menunjukan Pengadilan cenderung menjatuhkan pidana penjara/kurungan dalam kasus-kasus anak, tidak dapat disimpulkan sebagai tidak adanya kemauan untuk melakukan "diversi" pada tingkat Pengadilan. Salah satu penghambat "diversi" pada tingkat Pengadilan adalah penahanan yang dilakukan oleh Penyidik (Polisi) terhadap tersangka anak. Dengan demikian, maka Kepolisian sebagai institusi yang telah melakukan "diversi" ternyata juga merupakan salah satu faktor yang menghambat.<br />Berdasarkan pada kenyataan sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka diperlukan berbagai langkah guna mendorong dilakukannya diversi. Dalam rangka mendorong diversi pada tingkat Penyidikan oleh Polisi, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:<br />1. Peningkatan pengetahuan Polisi khususnya Penyidik Anak tentang ekses-ekses negatif dari SPP anak serta manfaat dari pendekatan non penal terhadap masalah kenakalan anak. Dengan demikian diharapkan tumbuhnya keyakinan dikalangan Penyidik Anak bahwa prosedur hukum bukanlah satu-satunya cara penyelesaian kasus anak.<br />2. Diperlukan adanya pedoman tentang prosedur penangkapan maupun penahanan terhadap tersangka anak yang berorientasi pada UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak, maupun instrumen-instrumen internasional lainnya.<br />3. Diperlukan adanya pedoman bagi Penyidik Anak yang berisi kreteria maupun prosedur dalam menggunakan kewenangan diskretionernya untuk melakukan diversi.<br />4. Manajemen Kepolisian perlu mengembangkan nilai yang memandang penggunaan kewenangan diskretioner yang tepat sebagai langkah positip, daripada sebagai langkah yang perlu dimintakan pertanggung-jawaban. Dengan kata lain, diversi hendaknya dipandang sebagai "kewajaran" dan bukan sebagai "pengecualian " (eksepsional).<br />5. Diperlukan upaya untuk menjalin kerjasama, baik dengan instansi pemerintah terkait maupun dengan LSM, sebagai bagian dari upaya Polisi dalam melakukan diversi. Dalam hal ini perlu dipromosikan dan dikembangkan model restorative justice (konsep keadilan pemulihan) sebagai solusi.<br />Kemungkinan untuk mendorong diversi pada tingkat penuntutan masih dihadapkan pada kendala tidak adanya ketentuan hukum yang dapat digunakan. Kecuali apabila dikembangkan alasan untuk melakukan penghentian penuntutan, yang selama ini semata mata hanya dimungkinkan karena alasan-alasan yang bersifat teknis yuridis.<br />Diversi pada tingkat Pengadilan, pada dasarnya adalah terbatas pada tindakan Pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Pengadilan tidak dapat dengan pertimbangan tertentu untuk menghentikan perkara pidana dan mengeluarkan kasus anak tertentu dari SPP anak. Karena itu yang dapat dilakukan oleh Pengadilan bukanlah diversi dalam pengertian "mengalihkan dari SPP anak" tetapi lebih sebagai upaya untuk memilih "tindakan" atau pidana lain selain dari pidana penjara atau kurungan, karena "tindakan",pidana denda maupun pidana pengawasan adalah bagian dari SPP anak Indonesia.<br />Kesulitan yang diperkirakan akan dihadapi Pengadilan dalam melakukan diversi adalah adanya kewajiban untuk memperhatikan pula kepentingan maupun perasaan keadilan dari korban atau keluarganya. Untuk mengakomodasi kepentingan korban/keluarganya, maka kiranya dapat digunakan dan dikembangkan lembaga "penggabungan perkara perdata ke dalam perkara pidana" sebagaimana yang telah diperkenalkan dalam KUHAP, namun hampir – hampir tidak pernah dilaksanakan.<br />Penggabungan perkara dimaksud adalah menggabungkan tuntutan ganti rugi perdata ke dalam perkara pidana dengan maksud agar korban dapat secepatnya mendap atkan ganti rugi yang dibutuhkan. Selain itu juga dimaksudkan agar Hakim<br />dapat secara sekaligus menggabungkan dua konsep keadilan dalam suatu putusan yaitu konsep keadilan pidana dan konsep keadilan perdata. Sangat disesalkan gagasan yang sangat baik ini ternyata tidak berjalan dalam praktek dikarenakan adanya beberapa kelemahan yang membatasi tuntutan ganti rugi yaitu dibatasinya tuntutan ganti rugi pada kerugian yang bersifat materiel dan yang telah dikeluarkan. Dengan demikian kerugian-kerugian yang bersifat imateriel dan kerugian materiel yang belum dikeluarkan tidak dapat dimintakan dalam penggabungan perkara dimaksud. Kelemahan ini telah menyebabkan korban kejahatan lebih memilih pengajuan gugatan perdata biasa yang dapat menampung keseluruhan kerugian baik materil (telah dikeluarkan maupun belum dikeluarkan) maupun imateril. Penggabungan perkara ganti rugi ini sesungguhnya merupakan upaya penyelesaian kejahatan secara lebih komprehensif, karena secara sekaligus tidak hanya bermaksud untuk memperbaiki pelakunya tetapi juga memulihkan kerugian yang diderita korban. Oleh karena itu, dengan sedikit perubahan pada KUHAP, maka model penyelesaian seperti ini dapat dikembangkan khususnya untuk diterapkan dalam penyelesaian "kenakalan" . Perubahan yang dimaksudkan yaitu meliputi kemungkinan tuntutan pemulihan kerugian yang lebih luas baik oleh individu tertentu maupun komunitas tertentu, serta dibukanya peluang tuntutan atau putusan untuk "berbuat sesuatu" sebagai alternatif ganti rugi, sehingga lembaga "penggabungan perkara" ini juga dapat dinikmati oleh terdakwa yang secara ekonomi tidak mampu.<br />Penggabungan perkara ganti rugi akan membuka kesempatan lebih luas bagi hakim untuk menerapkan diversi. Karena dengan adanya ganti rugi atau "kewajiban untuk berbuat sesuatu" kepada korban, maka diharapkan korban lebih dapat menerima putusan yang tidak menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan tersebut.<br />Gagasan ini sangat tergantung pada sikap dan peran JPU dalam penuntutan. Untuk itu perlu diupayakan pula agar JPU tidak saja dalam perannya mengakomodasikan kepentingan korban/keluarganya tetapi juga dapat mengambil inisiatif dalam hal ia melihat bahwa keadilan dapat dicapai tanpa harus melalui tindakan menempatkan anak pada tempat yang beresiko tinggi seperti penjara.<br />Penutup<br />1. Kesimpulan<br />Dari hasil penelitian data skunder dan dilengkapi dengan data primer terhadap permasalahan dalam penelitian ini, maka pada akhirnya dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Bahwa upaya alternatief yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui suatu upaya yang disebut "upaya diversi".<br />2. Upaya diversi ini dapat dilakukan dengan menggunakan kewenangan diskretioner yang dimiliki Kepolisian.<br />3. Inisiatif untuk melakukan "diversi" berhubungan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku anak. Apabila tindak pidana kejahatan maka inisiatif tersebut berasal dari LSM pendamping dan apabila tindak pidana pelanggaran inisiatif berasal dari Kepolisian.<br />4. Kreteria lain yang ditemukan tingkat keseriusan tindak pidana yang dilakukan serta sikap dari korban maupun keluarganya.<br />5. Jaksa Penuntut Umum cenderung untuk tidak melakukan "diversi"yang disebabkan keadaan terdakwa dalam status penahanan.<br />6. Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki kewenangan "diskretioner"<br />7. Pengadilan cenderung menjatuhkan pidana penjara/kurungan dalam kasus-kasus anak bukan berarti Pengadilan tidak punya kemauan untuk melakukan "diversi" pada tingkat Pengadilan.<br />8. Salah satu penghambat "diversi" pada tingkat pengadilan adalah adanya penahanan yang dilakukan oleh penyidik (polisi).<br />2. Saran – Saran<br />Berdasarkan pada kenyataan sebagaimana dikemukakan di atas peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Perlu peningkatan pengetahuan Polisi khususnya Penyidik Anak tentang ekses negatif dari penyelesaian masalah anak melalui sarana Sistem Peradilan Pidana Anak (SPP).<br />2. Perlu adanya pedoman tentang prosedur penangkapan maupun penahanan terhadap tersangka anak.<br />3. Diperlukan adanya pedoman bagi penyidik anak yang berisi kreteria maupun prosedur dalam menggunakan kewenangan diskretionernya untuk melakukan diversi.<br />4. Manajemen Kepolisian perlu mengembangkan nilai yang memandang penggunaan kewenangan diskretioner sebagai langkah positip.<br />5. Perlu adanya upaya untuk menjalin kerjasama yang positip, baik dengan instansi pemerintah maupun dengan LSM sebagai bagian dari upaya polisi dalam melakukan diversi.<br />6. Perlu dipromosikan dan dikembangkan model restorative justice (konsep keadilan pemulihan) sebagai solusi.<br /><br /> <br />ka<br />Herlianto, Urbanisasi Pembangunan dan Kerusuhan Kota, Penerbit Alumni Bandung, 1979.<br />Jonh Muncie, Youth and Crime : A Critical Introduction, Sage Publication; London, 1999.<br />Kadhis Sanford H, Fear of Crime , Encyclopedia of Crime and Juctice London the free Press, 1973.<br />Manheim, Herman, Comperative Criminology, Boston New York, volume I, 1965.<br />Michael King dan Christine Piper, How the Law Thinks About Children, Arena Ashgate. Publishing Hants 1955.<br />Nitibaskara, Etnografi Kejahatan di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada FISIP UI Jakarta, TB.Ronny, 1998.<br />Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Remaja (Pedoman Riyadh) disahkan melalui Resolusi Maelis PBB No.45, 14 Desember 1990. Unicef. <br />Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Administrasi Peradilan bagi Remaja (Beijing Rules) disahkan melalui Resolusi Majelis PBB No.40/33, tanggal 29 November 1985 , Unicef.<br />Peraturan-Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Remaja yang kehilangan Kebebasannya. Disahkan melalui Resolusi Majelis PBB No.45/133 tanggal 14 November 1990, Unicef.<br />Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delunquency (Pemahaman dan Penggulangannya). Penerbit PT Citra Aditya Bhakti.<br />Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia Indonesia. Cetakan ke-4, Jakarta, Hlm.21.<br />Soerjono, Soekanto, Metodelogi Penelitian Hukum, Penerbit UI Pers.1987.<br />Sellin, Thorsten, Culture Conflik and Crime, Social Sciences Research Council, New York, 1993.<br />Stewart Asquith Children and Young People In Conflit With the Law Jessica Kingsley Publisher London, 1996.<br />Undang-Undang Republik Indonesia No.3/1977 tentang Pengadilan Anak, Biro Hukum Departemen Sosial Republik Indonesia tahun 1977.<br />Undang-Undang Republik Indonesia No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br /><br /><br /></span>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-53217738062359841272008-12-21T09:39:00.000-08:002008-12-21T09:41:37.705-08:00PERJANJIAN KERJA SAMA PEMBEBASAN TANAH<div align="justify"><span class="fullpost"><br />KASUS POSISI<br /><br />• Untuk mengurus persoalan tanah milik 120 mantan anggota Laskar Rakyat 1945, di kampung Wana, Kec. Latuhan Maringgai, Kab. Lampunt Tengah; Hendri Luhur bekerjasama dengan Sidambaram Wairo dan Yushar Yahya. Kesepakatan kerjasama untuk pembebasan tanah seluas 2.400 HA, itu ditandatangani tanggal 31 Mei 1986;<br />• Dalam perjanjian itu, ditentukan bahwa Hendri menyandang dana yang dibutuhkan. Mulai dari mengurus perjanjian perdamaian dengan para wakil mantan anggota Laskar Rakyat 1945, hingga proses sertifikat tanah selesai. Diperkirakan urusan dengan para mantan anggota Laskar akan selesai dalam waktu empat bulan. Sedangkan pembuatan 4000 sertifikat, selesai dalam delapan bulan. Biaya yang dibutuhkan Rp. 200 juta untuk penyelesaian pekerjaan tersebut selama satu tahun.<br />• Modal pengerjaan proyek tersebut diberikan secara bertahap Rp. 85 juta diserahkan pada saat perjanjian ditandatangani Rp. 60 juta diberikan secara bertahap dalam 12 bulan, dan biaya untuk mengurus sertifikat tanah di Agraria Rp. 55 juta.<br />• Untuk meyakinkan Hendri dan menjaga kemungkinan kegagalan dalam pengerjaan proyek, disepakati bersama bahwa modal Rp. 85 juta akan dikembalikan, jika urusan dengan mantan Laskar tak beres sesuai dengan jadwal. Pengembaliannya dilakukan tanpa syarat. Untuk menjamin pengembalian uang itu, Yushar menjaminkan tanah dan bangunan HGB No. 695/Gondangdia secara Hipotik yang terletak di Jalan Jusuf Adiwinata no. 52 Pav, Jakarta Pusat.<br />• Jadwal waktu yang disepakati untuk menyelesaikan urusan pembebasan tanah, belum juga selesai, hingga memasuki tahun 1988. Padahal dengan adanya kelonggaran waktu yang diberikan, Hendri tetap membayar modal untuk biaya operasionalnya.<br />• Hingga Juli 1987, Hendri telah memberikan dana sebesar Rp. 171,460 juta.<br />• Mungkin karena sangat berharap, Hendri menyerahkan lagi dana untuk modal sertifikat tanah sebesar Rp. 146, 299 juta. Secara keseluruhan, Hendri mencatat jumlah seluruh modal berikut interestnya yang telah disetor sebesar Rp. 231, 299 juta. Padahal, sebenarnya tak ada kemajuan dalam pengerjaan proyek pembebasan tanah ex Laskar Rakyat 1945 tersebut.<br />• Namun akhirnya Hendri merasakan keadaan yang tidak menyenangkan ini. Pada 10/2/1988, Hendri menyatakan mengundurkan diri dari kerjasama dengan Sidambaran dan Yushar Yahya, ia meminta agar kedua Rekan bisnisnnya mngembalikan modalnya ditambah denda sebesar 3%/bulan dari modal yang telah dikeluarkannya.<br />• Permintaan Hendri agar Sidambaran dan Yushar mengembalikan modal berikut denda ternyata tidak gampang. Keduanya menolak mengembalikan modal dengan alasan perjanjian tanggal 31/5/1987 telah dibatalkan dengan addendum tanggal 16/7/1987. Addendum tanggal 16/7/1987 tersebut memuat penjadwalan kembali penyelesaian pekerjaan tahap I dan II. Pembuatan sertifikat juga berubah dari 4000 menjadi 1603 sertifikat. Jadi, jika pekerjaan tak selesai sesuai dengan jadwal sebagaimana perjanjian tanggal 31/5/1986, harus dimengerti sebagai kewajaran.<br />• Hendri sendiri lama kelamaan tak sabar dengan alasan-alasan Sidambaran dan Yushar. Hendri membawa perkara ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Sidambaran dan Yushar sebagai Tergugat I dan II. Hendri sebagai Penggugat dalam Surat gugatnya mengajukan tuntutan agar supaya Hakim memberikan putusan sebagai berikut:<br /><br />PRIMER:<br />1. Menyatakan CB atas harta kekayaan Tergugat I berupa:<br />1. Tanah dan bangunan di Jl. Cempaka Putih Tengah XXIIA/B, Jakarta Pusat milik Tergugat I.<br />2. Tanah dan bangunan di Jl. Yusuf Adiwinata 52 Jakarta Pusat milik Tergugat II.<br />3. Alat rumah tangga dan barang-barang lain di bangunan tersebut, sah dan berharga.<br />2. Menyatakan Tergugat I dan II wanprestasi atas perjanjian kerjasama tanggal 31/5/1987.<br />3. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar kembali kepada Penggugat Rp. 231,299 juta plus 3%/bulan hingga lunas.<br />4. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya penagihan yang timbul dalam kasus ini, sebesar Rp. 30 juta.<br />5. Menyatakan putusan ini, uitvoerbaar bij voorraad.<br />6. Menghukum para Tergugat menbayar biaya perkara ini.<br /><br />SUBSIDAIR: aequo et bono/memutuskan menurut keadilan dan kepatutan.<br />1. Pihak Tergugat menanggapi gugatan Hendri diatas disamping memberikan jawaban juga mengajukan “gugatan rekonpensi” yang pada pokoknya menuntut agar Hakim memberikan putusan sebagai berikut:<br />1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi secara keseluruhan.<br />2. Menyatakan Tergugat Rekonpensi, melakukan wanprestasi.<br />3. Menyatakan Akte Hipotik no. 85/511/1988 Menteng yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris tanggal 30/7/1988, batal atau tidak berkekuatan hukum.<br />4. Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk mengembalikan sertifikat HGB no. 695/Gondangdia kepada Penggugat Rekonpensi.<br />5. Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk membayar dwangsom Rp 50 ribu/hari jika lalai menyerahkan sertifikat.<br />6. Menyatakan putusan ini uit voorbaar bij voorraad.<br />7. dst…………….dst………………dst…………..<br /><br /><br />PENGADILAN NEGERI<br /><br />• Dalam Konpensi<br /> Hakim pertama yang mengadili perkara ini dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:<br />• Perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat merupakan “Perjanjian Kerjasama”. Sesuai dengan sifatnya, baik Penggugat maupun Tergugat sama-sama bertanggungjawab atas berhasil atau tidaknya proyek kerjasama tersebut. Dengan demikian, tuntutan bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi adalah kurang tepat.<br />• Dari bukti-bukti yang ada ternyata Tergugat telah melaksanakan penyelesaian tanah tersebut. Meskipun, akhirnya belum berhasil, karena hambatan-hambatan diluar yang direncanakan.<br />• Penggugat tidak dapat membuktikan, bahwa tidak berhasilnya proyek kerjasama tersebut karena kesengajaan Tergugat,<br />• Dari fakta-fakta tersebut, Majelis menganggap bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya bahwa Tergugat melakukan wanprestasi.<br />• Oleh karena tuntuan Penggugat selebihnya mendasarkan diri kepada adanya wanprestasi, maka Majelis tidak mempertimbangkan lebih lanjut.<br /><br />Dalam Rekonpensi:<br />• Pertimbangan Dalam Konpensi dianggap pula pertimbangan dalam Rekonpensi.<br />• Dalam Konpensi, Penggugat Rekonpensi, tidak terbukti telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kerjasama seperti tersebut di muka.<br />• Meskipun terdapat Akta Perdamaian (bukti T-10), yang adanya tidak disangkal kedua belah pihak, namun juga tidak dapat disangkal bahwa proyek kerjasama tersebut, belum berhasil secara keseluruhan. Sehingga, tuntutan Penggugat Rekonpensi agar Tergugat Rekonpensi dinyatakan wanprestasi adalah tidak berdasar dan harus ditolak.<br />• Perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat Rekonpensi adalah perjanjian kerjasama. Bukan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan jaminan. Oleh karena itu, adanya akte hipotik atas tanah HGB no. 695 di Gondangdia, tidak sesuai dengan sifat perjanjian kerjasama tersebut. Oleh karena itu pula, akte hipotik harus dibatalkan. Tergugat Rekonpensi harus mengembalikan sertifikat tersebut kepada Penggugat Rekonpensi.<br />• Tuntutan agar Tergugat membayar dwangsom untuk setiap keterlambatan, tidak sesuai dengan sifat perjanjian kerjasama. Adanya sertifikat pada Tergugat Rekonpensi juga karena adanya perjanjian kerjasama, karena itu harus ditolak.<br />• Karena gugatan Penggugat Rekonpensi dikabulkan sebagian, maka gugatan selebihnya harus ditolak.<br /><br />Dalam Konpensi dan rekonpensi:<br />- Dengan dikabulkannya sebagian gugatan Penggugat Rekonpensi, maka Tergugat Rekonpensi harus membayar biaya perkara.<br />- Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis memberi putusan yang amarnya sebagai berikut:<br /><br /> Dalam Konpensi:<br />- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.<br /><br />Dalam Rekonpensi:<br />1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi sebagian.<br />2. Menyatakan Akte Hipotik no.85/VII/1988 Menteng, atas tanah HGB no. 695/Gondangdia adalah batal.<br />3. Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk mengembalikan sertifikat HGB no. 695 Gondangdia pada Penggugat Rekonpensi.<br />4. Menolak gugatan Penggugat Rekonpensi selebihnya.<br /><br />Dalam Konpensi dan Rekonpensi<br />Menghukum Penggugat Konpensi untuk membayar biaya perkara.<br /><br /><br />PENGADILAN TINGGI:<br /><br />• Penggugat, Hendri Luhur, menyatakan banding atas putusan Pengadilan Negeri, Hakim Banding yang mengadili perkara ini memberikan pertimbangan sebagai berikut:<br />• Memori banding yang diajukan oleh Tergugat tidak mengemukakan hal-hal yang dapat melemahkan putusan Hakim Pertama. Demikian pula dengan kontra memori Tergugat.<br />• Setelah memeriksa perkara ini, Hakim Banding berpendapat bahwa putusan Hakim Pertama dalam pertimbangannya sudah tepat dan benar, yang oleh Hakim Banding pertimbangan itu diambil alih sebagai pendapatnya.<br />• Pihak Pengugat tidak mampu membuktikan gugatannya, sementara Tergugat berhasil mempertahankan pendiriannya. Perjanjian antara Penggugat dan tergugat adalah “Perjanjian kerjasama”, bukan perjanjian meminjam uang jaminan. Dengan demikian, putusan Hakim Pertama yang menolak gugatan Penggugat adalah tepat dan adil serta patut dikuatkan.<br /><br />Dalam Rekonpensi:<br />• Putusan Hakim Pertama dalam pertimbangannya sudah tepat dan benar sehingga Hakim Banding diambil alih sebagi pertimbangannya sendiri. Oleh karena itu, maka putusan dikuatkan dengan perbaikan Redaksi pada angka 2 sebagimana bunyi amar putusan dibawah ini.<br />• Berdasar atas pertimbangan hukum tersebut diatas, Pengadilan Tinggi memberikan putusan sebagai berikut.<br /><br />Dalam Konpensi<br />- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 185/Pdt-G/VI/1989/PN.Jkt.Pst. yang dimohon banding.<br /><br />Dalam Rekonpensi:<br />- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan perbaikan diktum, sehingga amarnya sebagai berikut:<br />1. Mengabulkan gugatan Penggugat Dalam Rekonpensi untuk sebagian.<br />2. Menyatakan Akte Hipotik no. 85/VII/1988 Menteng, yang dibuat oleh Notaris Winanto Wiryomartani, SH tanggal 30/7/1988 atas tanah HGB no. 695/Gondangdia adalah berkekuatan hukum.<br />3. Menghukum Tergugat Dalam Rekonpensi untuk mengembalikan Sertifikat HGB no. 695 Gondangdia tersebut keapada Penggugat Dalam Rekonpensi.<br />4. Menolak gugatan Penggugat Dalam Rekonpensi selebihnya.<br /><br /><br />MAKAMAH AGUNG RI:<br /><br />- Penggugat, Hendri Luhur, menolak putusan Hakim Banding dan mengajukan permohonan kasasi dengan mengajukan keberatan sebagai berikut:<br />1. Judex facti keliru menilai pokok persoalan. Masalah dalam perkara ini adalah wanprestasi dalam pengembalian uan goleh Tergugat, jika jadwal penyelesaian proyek tidak dipenuhi. Bukan soal siapa penanggungjawab kegagalan proyek.<br />2. Kriteria waprestasi bukan apakah proyek gagal atau tidak. Tetapi apakah dilaksanakan pengembalian modal atau tidak oleh Tergugat kepada Penggugat, setelah kegagalan terjadi.<br />3. Judex facti salah menerapkan hukum tentang beban resiko dalam “Perjanjian kerjasama”. Dalam perjanjian tersebut Tergugat mengakui bahwa selain modal yang dijamin dengan hipotik. Modal selebihnya sebesar Rp. 50 juta adalah utang pada Penggugat. Tergugat berjanji akan membayar kembali seluruh modal Penggugat sebesar Rp. 231,299 juta.<br />4. Judex facti keliru menafsirkan lembaga jaminan hipotik Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi secara tanpa dasar berpendirian seolah-olah hipotik hanyalah accesoir dari perjanjian pinjam meminjam uang Hipotik, bukan hak kebendaan untuk menjamin pinjaman uang. Melainkan untuk menjamin pelaksanaan prestasi suatu perikatan. Karenanya, pembatalan Akte Hipotik atas fungsi hipotik adalah keliru. Terbukti dari pengertian Hipotik pasal 1162 jo. 1182 jo 1183 KUH Perdata.<br />- Makamah Agung setelah memeriksa perkara ini berpendapat bahwa terlepas dari keberatan-keberatan kasai tersebut judex facti telah salah menerapkan hukum, sehingga putusan judex facti harus dibatalkan dan selanjutnya Makamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini. Pendirian Makamah Agung diatas didasari oleh pertimbangan juridis yang intisarinya sebagai berikut:<br />• Judex facti telah menafsirkan dasar gugatan, yaitu Akte no. 165 tanggal 31/5/1986 (bukti P-1/T-3) sebagai “Perjanjian kerjasama”. Dengan demikian untung-rugi Penggugat dengan Tergugat.<br />• Berdasarkan bukti P-8, berupa surat Tergugat kepada Penggugat, ternyata Tergugat mengakui adanya pinjam-meminjam sebagimana disebut dalam addendum tanggal 13/7/1987. Addendum ini menunjukan pada Akte no. 165 dimuka.<br />• Jumlah hutang yang diterima oleh Tergugat untuk tahap I adalah Rp. 85 juta. Untuk tahap II sebesar Rp. 146,299 juta, sehingga semua berjumlah Rp. 231,299 juta.<br />• Pasal 4 addendum menyebutkan ganti rugi yang diterima dalam kerjasama no.165 akan digunakan untuk membayar kembali modal yang telah disetor oleh Penggugat. Selama persidangan tidak pernah diajukan bukti-bukti bahwa hal ini sudah terlaksana. Disinilah letak wanprestasi. Tergugat tidak membayar kembali modal tersebut dam memberikan pertanggungjawaban. Akan tetapi, karena perjanjian berbentuk kerjasama dan tidak terbukti ada suatu keberhasilan dalam kerjasama ini maka wajar resiko dibagi dua antara kedua pihak.<br />• Berdasarkan pertimbangan tersebut, Makamah Agung telah cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Penggugat, membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi serta mengadili sendiri perkara ini dengan amar:<br /><br />Dalam Konpensi:<br />- Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian<br />- Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan wanprestasi.<br />- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar kembali uang Penggugat.<br /> 1. Rp. 85 juta + 12%/tahun x Rp. 85 juta<br /> 2. Rp. 146,299 juta + 6%/tahun x Rp. 146,299 juta terhitung sejak gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai lunas<br />- Menolak gugatan Penggugat selebihnya.<br />Dalam Rekonpensi:<br />- Menolak gugatan Penggugat Rekonpensi seluruhnya.<br /><br /><br />CATATAN:<br /><br />• Dari putusan Makamah Agung tersebut diatas dapat diangkat ”Abstrak Hukum” sebagai berikut:<br />• Dalam suatu “perjanjian kerjasama” untuk membebaskan tanah, in case, didalamnya mengandung pengertian bahwa untung rugi yang akan dialami dalam pelaksanaan perjanjian tersebut adalah menjadi tanggungjawab kedua pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Karena itu dengan tidak berhasilnya sasaran yang disepakati untuk dicapai sesuai dengan jadwal waktu yang ditentukan, maka resiko kerugian yang timbul karena kegagalan tersebut, sepatutnya dibebankan kepada kedua belah pihak dalam perjanjian kerjasama itu. <br />• Demikian Catatan Kasus ini.<br />(Ali Boediarto)<br /><br /><br />• Pengadilan Negeri Jakarta Pusat<br /> No. 185/Pdt.G/VI/1989/PN.Jkt.Pst, tanggal 20 Maret 1990<br />• Pengadilan Tinggi DKI Jakarta<br /> No. 231/Pdt/1991/PT.DKI, tanggal 11 Oktober 1991<br />• Makamah Agung RI:<br />No. 1533.K/Pdt/1992, tanggal 28 Agustus 1996<br /><br />Majelis terdiri: H. SOERJONO, SH, Ketua Makamah Agung RI selaku Ketua Majelis didampingi anggota, Hakim Agung : H.L RUKMINI,SH dan M. YAHYA HARAPAH, SH. serta Panitera Pengganti : Ny. Hj. NILNA ISMAIL, SH.<br /><br /><br /><br /></span></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-28520323754900146992008-12-19T05:11:00.000-08:002008-12-19T05:41:42.590-08:00EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM RANCANGAN KUHP NASIONAL DITINJAU DARI DARI PASAL 28 I<div align="center">oleh :</div><div align="center">oktarinaz maulidi</div><div align="justify"></div><div align="justify">Pidana mati merupakan satu jenis pidana dalam usianya, setua usia kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua sistem pidana, baik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di negara-negara yang menganut Civil Law.<br />Mempersoalkan hukuman mati dalam hukum pidana sebagai sarana mencapai tujuan dari hukum pidana itu sendiri, telah banyak menimbulkan perdebatan antar sesama ahli hukum pidana, diantara mereka ada yang pro dan juga ada yang kontra terhadap penggunaan sarana pidana mati sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana yaitu memberikan rasa aman, memberikan keadilan dan sebagainya.<span class="fullpost"><br /></span><br />Dalam hukum pidana Indonesia penggunaan hukuman mati dirasakan masih sangat efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat dikualifikasikan kejahatan yang berat. Hal itu dapat dilihat dari KUHP nasional yang masih menempatkan hukuman mati sebagai pidana pokok selain itu terhadap hukum pidana di luar KUHP juga terdapat sebagian yang menempatkan hukuman mati sebagai sanksi dari dilanggarnya perbuatan tersebut.<br />Adapun motif yang melatar belakangi masih digunakannya pidana mati sebagai saranan politik kriminal di Indonesia yakni: hukuman mati memiliki tingkat efektif yang lebih tinggi dari ancaman hukuman mati lainnya karena memiliki efek yang menakutkan (shock therapi) disamping juga lebih hemat. Hukuman mati digunakan agar tidak ada eigenrichting dalam masyarakat. Secara teoritis hukuman mati ini juga akan menimbulkan efek jera (detterent effect) yang sangat tinggi sehingga akan menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana, sehingga bisa dijadikan sebagai alat yang baik untuk prevensi umum maupun prevensi khusus. Disamping itu masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan pada aspek pembalasan (retributive), dan utamanya masih dipertahankannya.<br />.<br />Awal diberlakukannya praktek hukuman mati di Indonesia yaitu pada waktu Indonesia yang bernama Hindia Belanda adalah ketika diberlakukannya kodifikasi hukum pidana dalam Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (indonesiers) atau WvSinl pada tanggal 1 Januari 1873. Kemudian karena adanya perkembangan baru dimana lahirnya kodifikasi pertama hukum pidana yang ada di belanda yang maka WvSinl tersebut kemudian disesuaikan dengan perkembangan tersebut dengan melakukan unifikasi hukum pidana di seluruh wilayah Indonesia. Maka pada tahun 1915 diundangkanlah Wetboek van strafrecht voor Indoensie, (WvSI) dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. Berbeda dengan Belanda, di Hindia Belanda di dalam WvSi tersebut masih dicantumkan hukuman mati. Di Belanda sendiri pada tahun 1870, tiga tahun sebelum di berlakukannya WvSinl di Hindia Belanda, hukuman mati telah dihapuskan. Hukuman mati Dipertahankan di Hindia Belanda karena dipandang sebagai hukum darurat, yang mana penerapan hukuman yang di anggap terberat oleh pemerintah Kolonial. Yakni: Kejahatan berat terhadap mati ini di Hindia Belanda dibatasi pada kejahatankejahatan keamanan negara, pembunuhan, pencurian dan pemerasana dengan pemberatan, perampokan, pembajakan pantai pesisir dan sungai.<br /><br />Menurut Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah :<br />1. Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)<br />2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)<br />3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)<br />4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)<br />5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)<br />6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)<br />7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)<br />8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).<br />Selain terhadap kejahatan yang diatur dalam KUHP, undang-undang hukum pidana diluar KUHP juga ada yang mengatur tentang pidana mati. Peraturan tersebut antara lain :<br />1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.<br />2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.<br />3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.<br />4. Pasal13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom.<br />5. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika<br />6. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.<br /><br />Hukuman Pidana Mati yang berlaku di Indonesia diatur dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan Peradilan Umum dan Militer. Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964 dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia dimana pada saat sebelum Penetapan Presiden yang berlaku adalah hukuman gantung.<br /><br />Dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 ini secara tegas-tegas menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan, baik dilingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati (pasal 1) dengan tata cara sebagai berikut :<br /><br />1. Dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.<br />2. Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang didalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu (pasal 2).<br />3. Kepala Polisi Daerah (KAPOLDA) bertanggung jawab untuk pelaksanaannya sekaligus menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati.<br />4. Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang KAPOLDA lain, maka KAPOLDA tersebut merundingkannya dengan KAPOLDA itu.<br />5. KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi atau jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.<br />6. Menunggu pelaksanaan pidana mati, Terpidana ditahan dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi.<br />7. 3 X 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut.<br />8. Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangannya atau pesannya itu diterima oleh jaksa Tinggi/ Jaksa tersebut.<br />9. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.<br />10. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.<br />11. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara seserdana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.<br />12. Untuk pelaksanaan pidana mati, KAPOLDA yang bertanggung jawab membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara (Brigadir - sekarang), 12 orang tamtama dibawah pimpinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob POLRI).<br />13. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya.<br />14. Regu penembak ini dibawah perintah Jaksa Tinggi/ jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.<br />15. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.<br />16. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rokhani.<br />17. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.<br />18. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, Komandan Pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya.<br />19. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut.<br />20. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/ jaksa dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikatkan kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.<br />21. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ketempat yang ditentukan oleh Jaksa.<br />22. jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.<br />23. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.<br />24. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.<br />25. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.<br />26. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka komandan regu penembak segera memerintahkan kepada Bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.<br />27. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter.<br />28. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa memutus lain.<br />29. Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan yang ditentukan oleh agama/ kepercayaan yang dianut terpidana.<br /><br />Sejalan dengan berlakunya hukuman mati di Indonesia, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi, walaupun putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut sudah dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas.<br />Disisi lain pertentangan penggunaan pidana mati dalam hukum pidana Indonesia datang Kalangan organisasi non-pemerintah atau Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati sudah kehilangan sukma konstitusi dan bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan.<br />Melihat hasil dari keputusan Mahkamah konstitusi mengenai penggunaan pidana mati sebagai sanksi bagi pelanggaran hukum pidana, sehinnga Didalam pembaharuan hukum pidana (law reform/penal reform) masalah pidana mati sepertinya masih akan digunakan walaupun ada pergeseran penggunaannya di banding KUHP nasional yang ada sekarang ataupun undang-undang hukum pidana di luar KUHP.<br /><br />B. PERMASALAHAN<br />Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas jelas bahwa hukuman mati tidak dapat dipisahkan dari hukum pidana Indonesia, baik itu sebagai upaya pencegahan (preventif) ataupun penindakan (represif) terhadap pelanggaran yang terjadi di dalam masyarakat.<br />Yang menjadi permasalahan sekarang apakah sama penerapan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam KUHP nasional dengan rancangan KUHP yang akan datang atau dengan kata lain bagaimana eksistensi hukuman mati dalam rancangan KUHP ?</div><div align="justify"><br />C. TUJUAN<br />Tujuan dari penelitian ini hanya ingin mengetahui apakah ada pergeseran dalam penggunaan pidana mati dalam rancangan KUHP nantinya ataukah sama saja dengan yang diatur dalam KUHP nasional yang ada sekarang dan juga untuk mengetahui untuk pelanggaran apa saja yang dapat dikenakan dengan sanksi pidana mati.<br /><br /><br /><br />BAB II<br />TINJAUAN PUSTAKA <br /><br />A. MASALAH HUKUMAN MATI DALAM PERSFEKTIF GLOBAL<br />Sejak kapan manusia mempunyai ide menghukum mati manusia lain? Tentu susah menemukan tahun kelahiran hukuman mati. Yang pasti hukuman mati resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya undang-undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi. Saat itu ada 25 macam kejahatan yang diancam hukuman mati.<br />Berbicara tentang hukuman atau pidana mati yang terpenting haruslah kita ketahui bersama adalah mengenai pengertian dari hukuman mati itu sendiri. Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh wikepedia bahwa hukuman atau pidana mati adalah ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.<br />Dalam prakteknya hukuman mati masih banyak digunakan dibeberapa Negara sebagai sanksi dari pelanggaran berat hukum pidana itu sendiri. Negara-negara yang masih menggunakan hukuman mati sebagai sarana pidana terhadap kejahatan-kejahatan yang dianggap berat oleh Negara-negara itu sendiri, Negara-negara tersebut adalah Iran, Tiongkok, Saudi Arabia, Amerika Serikat, Mesir, Irak, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura, Guatemala, Thailand, Tiongkok, Somalia, Taiwan, Afganistan termasuk Indonesia.<br />Di dalam sejarah hukuman mati di dunia Negara-negara tersebut masing-masing-masing memiliki caranya sendiri-sendiri. Cara pelaksanaan hukuman mati adalah sebagai berikut :<br />1. pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,<br />2. sengatan listrik: Amerika Serikat<br />3. digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura<br />4. suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS<br />5. tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain<br />6. rajam: Afganistan, Iran<br />Di Indonesia sendiri sebelum Indonesia menjadi Negara kesatuan seperti sekarang ini, penggunaan sarana pidana mati sesungguhnya sudah diterapkan oleh kerajaan atau suku-suku yang ada di Indonesia waktu itu. Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lainlain .<br />Di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Batak, jika pembunuh tidak membayar yang salah dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk pidana mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Demikian pula bila seseorang melanggar perintah perkawinan yang eksogami. Kalau di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana mati juga diancamkan bagi pelaku kawin sumban Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang. Di Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati. Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati. Di Nias bila dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan. Di pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain. Dengan melihat uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku-suku bangsa Indonesa telah mengenal pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Jadi bukan bangsa Belanda dengan WvS-nya yang memperkenalkan pidana mati itu pada bangsa Indonesia.<br />Di Negara-negara tersebut yang tetap mempertahankan pidana mati sebagai sanksi dari pelanggaran terhadap perbuatan yang dianggap serius (extra ordinary crime) bukanya tanpa alasan. Alasan klasik mengapa hukuman mati masih banyak dipakai sebagai sarana penegakan hukum pidana adalah karena adanya ancaman hukuman mati dalam ketentuan yurudis, diharapkan menumbuhkan efek jera dan pembelajaran bagi khalayak akan arti penting menjaga hak-hak sesama dan tidak melanggarnya.<br />B. PANDANGAN ISLAM MENGENAI HUKUMAN MATI<br />Di dalam Alquran surat al-Mulk ayat 2 diingatkan bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Karena itu, Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia masih berada dalam kandungan ibu sampai sepanjang hidupnya. Islam sangat memuliakan keturunan anak Adam. Dan untuk melindungi keselamatan hidup manusia, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-sanksinya, baik di dunia seperti hukuman had, diyat (denda) dan termasuk hukuman mati (qisas), maupun hukuman di akhirat kelak.<br />Bentuk peraturan dalam ajaran Islam terdiri dari hudud dan ta’zir. Hudud adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggaran dan sanksinya sudah di atur secara pasti. Sedangkan ta’zir adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggarannya sudah di atur tetapi bentuk sanksinya di serahkan kepada Negara .<br />Dalam agama Islam dikenal apa yang dinamakan kisas. Kisas yaitu memberikan perlakuan yang sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukannya terhadap korban. Kisas diterapkan terhadap pelaku pembunuhan. Dasar berlakunya kisas ini adalah berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah, yakni surat kedua dari Al-Quran, ayat 178 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.<br />Dalam Kitab Suci umat Islam ini terdapat surat yang isinya sangat jelas menunjukan bahwa Islam sejalan dengan teori absolut, yakni surat Al-Maaidah ayat 45 yang artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan hak qishaashnya, maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”. Surat ini dan surat-surat sebelumnya menunjukan bahwa Allah SWT menetapkan bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal bagi tindak pidana pembunuhan karena begitu beratnya akibat dari pembunuhan tersebut.<br />Dalam pemberlakuan hukuman mati dalam islam tidaklah mudah, dalam islam sebelum menjatuhkan hukuman mati kepada si pelaku haruslah ada terlebih dahulu adanya proses pembuktian. Adapun untuk diberlakukannya kisas terdapat beberapa syarat, yaitu:<br />1. Pelaku seorang mukalaf, yaitu sudah cukup umur dan berakal.<br />2. Pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja.<br />3. Unsur kesengajaan dalam pembunuhan itu tidak diragukan lagi.<br />4. Pelaku pembunuhan tersebut melakukannya atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari orang lain.<br />Dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian pelakunya terjadi pada dua kasus. Pertama, pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Menurut Ibn Mundzir, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan (Kifayah:368). Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi harga diri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.<br />Kedua, pelaku pembunuhan berencana (disengaja) (QS. Al-Nisa": 93). Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga.<br />Dalam hal terjadi pembunuhan yang melibatkan pelaku dan korban yang memiliki hubungan keturunan, maka kisas tidak dapat diberlakukan.<br />Mengenai kisas ini banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para pemuka agama Islam itu sendiri, di antaranya mengenai cara pelaksanaan kisas. Pendapat pertama mengatakan bahwa kisas hanya bisa dilakukan dengan pedang atau senjata, terlepas dari pembunuhan yang telah dilakukan menggunakan pedang atau tidak. Pendapat kedua mengatakan bahwa kisas itu dilakukan sesuai dengan cara dan alat yang digunakan pembunuh pada saat melakukan pembunuhan. Namun terdapat kesepakatan di antara ahli agama Islam bahwa apabila ada alat lain yang dapat lebih cepat menghabisi nyawa terpidana, maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama.<br />Bagi penegak hukum dalam negara Islam terdapat prinsip “Lebih baik salah memaafkan dari pada salah menghukum”. Prinsip ini menunjukan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman, khususnya hukuman mati. Apabila seseorang mengakui kesalahan yang telah dilakukannya serta bertaubat dengan sungguh-sungguh, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 34, maka ia akan di ampuni atas perbuatannya oleh Allah. Penegak hukum Islam juga berpedoman pada ayat tersebut dalam menegakkan hukum Islam. Maka apabila seorang pelaku kejahatan menyerahkan diri lalu mengakui perbuatannya dan bertaubat, hendaknya menjadi suatu pertimbangan bagi para penegak hukum dalam proses penjatuhan hukuman.<br />Dari apa yang telah dilakukan islam mengenai hukuman mati dan sebagainya bukannya tanpa alasan, dalam islam terdapat tujuan pokok diterapkannya hukum Islam. Pertama, tujuan primer (al-dharury), yakni tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan ini tidak tercapai akan menimbulkan ketidakajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akherat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari "ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.<br />Kedua, tujuan sekunder (al-haajiy), yakni terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder. Jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kesukaran bagi manusia, namun tidak sampai menimbulkan kerusakan. Ketiga, tujuan tertier (al-tahsiniyyat), yakni tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.<br /></div><div align="justify"><br />C. PRO DAN KONTRA HUKUMAN MATI DIPANDANG DARI HAK MANUSIA UNTUK HIDUP<br />Pidana mati (doodstraf) adalah pidana yang merampas satu kepentingan hukum, yakni jiwa atau manusia. Hukuman mati selalu menjadi perdebatan menarik setiap kali terpidana mati dieksekusi. Yang selalu menjadi pertanyaan sekarang Masih layakkah hukuman mati tetap dicantumkan dalam perundangundangan kita? Manusiawikah pidana mati tetap diterapkan di Indonesia?. Kalangan organisasi non-pemerintah atau Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati sudah kehilangan sukma konstitusi dan bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih.<br /><br />mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan. Di lain pihak banyak yang setuju atas penerapan hukuman mati.<br />Berikut ini adalah beberapa alasan saya mengenai penghapusan hukuman mati :<br />1. Alasan Legal<br />Di Indonesia, hukuman mati bertentangan dengan Konstitusi RI (UUD 1945) pasal 28i ayat (1).<br />Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.<br />Hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi (diambil) dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun. Jika negara “dengan sengaja” mengambil hak hidup warganya, termasuk dgn hukuman mati, maka jelas melanggar UUD 1945. Ironisnya, Konstitusi kita sudah melarang hukuman mati, sedangkan UU dibawahnya (KUHP) masih melegalkan hukuman mati.<br />Negara juga tidak bisa menempatkan dirinya sebagai Tuhan. Logika bahwa korban dicabut hak hidupnya oleh pembunuh, dan kemudian si pembunuh dicabut hak hidupnya oleh negara (pengadilan) menempatkan kita dalam fatalisme sempit tentang kekuasaan negara atas hidup manusia. Selama konstitusi negara kita masih menempatkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun maka hukuman mati merupakan suatu tindakan yang melanggar konstitusi.<br /><br />2. Alasan Penghargaan Terhadap Kehidupan<br /><br />Penghargaan terhadap kehidupan adalah nilai utama yang berlaku universal. Hidup dan kehidupan adalah anugerah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, dan hanya Tuhan sendiri yang bisa mengambilnya. Dalam agama, konsep kesucian hidup (sanctity of life) adalah konsep yang diakui, bahwa hidup manusia adalah suatu hal yang suci dan merupakan anugerah dari Tuhan.<br />Di satu sisi agama sangat menghormati kehidupan, tetapi disisi yang lain agama juga masih memberlakukan hukuman mati. Pelaku kejahatan (narkoba, koruptor, pembunuh, dll) adalah manusia yang harus dihargai kehidupannya, walaupun mereka sendiri tidak menghormati kehidupan orang lain. Kita tidak bisa “membunuh” mereka karena akan menjadikan kita menjadi sama seperti mereka. Tidak akan ada yang berubah (korban bisa hidup kembali, uang korupsinya kembali, dll) jika pelakunya dihukum mati. Tidak ada yg berubah karenanya selain memuaskan keinginan manusia untuk membalaskan dendam kejahatan si pelaku.<br /><br />3. Alasan Sebab-Akibat<br />Pelegalan hukuman mati dengan dasar pandangan bahwa hukuman mati itu bisa membuat orang lain menjadi JERA dan tidak mengulang kejahatan tersebut sudah lama tidak lagi menjadi pandangan utama dalam pemikiran filsafat hukum. Hal ini dikarenakan tidak adanya korelasi antara penjatuhan hukuman mati dengan menurunnya tingkat kriminalitas yang diancam dengan hukuman mati.<br />Selain itu negara juga tidak berusaha mencari jenis hukuman lain yang berdampak langsung terhadap masyarakat tanpa mengorbankan hidup. Konsep yang sering ada dibalik alasan hukuman mati adalah konsep dimana negara ingin menerapkan low-cost pada sistem hukumnya. Dengan menghukum mati, maka negara tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan yang dikeluarkan untuk mengedukasi dan mendidik warga negaranya. Dengan memberlakukan hukuman mati maka secara ekonomis negara diuntungkan karena biaya yang dikeluarkan untuk lembaga pemasyarakatan otomatis akan berkurang jika terdakwa dihukum seumur hidup, sebagai contoh. Dalam hal ini membandingkan antara nyawa dan hidup manusia dengan cost (biaya) adalah suatu pemikiran yang menyedihkan.<br /><br />4. Alasan Pendidikan dan Pembelajaran<br />Pandangan yang sekarang ini dianut dalam filsafat hukum adalah suatu hukuman haruslah mempunyai suatu efek pembelajaran, khususnya bagi terdakwa. Seorang terdakwa dihukum agar dirinya dapat belajar dari tingkah lakunya dan tidak akan melakukan kejahatan itu nantinya. Semua orang mempunyai kapasitas untuk belajar dan berubah.<br /><br />5. Alasan Fatalisme<br />Hukuman mati menutup kemungkinan seseorang untuk berubah (bertobat, insyaf, belajar). Dengan menjatuhkan hukuman mati, negara langsung memvonis bahwa seorang terhukum PASTI tidak akan berubah. Padahal setiap orang mempunyai kemungkinan untuk berubah. Pada kasus-kasus tertentu dimana hukuman tidak bisa dijatuhkan adalah pada terdakwa yang didiagnosis gila atau mempunyai keterbatasan mental.<br />Tujuan suatu hukuman adalah membuat si terhukum belajar dari perbuatannya dan membuktikan kepada masyarakat bahwa dia bisa berubah. Dan hukuman mati menghapus kesempatan itu.<br /><br />6. Alasan Ketidaksempurnaan Hukum<br />Fakta sejarah menunjukkan bahwa hukum itu tidak sempurna. Banyak kita lihat, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, kasus terhukum yang diubah hukumannya setelah mendapat bukti-bukti baru. Yang saya ingat dengan jelas adalah kasus Pakde di tahun 80-an yang saat itu terbukti bersalah membunuh artis Suzana, yang kemudian dibebaskan bertahun-tahun kemudian, karena ada bukti-bukti baru dan terjadinya kesalahan proses peradilan masa itu, yang menunjukkan bahwa Pakde tidak bersalah. Pelaksanaan hukuman mati menyebabkan revisi terhadap fakta ini tidak bisa terjadi, karena sang terhukum sudah terlanjur mati (dan kenyataan ini pernah terjadi di Amerika, di mana ditemukan seseorang ternyata tidak bersalah terhadap suatu kasus, padahal orang tersebut sudah terlanjur dihukum mati).<br />Ada empat analisis utama dalam pemberian hukuman dalam yurisprudensi hukum di dunia, tiga diantaranya adalah : (1) analisis literal yang menganggap bahwa jenis hukuman yg harus dilarang adalah hukuman yg membawa penderitaan fisik yang parah, (2) anlisis historis yang menganggap hukuman yg harus dilarang adalah hukuman yg dianggap kejam dan tidak manusiawi, (3) analisis konsensus, bahwa jenis hukuman yg harus dilarang adalah yg bertentangan dgn kesadaran MORAL warga negara. Kalau kita menempatkan hukuman mati dalam analisis hukum yurisprudensi seperti diatas, maka hukuman mati selayaknya dilarang secara hukum.<br />Semua orang wajib menghargai hidup orang lain, tapi bertindak sebaliknya tidak otomatis menyebabkan dia tercabut hak hidupnya karena hak hidup diberikan oleh Tuhan, maka selayaknya dicabut oleh Tuhan. Tanggung jawab si pembunuh adalah pada Tuhan, dan kewajiban manusia yang lain yang maksimal adalah dengan membuat pembunuh ini tidak mengulangi perbuatannya pada manusia lain, tanpa berhak mencabut hak hidupnya.<br />Di Indonesia sebagai salah satu Negara yang masih menggunakan hukuman mati sebagai sarana penegakan hukum pidana, walaupun WVs (KUHP Negara Belanda) telah menghapuskan pidana mati itu sendiri.<br />Alasan-alasan Hindia Belanda (Indonesia) tidak mengikuti menghapuskan pidana mati ini dapat dilihat dalam alasan-alasan di bawah ini :<br />1. Keadaan khusus Hindia Belanda sebagai archipelago yang komunikasinya sukar.<br />2. Alat-alat keamanan Negara kurang<br />3. Penduduknya heterogen, sehingga mudah bentrok<br />Diantara para sarjana-sarjana yang setuju dengan tetap dipertahankannya pidana mati ini mengemukakan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :<br />1. Betul-betul untuk kepentingan umum, artinya hanya akan dijatuhkan apabila kepentingan umum sangat terancam<br />2. Hakim harus benar-benar yakin akan kesalahan yang bersangkutan dengan pembuktian yang selengkap-lengkapnya<br />3. Harus diancamkan secara alternative, agar hakim dapat memilih.<br />Sebagai catatan beberapa alasan pemikiran yang terkait dengan aliran yang pro terhadap pidana adalah:<br />Bichon van Ysselmonde, yang menyetujui tetap adanya pidana mati, mengatakan antara lain: “Saya masih selalu berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan dari pidana mati itu harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut kepatutan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya, Kedua-duanya jure divino et humano. Pedang pemidana, seperti juga pedang perang harus ada pada negara. Ini menjadi kewajiban dari negara. Hak dan kewajiban ini tidak boleh diserahkan begitu saja, tetapi haruslah dipertahankannya dan juga digunakan”<br />De Savornin Lohman, “ Dalam Kitab Undang-undang tidaklah boleh tidak ada pengakuan bahwa negara mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa dari penjahat yang tidak mengindahkan zedewet samasekali. Hukum pidana itu pada hakekatnya tidak lain dari hukum membalas dendam. Bila suatu kejahatan dilakukan, maka saya masih termasuk orang yang mau mengatakan: kejahatan itu menghendaki adanya pembalasan. Itu tidak hanya sekarang, tetapi seperti itulah selalu dan dimana-mana demikian. Bila seseorang menginjak-injak zedewet sedemikian rupa sehingga dengan perbuatannya itu dia menunjukkan tidak mengakui hukum lagi, maka negara berhak dan berkewajiban melenyapkannya dari masyarakat”.<br />Mr. Dr Rambonnet, “adalah tugas dari penguasa negara untuk mempertahankan ketertiban hukum. Mempertahankan ketertiban hukum itu diujudkan oleh pidana. Jadi dari sini kita berkesimpulan, bahwa penguasa negara mempunyai hak untuk memidana, artinya membalas kejahatan. Dan hak dari penguasa untuk memidana mati itu adalah akibat yang logis daripada haknya untuk membalas dengan pidana. Kalau karena kejahatan itu terganggulah ketertiban tersebut dalam satu bagian yang tertentu saja, maka hubungan yang baik akan dapat dipulihkan kembali dengan mengeluarkan atau tidak menurut sertakan penjahat itu dalam sebagian pula dari kesejahteraan umum. Ini secara umumnya dapat dilakukan dengan merampas kemerdekaannya, melukai hak miliknya dsb. Tetapi … jika kejahatan itu tidak mengganggu ketertiban itu hanya dalam satu bagian tertentu saja darinya, melainkan membuangkan dan merusakkan seluruh ketertiban, maka ketertiban yang terancam itu dapat dipulihkan kembali dengan benar-benar sama sekali melenyapkan seluruhnya dia ini dari turut sertanya dalam kesejahteraan umum itu dengan membunuh penjahat tersebut, sebab selagi dia masih hidup, maka dia masih turut serta dalam kesejahteraan umum itu maka negarapun akan mempunyai hak untuk melaksanakan pidana mati”.<br />Bapak kriminologi Lombroso dan Garofalo, “pidana mati adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Dan karenanya kedua sarjana inipun menjadi pembela pidana mati. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tak terperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang sedemikian besar biayanya. Begitu pula hilanglah ketakutan-ketakutan kita kalau-kalau orang-orang demikian melarikan diri dari penjara dan membikin kejahatan lagi dalam masyarakat”<br />Thomas R Eddlem dalam artikelnya “Ten Anti-Death Penalty Fallacies”, menyanggah keras tudingan kaum abolisionis yang menyatakan bahwa hukuman mati sebagai melestarikan suatu siklus kekerasan dan mempromosikan “sense of vengeance” (rasa dendam) dalam kultur umat manusia. Kaum abolisionis mengatakan bahwa kita tidak boleh mengajarkan bahwa kita pantas membunuh orang yang bersalah (lihat pendapat Rolling pada bagian yang kontra pidana mati).<br />Achmad Ali, “hukuman mati sangat dibutuhkan khususnya di Indonesia, tetapi harus diterapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik artinya hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius ("heinous") mencakupi korupsi, pengedar narkoba, teroris, pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana. Dan yang dimaksudkan dengan selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar yang telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan (“beyond reasonable doubt”) bahwa memang dialah sebagai pelakunya. Misalnya terdakwa sendiri secara gamblang mengakui perbuatannya, seluruh alat bukti memang “menyatakan” diri terdakwalah sebagai pelakunya. Masih menurut Achmat Ali, UUD 1945 hasil Amandemen, sama sekali tidak melarang hukuman mati. Memang benar ada Pasal 28 I (1), yang berbunyi<br />Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”<br /><br />Tetapi Pasal 28 I (1) harus dilengkapi dengan juga memahami apa yang terkandung dalam pasal 28 J (2) yang berbunyi:<br />Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.<br />Jika hanya membaca Pasal 28 I (1) itu saja, maka memang terkesan seolah-olah konstitusi kita “melarang hukuman mati”, tetapi begitu kita membaca lengkap Pasal 28 I (1) maupun Pasal 28 J (2), maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan papun, tetapi pelaksanaan hak tersebut harus dibatasi bahwa pelaksanaan semua hak tersebut haruslah:<br />a. sesuai dengan undang-undang;<br />b. sesuai dengan pertimbangan moral;<br />c. sesuai dengan nilai agama;<br />d. sesuai dengan keamanan dan ketertiban umum.<br />Dengan kata lain, “dikecualikannya” jaminan hak yang ada dalam pasal 28 I (1) itu dimungkinkan jika berdasarkan undang-undang, pertimbangan moral, nilai agama, demi keamanan dan ketertiban umum.<br /><br />Lebih penting lagi adalah hukuman mati tetap diperlukan karena tindakan dari pelaku sendiri yang tidak lagi memperhatikan aspek kehidupan yang berperikemanusiaan (Sila kedua dari Pancasila) dan kehidupan yang penuh dengan berkeadilan sosial (Sila kelima dari Pancasila).<br />Pemikir hukum pidana Islam Indonesia, Daud Rasyid, terkait dengan pidana mati menyatakan, untuk memahami sanksi-sanksi pidana dalam perspektif Islam, kita sebaiknya terlebih dahulu melihat Islam dalam acuan berfikir yang global. Hal ini penting, agar kita terhindar dari kekeliruan dalam memahami konsep Islam yang menganut sistem universal dan holistik. Memandang Islam dalam sudut ‘vonnis’ semata, tanpa mengaitkannya dengan aspek lain yang sesungguhnya tak boleh terpisah, dapat memberikan kesan yang tidak positif tentang agama Islam.<br /><br />BAB III<br />PEMBAHASAN<br /><br />A. Eksistensi Pidana Mati Dalam Rancangan KUHP<br />Penggunaan sarana pidana mati di Indonesia memang tidak dapat dipisahkan jiwa hukum pidana Indonesia sebagai sarana penjatuhan pidana terhadap pelanggaran yang terjadi terlepas dari apa tujuan pidana mati itu sendiri.Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski diwarnai dengan discenting opinion dan lingkup putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas. Ya, masyarakat kita masih memandang pidana mati masih layak untuk dipertahankan. Beberapa tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal logging agaknya pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik bagi halayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan mayarakat. Maka sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia, putusan MK ini mendapat apresiasi yang representatif.<br />Dengan putusan MK tersebut semakin memperkuat posisi pidana mati sebagai sarana penjatuhan pidana. Dalam RKUHP nasional tahun 2004 diketahui bahwa hukuman mati tidaklah diposisikan sebagai hukumam pokok melainkan sebagai pidana alternatif, sebagaimana diatur dalam pasal 63 RKUHP yang menyatakan bahwa : Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Dengan adanya pengaturan pidana mati di dalam Pasal 63, jelas bahwa pidana mati masih diperlukan sebagai bagian dari sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim.<br />Pertama-tama patut dikemukakan, bahwa Konsep KUHP (sistem hukum pidana materiel) dilatarbelakangi oleh berbagai pokok pemikiran yang secara garis besar dapat disebut “ide keseimbangan”. Ide keseimbangan ini antara lain mencakup:<br />1. keseimbangan monodualistik antara “kepentingan umum/ masyarakat” dan “kepentingan individu/perorangan”.<br />2. keseimbangan antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana keseimbangan antara unsur/faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) dan “subjektif” (orang/batiniah/sikap batin); ide “daad-dader strafrecht”;<br />3. keseimbangan antara kriteria “formal” dan “materiel”;<br />4. keseimbangan antara “kepastian hukum”, “kelenturan/ elastisitas/ fleksibilitas”, dan “keadilan”;<br />5. keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/ internasional/universal;<br /><br />Di samping pokok pemikiran di atas, dipertahankannya pidana mati juga didasarkan pada ide “menghindari tuntutan/reaksi masyarakat yang bersifat balas-dendam, emosional, sewenang-wenang, tak terkendali atau bersifat “extra-legal execution”. Artinya, disediakannya pidana mati dalam Undang-Undang dimaksudkan untuk memberikan saluran emosi/tuntutan masyarakat. Tidak tersedianya pidana mati dalam Undang-Undang, tidak merupakan jaminan tidak adanya pidana mati dalam kenyataan di masyarakat. Oleh karena itu, untuk menghindari emosi balas dendam pribadi/masyarakat yang tidak rasional, dipandang lebih bijaksana apabila pidana mati tetap tersedia dalam Undang-Undang. Dengan adanya pidana mati dalam Undang- Undang, diharapkan penerapannya oleh hakim akan lebih selektif dan berdasarkan pertimbangan yang rasional/terkendali. Jadi dimaksudkan juga untuk memberi perlindungan individu/warga masyarakat dari pembalasan yang sewenang-wenang dan emosional dari korban atau masyarakat apabila pidana mati tidak diatur dalam Undang-Undang. Pokok pemikiran di atas, didasarkan pada pandangan teoritik, bahwa salah satu tujuan pidana adalah untuk:<br />1. “to create a possibility for the release of emotions that are aroused by the crime” (Emile Durkheim);<br />2. “to provide a channel for the expression of retaliatory motives” (Schwartz & Skolnick);<br />Di samping itu juga didasarkan pada pertimbangan, bahwa extra-legal execution itu sangat dikutuk oleh masyarakat dunia. Tindakan sewenang-wenang di luar hukum secara tegas dikutuk oleh kongres PBB keenam tahun 1980.<br />Mengenai eksistensi pidana mati dilihat dari sudut pandang Pancasila apakah tidak bertentangan dengan Amandemen kedua UUD’45 dan UU-HAM (No. 39/1999) yang menyatakan, bahwa: “setiap orang berhak untuk hidup” (Pasal 28A jo. Pasal 28 I UUD’45 dan Pasal 9 ayat 1 jo. Pasal 4 UU-HAM); dan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa” (Pasal33 ayat 2 UU-HAM), pertanyaan itulah yang sering dijadikan alasan oleh orang-orang yang kontra terhadap pidana mati untuk menghapuskan pidana mati.<br />Dari pertanyaan diatas dapat diberikan alasan mengapa pidana mati masih tetap digunakan dalam system hukum pidana Indonesia :<br />1. Dilihat sebagai satu kesatuan, Pancasila mengandung nilai keseimbangan antara sila yang satu dengan sila lainnya. Namun apabila Pancasila dilihat secara parsial (menitikberatkan pada salah satu sila), maka ada pendapat yang menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan Pancasila dan ada pula yang menyatakan tidak bertentangan dengan Pancasila. Jadi pendapat yang menolak dan menerima pidana mati, sama-sama mendasarkan pada Pancasila. Hal ini terlihat dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Fakultas Hukum UNDIP bekerjasama dengan Kejaksaan Agung pada tahun 1981/1982. Dalam laporan penelitian itu dinyatakan, bahwa “ada kecenderungan di antara mereka yang pro dan kontra (terhadap pidana mati, pen.), untuk menjadikan Pancasila sebagai “justification”.<br />2. “Hak untuk hidup” (Pasal 28A jo. Pasal 28 I UUD’45 dan Pasal9 ayat 1 jo. Pasal 4 UU-HAM) dan “hak untuk bebas dari penghilangan nyawa” (Pasal 33 UU-HAM) tidak dapat dihadapkan secara diametral (samasekali bertentangan) dengan “pidana mati”. Hal ini sama dengan “hak kebebasan pribadi” (Pasal 4 UU-HAM) atau “hak atas kemerdekaan” (Pembukaan UUD’45) yang juga tidak dapat dihadapkan secara diametral dengan “pidana penjara” Apabila dihadapkan secara diametral, berarti pidana “penjara” pun bertentangan dengan UUD’45 dan UU-HAM karena pidana penjara pada hakikatnya adalah “perampasan kemerdekaan/kebebasan”.<br />3. Pernyataan dalam UUD’45 dan UU-HAM bahwa “setiap orang berhak untuk hidup”, identik dengan Pasal 6 (1) ICCPR yang menyatakan, bahwa “every human being has the right to life”. Namun di dalam Pasal 6 (1) ICCPR, pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat tegas, bahwa “No one shall be arbitrarily deprived of his life”. Jadi walaupun Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan, bahwa “setiap manusia mempunyai hak untuk hidup”, tetapi tidak berarti hak hidupnya itu tidak dapat dirampas. Yang tidak boleh adalah “perampasan hak hidupnya secara sewenangwenang” (“arbitrarily deprived of his life”). Bahkan dalam Pasal6 (2) dinyatakan, pidana mati tetap dimungkinkan untuk “the most serious crimes”. Selanjutnya bahkan diatur pula dalam berbagai dokumen internasional mengenai “pedoman pelaksanaan pidana mati” (Lihat Resolusi Ecosoc PBB 1984/50 jo. Resolusi 1989/64 dan Resolusi 1996/15 yang mengatur “the Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty”). Dalam Resolusi Commission on Human Rights (Komisi HAM PBB) 1999/61 juga masih ada penegasan, bahwa pidana mati jangan dijatuhkan kecuali untuk “the most serious crimes” (dengan pembatasan/rambu-rambu: “intentional crimes with lethal or extremely grave consequences”).<br />4. Demikian pula dalam UU-HAM ada pembatasan dalam Pasal73 yang menyatakan: “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa”. Pasal 73 UU-HAM ini identik dengan Pasal 28 J UUD’45 (Amandemen ke-2 tahun 2000).</div><div align="justify"><br />B. Posisi /status Pidana Mati dalam Konsep RUU KUHP<br />Pidana mati dan pidana seumur hidup secara teoritik termasuk pidana<br />absolut (absolute punishment). Sifat pidana yang demikian didasarkan pada asumsi dasar yang absolut. Pada diri pelaku dipandang ada unsur/ sifat-sifat kemutlakan (absolut), yaitu: sudah melakukan kejahatan yang secara absolut sangat membahayakan/merugikan masyarakat; ada kesalahan absolut (maksimal) dan sipelaku itu dianggap secara absolut/mutlak sudah tidak dapat berubah/diperbaiki. Dilihat dari sudut kebijakan penal, pandangan/asumsi absolut yang demikian patut dipermasalahkan. Dalam kenyataannya, sulit menetapkan adanya kesalahan absolut pada diri seseorang, terlebih karena faktor “kausa dan kondisi” yang menyebabkan terjadinya kejahatan cukup banyak, sehingga tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada kesalahan sipelaku. Kenyataan lain menunjukkan bahwa tidak ada orang yang secara absolut tidak bisa berubah atau tidak bisa diperbaiki/ memperbaiki diri. Oleh karena itu adalah kurang bijaksana apabila kebijakan dianutnya pidana mati didasarkan pada pandangan/asumsi dasar/kebijakan yang absolut itu.<br />Dalam penyusunannya Rancangan KUHP nantinya akan tetap mempertahankan pidana mati sebagai konsepnya, namun Konsep nampaknya tidak berorientasi pada kebijakan/paradigma absolut seperti diuraikan di atas. Status pidana mati dalam Konsep tidak dimasukkan dalam kelompok pidana pokok, tetapi sebagai pidana khusus (eksepsional). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 61 Konsep2000. Namun dalam perkembangannya, Konsep 2004 (Pasal 63) dan Konsep 2005 & 2006 (Pasal 66) menyebutnya dengan istilah“pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”. Dikeluarkannya pidana mati dari komposisi/deretan pidana pokok dan dijadikan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus/eksepsional, dapat dimaklumi mengingat hal-hal sebagai berikut:<br />Dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu/masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir/perkecualian. Hal ini dapat diidentikkan dengan“amputasi/operasi” di bidang kedokteran, yang pada hakikatnya juga bukan sarana/obat utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/obat terakhir. Oleh karena itu ditegaskan dalam Konsep (Pasal 80/ 2000; Pasal 84/2004; Pasal87/2005-2006), bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Di beberapa negara lainpun ada yang menyatakan bahwa pidana mati merupakan pidana eksepsional (lihat misalnya Pasal 30 ayat2 KUHP Polandia dan Pasal 24 ayat 2 KUHP Yugoslavia).<br /><br />BAB IV<br />KESIMPULAN<br /><br />KESIMPULAN<br /><br />Dari penjelasan yang ada diatas jelas bahwa pidana mati sebagai sebagai peninggalan sejarah masa lampau tampaknya masih akan tetap di pertahankan dalam rancangan KUHP setidak-tidaknya sampai rancangan tahun 2004. Namun penggunaan pidana mati dalam rancangan KUHP tidaklah sama dengan apa yang diatur dalam KUHP nasional yang ada sekarang. namun Konsep RUU KUHP nampaknya tidak berorientasi pada kebijakan/paradigma absolut.<br /><br />Dalam RUU KUHP tahun 2004 bahwa dinyatakan dalam Bagian Kedua Pidana Paragraf I Jenis Pidana Pasal 62 (1) Pidana Pokok terdiri atas:<br />a. pidana penjara;<br />b. pidana tutupan;<br />c. pidana pengawasan;<br />d. pidana denda; dan<br />e. pidana kerja sosial<br />dari pasal 62 ayat 1 diatas jelas bahwa pidana mati tidaklah lagi diatur sebagai hukuman pokok, namun bukan berarti hukuman mati tersebut dihapuskan dari rancangan KUHP akan tetapi untuk hukuman mati diatur didalam pasal lain yaitu diatur di dalam pasal tersendiri yaitu Pasal 63. Dimana didalam pasal 63 tersebut dijelaskan bahwa “Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”.<br /><br />Dengan demikian jelas bahwa dalam Rancangan KUHP masih akan tetap mempertahankan pidana mati sebagai sarana penjatuhan pidana walaupun penggunaanya nanti bukan sebagai sarana pidana pokok dengan alasan bahwa Dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu/masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir/perkecualian. Hal ini dapat diidentikkan dengan“amputasi/operasi” di bidang kedokteran, yang pada hakikatnya juga bukan sarana/obat utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/obat terakhir. Oleh karena itu ditegaskan dalam Konsep (Pasal 80/ 2000; Pasal 84/2004; Pasal87/2005-2006), bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Di beberapa negara lainpun ada yang menyatakan bahwa pidana mati merupakan pidana eksepsional (lihat misalnya Pasal 30 ayat2 KUHP Polandia dan Pasal 24 ayat 2 KUHP Yugoslavia).<br /><br /></div><div align="justify"><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Fahmi Raghib S.H., MH, pengantar hukum penitensier, Universitas Sriwijaya, palembang, 2008<br /><br />www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php , Jurnal legislasi Indonesia, diakses pada tanggal 5 desember 2008<br /><br />http://abolishment.blogspot.com/2008/03/tinjauan-agama-islam-atas-hukuman-mati.html, diakses pada tanggal 25 nopember 2008<br /><br />http://library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin.pdf, pidana mati menurut hukum pidana Indonesia<br /><br />http://advokatku.blogspot.com/2006/10/pidana-mati-apa-dan-bagaimana.html, diakses pada tanggal 25 nopember 2008<br /><br />http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati, diakses pada tanggal 25 nopember 2008<br /><br />http://ligagame.com/lg_smf/index.php, sejarah hukuman mati, diakses pada tanggal 25 nopember 2008<br /><br />http://fertobhades.wordpress.com/2007/01/06/hukuman-mati/, diakses pada tanggal 27 nopember 2008<br /><br />http://www.komnasham.go.id/portal/files/Kajian%20Hukuman%20Mati%20-%20Final.pdf, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sif.ed.: UMUM<br />Sidang Paripurna Keputusan Sidang Tanggal Sidang 23-24 September 2008 Paripurna Komnas HAM Agenda Sidang No. 3 Nomor: 033/SP/IX/2008, Kajian<br />HUKUMAN MATI DALAM PANDANG AN HAK ASASI MANUSIA (Laporan Kajian Sekretaris Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, Roichatul Aswidah), diakses pada tanggal 25 nopember 2008<br /><br />http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czozNjoiZD1zb3MrMSZmPVBlbWlkYW5hYW5fTWF0aV9SX0tVSFAuaHRtIjs=, R. KUHP MENGHINDARI PIDANA MATI (Rudy Satriyo Mukantardjo(staf pengajar hukum pidana FH-UI), diakses pada tanggal 27 nopember 2008<br /><br /></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-34900120378538800792008-12-06T04:20:00.000-08:002008-12-06T04:24:41.302-08:00Tinjauan Agama Islam atas Hukuman Mati<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_DIYQatGp7_w/STpvAdm8ikI/AAAAAAAAAB4/AneUdlztkYA/s1600-h/fsquad2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 151px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_DIYQatGp7_w/STpvAdm8ikI/AAAAAAAAAB4/AneUdlztkYA/s320/fsquad2.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5276651967156619842" /></a><br /><div align="center">oleh:</div><div align="center">Adri Noor Rachman</div><div align="center"></div><div align="justify">Bentuk peraturan dalam ajaran Islam terdiri dari hudud dan ta’zir. Hudud adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggaran dan sanksinya sudah di atur secara pasti. Sedangkan ta’zir adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggarannya sudah di atur tetapi bentuk sanksinya di serahkan kepada negara[1]. <br /><br />Dalam agama Islam dikenal apa yang dinamakan kisas. Kisas yaitu memberikan perlakuan yang sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukannya terhadap korban[2]. Kisas diterapkan terhadap pelaku pembunuhan. Dasar berlakunya kisas ini adalah berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah, yakni surat kedua dari Al-Quran, ayat 178 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”[3]. Dalam penjelasannya diterangkan bahwa diat adalah suatu ganti rugi yang dibayarkan kepada ahli waris korban. Dalam hukum Islam hukuman mati dapat diganti dengan pembayaran ganti rugi kepada ahli waris korban apabila sebelumnya ahli waris korban telah memaafkan pelaku kejahatan pembunuhan atas apa yang dilakukannya. Selanjutnya dalam ayat 179 Allah SWT berfirman: “Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”[4]. <br /><br />Dalam Kitab Suci umat Islam ini terdapat surat yang isinya sangat jelas menunjukan bahwa Islam sejalan dengan teori absolut, yakni surat Al-Maaidah ayat 45 yang artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan hak qishaashnya, maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”. Surat ini dan surat-surat sebelumnya menunjukan bahwa Allah SWT menetapkan bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal bagi tindak pidana pembunuhan karena begitu beratnya akibat dari pembunuhan tersebut[5].<br /><br />Adapun untuk diberlakukannya kisas terdapat beberapa syarat, yaitu:[6]<br /><br />a. Pelaku seorang mukalaf, yaitu sudah cukup umur dan berakal.<br /><br />b. Pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja.<br /><br />c. Unsur kesengajaan dalam pembunuhan itu tidak diragukan lagi.<br /><br />d. Pelaku pembunuhan tersebut melakukannya atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari orang lain.<br /><br />Dalam hal terjadi pembunuhan yang melibatkan pelaku dan korban yang memiliki hubungan keturunan, maka kisas tidak dapat diberlakukan.<br /><br />Mengenai kisas ini banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para pemuka agama Islam itu sendiri, di antaranya mengenai cara pelaksanaan kisas. Pendapat pertama mengatakan bahwa kisas hanya bisa dilakukan dengan pedang atau senjata, terlepas dari pembunuhan yang telah dilakukan menggunakan pedang atau tidak. Pendapat kedua mengatakan bahwa kisas itu dilakukan sesuai dengan cara dan alat yang digunakan pembunuh pada saat melakukan pembunuhan. Namun terdapat kesepakatan di antara ahli agama Islam bahwa apabila ada alat lain yang dapat lebih cepat menghabisi nyawa terpidana, maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama[7].<br /><br />Bagi penegak hukum dalam negara Islam terdapat prinsip “Lebih baik salah memaafkan dari pada salah menghukum.”[8]. Prinsip ini menunjukan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman, khususnya hukuman mati. Apabila seseorang mengakui kesalahan yang telah dilakukannya serta bertaubat dengan sungguh-sungguh, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 34, maka ia akan di ampuni atas perbuatannya oleh Allah[9]. Penegak hukum Islam juga berpedoman pada ayat tersebut dalam menegakkan hukum Islam. Maka apabila seorang pelaku kejahatan menyerahkan diri lalu mengakui perbuatannya dan bertaubat, hendaknya menjadi suatu pertimbangan bagi para penegak hukum dalam proses penjatuhan hukuman.<br /><br /><br />[1] Miftah Faridl, “Pokok-pokok Ajaran Islam”, Pustaka, Bandung, 1996, hal. 156.<br /><br />[2] Ensiklopedi Hukum Islam No.4, hal 1381.<br /><br />[3] T.M. Hasbi Ashshiddiqi, dkk., “Al-Quran dan Terjemahannya”, Mujamma’ Khadim Al-Haramain Asy-Syarifain, Madinah, 1971, hal. 43.<br /><br />[4] Ibid, hal. 44.<br /><br />[5] Ahmad Wardi Muslich, “Hukum Pidana Islam”, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 136.<br /><br />[6] Ensiklopedi Hukum Islam No. 4, op cit, hal. 1382.<br /><br />[7] Ibid, hal. 1383.<br /><br />[8] Miftah Faridl, op cit, hal. 157. <br /><br />[9] T.M. Hasbi Ashshiddiqi, dkk, op cit, hal. 164-165.<br /><br /></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-81317490357511899182008-12-06T04:17:00.000-08:002008-12-06T04:19:02.808-08:00Contoh Gugatan Cidera Janji (Wanprestasi)<div align="justify"><br />26 09 2007 <br />Jakarta,…………………………<br />Kepada Yth.<br />Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan<br />Jl. Raya Ampera No.11<br />Jakarta Selatan<br />Perihal: Gugatan Wanprestasi<br />Dengan hormat,<br />Perkenankanlah Kami……………….. dan Rekan, Advokat pada Kantor Hukum…………………….. beralamat di ………………………………………….. Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No………………………, tertanggal …………………… (terlampir) dari dan oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama ………………………., yang beralamat di ……………………………………………………………….. <br />Selanjutnya disebut……….………………………………………..………………….…..PENGGUGAT.<br />Dengan ini mengajukan gugatan Wanprestasi terhadap:<br />PT…………………………………….., yang beralamat di ………………………………………………………………., Indonesia……………..selaku TERGUGAT.<br />Adapun alasan-alasan dan keadaan hukum yang menjadi dasar gugatan ini adalah sebagai berikut:<br />1. Bahwa Penggugat adalah Pemegang Polis yang sah dari Asuransi Jiwa …………………………….yang dikeluarkan oleh ………………………………. (Tergugat), yang mana Penggugat menjadi nasabah asuransi tersebut untuk mengasuransikan orang tua (mertua)-nya yang bernama ………….. sebagai Tertanggung sebagaimana tertera dalam Polis Asuransi tertanggal 28 Agustus 2003 No. …………………………………… dengan uang pertanggungan sejumlah Rp. 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah) dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), dengan uang pertanggungan sejumlah Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) (Bukti P-1);<br />2. Bahwa sebelum diterbitkannya Polis Asuransi tersebut, Penggugat dan Tertanggung telah mengisi formulir dan persyaratan yang diisyaratkan Tergugat antara lain mengisi formulir Surat Permintaan Asuransi Jiwa Perorangan (Bukti P-2), Pernyataan dan Surat Kuasa (Bukti P-3), memeriksa kesehatan Tertanggung (General Medical check up) dirumah sakit Pemerintah sehingga diterbitkan Sertifikat Kesehatan yang ditandatangani oleh dr.………………….. dari Rumah Sakit Umum ……………….. (Bukti P-4), serta dokumen lain sebagai persyaratan penerbitan Polis;<br />3. Bahwa setelah semua persyaratan di penuhi oleh Penggugat, selanjutnya Penggugat menyerahkan persyaratan tersebut kepada Tergugat untuk di analisa;<br />4. Bahwa pada tanggal 19 Agustus 2003, Tergugat mengirim surat kepada Penggugat perihal: penawaran extra premi permohonan asuransi jiwa, yang pada pokoknya Tergugat menerima permohonan Penggugat dengan perhitungan premi sebagai berikut: Premi Asuransi sebesar Rp. 18.876.000,- dan Premi Tambahan (extra Premi) Kesehatan Rp. 2.200.320,- sehingga Total Premi adalah Rp. 21.076.320,-<br />(Bukti P-5)<br />5. Bahwa setelah Penggugat menyetujui Penawaran sebagaimana dimaksud dalam butir 4 diatas, pada tanggal 27 Agustus 2003, Penggugat melakukan pelunasan pembayaran premi sejumlah Rp. 21.082.320,- (dua puluh satu juta delapan puluh dua ribu tiga ratus dua puluh rupiah); (Bukti P-6).<br />6. Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2003, Tergugat mengirim surat kepada Penggugat perihal pemberitahuan Akseptasi Asuransi Jiwa Perorangan, dan menyampaikan bahwa dalam waktu 14 hari Tergugat akan mengirim Polis Asli kepada Penggugat (Bukti P-7), demikian pula pada tanggal dan hari yang sama, Tergugat juga mengirim surat kepada Penggugat yang berisi ucapan terimakasih karena telah bergabung dengan Tergugat; (Bukti P-8). <br />7. Bahwa dengan demikian dengan diterbitkannya Polis Asuransi oleh Tergugat maka segala ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Penggugat adalah telah sah dan lengkap;<br />8. Bahwa karena antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi kesepakatan tentang Asuransi / pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 246 KUHD Jo. Pasal 247 KUHD yang tertuang dalam Polis No. 000002074331/1409 dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena Kecelakaan (Accident Death And Disablement Rider), kesepakatan mana telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata sehinga sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, Perjanjian antara Penggugat dan Tergugat berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak dan perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;<br />9. Bahwa pada tanggal 26 September 2003 jam 15.00 WIB mertua Penggugat yang bernama …………….. (Tertanggung), mengalami kecelakaan jatuh dari tangga serta mendapat perawatan dr. ………………., dan mulai saat itu kondisi tubuh Tertanggung terus-menerus menurun;<br />10. Bahwa selanjutnya pada tanggal 16 Oktober 2003, mertua Penggugat (Tertanggung) meninggal dunia sesuai dengan Akta Kematian No. 09/CS/2003, tertanggal 4 Nopember 2003, yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Penduduk…………………; (Bukti P-10). <br />11. Bahwa sesuai dengan dengan Surat Keterangan Kematian yang dikeluarkan oleh dr………………………., penyebab kematian tertanggung adalah karena kecelakaan jatuh dari tangga ;(Bukti P- 11a dan Bukti 11b).<br />12. Dalam pasal 15 polis No. ………………………….. ditentukan bahwa “ Pertanggungan atas resiko meninggalnya tertanggung berlaku dalam keadaan dan oleh sebab apapun, kecuali meninggal dunia sebagai akibat dari :<br />1. Bunuh diri, dihukum mati oleh pengadilan, apabila peristiwa itu terjadi dalam waktu 2 (dua) tahun sejak berlaku atau dipulihkannya perjanjian asuransi ini.<br />2. Perbuatan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja, oleh mereka yang berkepentingan dalam asuransi.<br />Demikian pula dalam pasal 2 butir 1 Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena Kecelakaan (Accident Death And Disablement Rider) ditentukan bahwa:<br />1. Jika tertanggung mengalami kecelakaan dan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak kecelakaan terjadi , Tertanggung : <br />1. Meninggal dunia, 100 %(seratus persen) dari uang pertanggungan akan dibayarkan seperti dinyatakan dalam polis;<br />13. Bahwa karena penyebab kematian Tertanggung tidak termasuk dalam hal-hal yang dikecualikan dalam pertanggungan (pasal ……. Polis…………………………….. ), maka Tergugat berkewajiban untuk membayar Pertanggungan atas resiko meninggalnya Tertanggung kepada Penggugat selaku Pemegang Polis;<br />14. Bahwa pada tanggal 11 Nopember 2003, Penggugat mengajukan klaim kepada Tergugat dengan melampirkan semua dokumen yang dipersyaratkan, serta menyerahkan Polis Asli dan Kwitansi Premi Pertama, sesuai dengan tanda terima tertanggal 11 November 2003; (Bukti P- 12).<br />15. Bahwa selanjutnya Tergugat meminta kepada Penggugat untuk memberikan Nomor Rekening Penggugat di salah satu Bank di ……………, dan karena menurut Penggugat klaim yang diajukan tersebut akan di bayar, maka Penggugat mengirimkan nomor rekeningnya di Bank …………………….. Cabang Jl. …………………………;(Bukti P-13).<br />16. Bahwa pada tanggal 18 Februari 2004 Tergugat mengirim surat dengan No. Ref: 009/ALI-Claim/II/2004 yang pada pokoknya menyatakan Tergugat tidak bersedia melaksanakan kewajiban untuk membayar klaim atas meninggalnya ……………….. sebagai Tertanggung, dan secara sepihak Tergugat membatalkan Polis dengan alasan adanya keterangan yang ditutup-tutupi tentang kondisi kesehatan pada saat pengisian formulir permohonan asuransi, yaitu menurut data yang Tergugat dapatkan, Tertanggung pernah menderita penyakit Adeno Carsinoma Lambung (Kanker Lambung); (Bukti P-14).<br />17. Bahwa alasan yang diberikan oleh Tergugat tersebut adalah sangat mengada-ada dan tidak berdasarkan pada fakta-fakta karena senyatanya Tertanggung tidak pernah menderita penyakit Adeno Carsinoma Lambung (Kanker Lambung) sebagaimana didalilkan Tergugat. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil general check up tertanggung sehingga terbitnya Sertifikat Kesehatan atas nama Kartina yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Umum ……………………… yang ditandatangani oleh dr…………….; (vide Bukti P-4).<br />18. Bahwa seandainya Tertanggung menderita penyakit yang dituduhkan oleh Penanggung, maka tentu saja dr. …………………….. tidak akan menerbitkan Sertifikat Kesehatan. Dan oleh karena pada faktanya setelah melalui pemeriksaan medis yang sah kondisi Tertanggung dalam keadaan sehat baik jasmani ataupun rohani maka dr. …………….. kemudian mengeluarkan Sertifikat Kesehatan sehingga dengan demikian Sertifikat Kesehatan yang telah dikeluarkannya itu adalah sah menurut hukum; <br />19. Bahwa selain dari pada itu dalil Tergugat yang menyatakan Penggugat atau Tertanggung tidak memberikan informasi yang benar atas kondisi kesehatan dan juga menyatakan Tertanggung menderita Kanker Lambung adalah tidak didasarkan pada fakta-fakta yang benar atau tidak didasarkan pada hasil pemeriksaan medis yang sah, karenanya senyatanya hingga saat ini Tergugat tidak pernah memberikan fakta-fakta yang menjadi dasar ditolaknya klaim Penggugat; <br />Bahwa sehingga dengan demikian “Sertifikat Kesehatan yang dikeluarkan oleh dokter resmi pemerintah adalah lebih kuat dan akurat keabsahannya dari pada keterangan-keterangan yang diperoleh Tergugat karena telah dikeluarkan berdasarkan prosedur pemeriksaan medis yang benar. “<br />20. Bahwa senyatanya terbukti bahwa Tergugat hanya mengada-ada dan mencari-cari alasan untuk tidak membayar klaim yang diajukan oleh Penggugat, fakta mana dapat dilihat dari usaha Tergugat untuk menutupi perbuatannya Tergugat telah bertindak diluar prosedur asuransi yang wajar yaitu dengan cara mengembalikan premi yang telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat sebesar Rp.21.076.320,- melalui transfer ke rekening Penggugat tanpa sepengetahuan dan persetujuan Penggugat, padahal lazimnya dalam dunia asuransi, sebelum penanggung mentransfer dana kepada pemegang polis, harus ada konfirmasi dan persetujuan dari pemegang polis terlebih dahulu. Dengan demikian terbukti bahwa permintaan nomor rekening Penggugat oleh Tergugat sebagaimana dimaksud dalam butir 15 diatas, adalah suatu jebakan dari Tergugat; <br />21. Bahwa Penggugat telah beberapa kali memperingatkan (mensomasi) Tergugat untuk melaksanakan kewajibannya, akan tetapi Tergugat tetap tidak melaksanakannya dengan berbagai alasan; (Bukti P-15a dan P 15-b)<br />22. Bahwa sesuai dengan uraian-uraian tersebut diatas, terbukti bahwa Tergugat telah Cidera Janji (wanprestasi) atas apa yang telah disepakati dalam Polis Program Asuransi …………… No. ………………………….. dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), sehingga sesuai dengan ketentuan pasal 1243 KUHPerdata, Tergugat berkewajiban mengganti biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya perikatan tersebut.<br />23. Bahwa adapun kerugian Penggugat akibat perbuatan Tergugat adalah sebagai berikut:<br />Kerugian Materil :<br />a. Uang pertanggungan akibat meningal dunia berdasarkan Polis Program Asuransi Smart Executive No. ……………………….. sejumlah Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah).<br />b. Uang pertanggungan meninggal dunia akibat kecelakaan berdasarkan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), sejumlah Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)<br />c. Bunga sebesar 10% per bulan terhitung Penggugat mengajukan Klaim kepada tergugat yaitu sejak tanggal 11 Nopember 2003, sampai dengan Tergugat melaksanakan kewajibannya secara keseluruhan.<br />Kerugian Immaterill :<br />Bahwa karena perbuatan Tergugat tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang dimaksud, maka jelas sangat mengganggu Tergugat baik fikiran dan bathin, serta menyita waktu dimana Penggugat harus bolak-balik ke ………….. dan ……………….. untuk mengurus Klaim yang diajukan Penggugat dengan meninggalkan usahanya, kerugian mana tidak dapat dinilai dengan uang, akan tetapi patut dan wajar apabila Penggugat menuntut ganti kerugian Immateriil sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).<br />24. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan putusan di kemudian hari tidak menjadi sia-sia (illusioir), maka sangatlah beralasan apabila terhadap harta benda milik Tergugat baik benda tetap maupun benda tidak tetap, terlebih dahulu diletakkan sita jaminan (conservatoir Beslag), yaitu:<br />Alat-alat perlengkapan kantor berupa komputer-komputer, meja-meja, alat-alat tulis kantor, kendaraan bermotor dan semua benda-benda bergerak yang berada di lingkungan tetapi tidak terbatas pada benda yang berada di ……………………………………………………………………………<br />25. Bahwa karena gugatan ini diajukan dan didukung oleh bukti-bukti otentik yang cukup dan dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya, maka Penggugat Mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk dapat memberikan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada verzet, Banding, Kasasi maupun upaya-upaya hukum lainnya (Uit Veortbaar Bij Voorrad);<br />Bahwa berdasarkan fakta-fakta dan alasan-alasan yang telah Penggugat uraikan tersebut diatas, maka Penggugat mohon kiranya Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutuskan sebagai berikut:<br />1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.<br />2. Menyatakan bahwa Perjanjian Asuransi Jiwa yang tertuang dalam Polis Program Asuransi Smart Executive No. ……………….. dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER) adalah sah dan mengikat menurut hukum.<br />3. Menyatakan Tergugat telah cidera janji (wanprestasi) untuk melaksanakan kewajiban sesuai yang tercantum dalam Polis.<br />4. Menghukum Tergugat I untuk membayar kerugian Penggugat yaitu :<br />Kerugian Materil :<br />a. Uang pertanggungan akibat meningal dunia berdasarkan Polis Program Asuransi Smart Executive No. …………………………. sejumlah Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah)<br />b. Uang pertanggungan meninggal dunia akibat kecelakaan berdasarkan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), sejumlah Rp. 300.000.000. (tiga ratus juta rupiah)<br />c. Bunga sebesar 10% per bulan terhitung Penggugat mengajukan Klaim kepada tergugat yaitu sejak tanggal 11 Nopember 2003, sampai dengan Tergugat melaksanakan kewajibannya secara keseluruhan.<br />Kerugian Immaterill sejumlah Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).<br />5. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari, setiap kali Tergugat lalai melaksanakan Putusan ini.<br />6. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Consevatoir Beslag) yang telah diletakkan diatas harta benda dan milik Tergugat berupa:<br />Alat-alat perlengkapan kantor berupa komputer-komputer, meja-meja, alat-alat tulis kantor, kendaraan bermotor dan semua benda-benda bergerak lainnya yang berada di lingkungan tetapi tidak terbatas pada benda yang berada di ………………………………………………………………….<br />7. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum Verzet, Banding maupun Kasasi (Uit Voerbaar Bij Voorrad).<br />8. Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini.<br /> Namun demikian :<br />Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Ex Aeque Et Bono)<br />Hormat kami,<br />Kuasa Hukum Penggugat,<br />Thursday, March 20, 2008<br />Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa <br /> <br />Pelaksanaan Akad dan Akibat Hukum Perjanjian : <br />Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa<br />A. Wanprestasi<br />Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.<br />Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu: <br />1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;<br />Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.<br />2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;<br />Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.<br />3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.<br />Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.<br />Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu :<br />1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;<br />2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;<br />3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;<br />4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.<br />Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.<br />Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.<br />Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.<br />Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. <br />Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah: <br />1) Surat perintah<br />Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”<br />2) Akta sejenis<br />Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.<br />3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri<br />Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.<br />Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.<br />Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.<br />B. Sanksi<br />Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu :<br />1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;<br />2) Pembatalan perjanjian;<br />3) Peralihan resiko;<br />4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.<br />C. Ganti Kerugian<br />Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)<br />Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving). <br />Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu: <br />a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)<br />Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A<br />b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)<br />Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).<br />Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.<br />Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:<br />a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);<br />b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;<br />c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.<br />D. Keadaan Memaksa (overmach)<br />Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.<br />Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. <br />Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu: <br />a) Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;<br />b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;<br />c) Resiko tidak beralih kepada debitor;<br />d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.<br />Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif:<br />Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.<br />Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.<br />Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah. <br />Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.<br />E. Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa dalam Perspektif Fiqh Muamalah<br />Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran salah satu ahli fiqh muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A. <br />Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah gantirugi dari pihak yang lalai.<br />Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang tersebut harus diganti.<br />Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.<br />Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam pembayaran hutang.<br />Daftar Pustaka<br />Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000<br />Pramono, Nindyo, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003 <br />Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1985 <br />Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005<br />Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005<br />R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Purta Abadin, 1999<br /> Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), cet. 1, hal. 2.21 <br /> R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra Abadin, 1999), cet. 6, hal.18 <br /> Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1985) <br /> Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2005), cet. 36, <br />hal. 323<br /> Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.22<br /> Ibid, hal. 2.22-2.25<br /> Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), cet. 32, hal. 148<br /> Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.23<br /> R. Setiawan, Op. Cit. 27-28<br /> Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. 1, hal. 120-121<br />Diposting oleh Yogi Ikhwan, S.T. di Thursday, March 20, 2008 <br />[06/09/01] <br />Bagi yang pernah kuliah di fakultas hukum, tentunya tidak asing dengan putusan Arrest Hooge Raad tanggal 31 Januari 1919 pada perkara Lindenbaum vs. Cohen. Tahukah Anda bahwa Arrest tersebut menjadi salah satu isi pasal dalam BW yang mulai berlaku di Belanda pada 1992 yang merumuskan perbuatan melawan hukum. Kenapa gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sering dicampuradukan?<br /><br />Sekadar menyegarkan ingatan, perkara Lindenbaum vs. Cohen adalah suatu tonggak penting yang memperluas pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perkara tersebut melibatkan dua kantor percetakan yang saling bersaing, satu milik Lindenbaum dan satu lagi milik Cohen.<br />Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum dibujuk oleh Cohen agar memberitahukan nama-nama pelanggannya berikut penawaran yang diberikan kepada mereka. Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan data-data tersebut untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat orang-orang akan memilih kantor percetakannya daripada kantor Lindenbaum.<br />Untungnya, perbuatan Cohen cepat diketahui oleh Lindenbaum. Akibatnya, Lindenbaum langsung mengajukan gugatan terhadap Cohen di muka pengadilan Amsterdam. Selain mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen, Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen tersebut.<br />Di tingkat pertama Cohen kalah, tetapi sebaliknya di tingkat banding justru Lindenbaum yang kalah. Di tingkat banding, dikatakan bahwa tindakan Cohen tidak dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum karena tidak dapat ditunjukkan suatu pasal dari Undang-Undang yang telah dilanggar oleh Cohen.<br />Perbuatan melawan hukum<br />Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-nya Belanda) tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang dinyatakan sebagai pemenang. Hoge Raad menyatakan bahwa pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW, termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan kesusilaan. <br />Sebelum adanya Arrest tersebut, pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit. Yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig). <br />Orang tidak bisa mengajukan perbuatan melawan hukum dan meminta ganti kerugian apabila tidak disebutkan secara jelas pasal berapa dan undang-undang mana yang telah dilanggar.<br />Sebagai contoh, di kota Zutphen, Belanda, seorang pemilik rumah yang tinggal di bagian bawah rumah bertingkat pernah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap pemilik rumah yang tinggal di bagian atas. Penyebabnya, barang-barang yang berada ruangan di bagian bawah menjadi rusak karena pemilik rumah di bagian atas menolak untuk menutup kerannya.<br />Akibat musim dingin, pipa saluran air di bagian bawah pecah, sehingga ketika pemilik rumah yang di atas menyalakan keran, justru yang dibagian bawah menjadi kebanjiran. Ketika itu, gugatan perbuatan melawan hukum tersebut ditolak karena tiada pasal dari suatu Undang-Undang yang mengharuskan pemilik rumah bagian atas untuk mematikan kerannya.<br />Yang pasti, KUHPerdata memang tidak mendefinisikan dan merumuskan perbuatan melawan hukum. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya.<br />Belanda yang telah memasukkan Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 menjadi salah satu pasal dalam BW-nya. Perumusan dan batasan perbuatan melawan hukum sudah sedemikian luas di 'negeri kincir angin' ini.<br />Wanprestasi<br />Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.<br />Pkar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur.<br />Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga. Pengertian bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi.<br />Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada saat dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang disampaikan oleh kreditur ke debitur (pasal 1238 jo Pasal 1243 KUHPerdata). <br />Untuk menghindari celah yang mungkin bisa dimanfaatkan debitur, ada baiknya kreditur membuat secara tertulis pernyataan lalai tersebut atau bila perlu melalui suatu peringatan resmi yang dibuat oleh juru sita pengadilan.<br />Perbedaan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi<br />Orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan, sebenarnya lebih tepat kalau diajukan gugatan wanprestasi. Ini akan menjadi celah yang akan dimanfaatkan tergugat dalam tangkisannya.<br />Membedakan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi sebenarnya gampang-gampang susah. Sepintas lalu, kita bisa melihat persamaan dan perbedaanya dengan gampang. Baik perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, sama-sama dapat diajukan tuntutan ganti rugi.<br />Sementara perbedaannya, seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain. Tiada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya.<br />Sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.<br />Beberapa sarjana hukum bahkan berani menyamakan perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi dengan batasan-batasan tertentu. Asser Ruten, sarjana hukum Belanda, berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang hakiki antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Menurutnya, wanprestasi bukan hanya pelanggaran atas hak orang lain, melainkan juga merupakan gangguan terhadap hak kebendaan.<br />Senada dengan Rutten, Yahya Harahap berpandapat bahwa dengan tindakan debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang tidak tepat waktu atau tak layak, jelas itu merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Dikatakan pula, wanprestasi adalah species, sedangkan genusnya adalah perbuatan melawan hukum.<br />Selain itu, bisa saja perbuatan seseorang dikatakan wanprestasi sekaligus perbuatan melawan hukum. Misalnya A yang sedang mengontrak rumah B, tidak membayar uang sewa yang telah disepakati. Selain belum membayar uang sewa, ternyata A juga merusak pintu rumah B <br />Namun apabila kita cermati lagi, ada suatu perbedaan hakiki antara sifat perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Bahkan, Pitlo menegaskan bahwa baik dilihat dari sejarahnya maupun dari sistematik undang-undang, wanprestasi tidak dapat digolongkan pada pengertian perbuatan melawan hukum.<br />M.A. Moegni Djojodirdjo dalam bukunya yang berjudul "Perbuatan Melawan Hukum", berpendapat bahwa amat penting untuk mempertimbangkan apakah seseorang akan mengajukan tuntutan ganti rugi karena wanprestasi atau karena perbuatan melawan hukum. <br />Menurut Moegni, akan ada perbedaan dalam pembebanan pembuktian, perhitungan kerugian, dan bentuk ganti ruginya antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.<br />Dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat harus membuktikan semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum selain harus mampu membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat debitur. Sedangkan dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar.<br />Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat dapat menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum). Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang diajukan dasarnya adalah wanprestasi.<br />Masalah simpel<br />Setiawan, mantan hakim tinggi yang sekarang menjadi arbiter di BANI melihat perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sederhana sekali. "Bedanya Undang-Undang dengan perjanjian apa sih? Undang-Undang tertulis, perjanjian bisa tertulis bisa tidak tertulis. Cuma Undang-Undang berlaku untuk umum, perjanjian berlaku untuk para pihak," ujarnya kepada hukumonline. <br />Menurut Setiawan, kita berbicara perbuatan melawan hukum kalau melanggar Undang-Undang yang berlaku untuk umum. Sedangkan kita berbicara wanprestasi kalau kita berbicara tentang perjanjian yang berlaku untuk para pihak. "Simpel sekali masalahnya," ungkapnya.<br />Setiawan berpendapat bahwa perbedaan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang terus dibesar-besarkan seakan-akan menjadi perdebatan klasik yang tidak pernah usai. Hal ini sebenarnya tidak lebih dari upaya salah satu pihak untuk menghindar memenuhi kewajibannya. <br />Setiawan mengemukakan bahwa sekarang ini orang lebih berprinsip kalau bisa tidak bayar atau kalau bisa memperlambat, buat apa bayar sekarang. "Sebenarnya hukum itu kaedahnya cuma dua: sopo sing salah kudu dihukum, sopo sing ngutang kudu bayar (siapa yang salah harus dihukum, siapa yang berhutang harus membayar, red), tidak ada lain. Pada akhirnya semua bermuara ke sana," cetus Setiawan.<br />Dari uraian di atas, sebelum mengajukan gugatan, ada baiknya calon penggugat mempertimbangkan terlebih dahulu apakah akan mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap lawannya. Seandainya mengajukan gugatan wanprestasi, ia cukup menunjukkan perjanjian yang dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian untuk menyatakan tidak terjadi wanprestasi.<br />Namun kalau akan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat harus siap-siap untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa bukan hanya ada suatu perbuatan melawan hukum, tetapi ada juga unsur kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh Tergugat.<br />Mengenai tuntutan ganti rugi yang diminta, untuk wanprestasi jumlahnya tentu bisa diperkirakan karena ada dalam perjanjian. Sedangkan untuk perbuatan melawan hukum, diserahkan kepada hakim untuk menilai besarnya ganti rugi. Jadi, mau mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum?<br /><br />Himbali Minta Awasi Prosedur Hukum Lelang<br /> <br />Jakarta, Sinar Harapan<br />Himpunan Balai Lelang Indonesia (Himbali) meminta Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) dan Direktur Lelang untuk mengawasi penerapan prosedur hukum lelang di semua balai lelang. Sekaligus untuk mencegah adanya kerugian negara akibat kemungkinan wanprestasi atau tidak sesuai dengan perjanjian hukum semula atas lelang. <br />Permintaan ini muncul akibat adanya dugaan wanprestasi atas lelang yang dilakukan bank nasional beberapa waktu lalu dan bertendensi merugikan negara sebesar Rp 52 miliar. Ketua Himbali, Hardiyanto Hoesodo mengatakan hal ini kepada wartawan di Jakarta, Senin (15/9). <br />”Kami sudah konfirmasi kepada Pak Dirjen (DJPLN) dan Direktur Lelang. Prosedur lelang dan pengawasan atas wanprestasi lelang bisa timbulkan kerugian negara. Seharusnya semua uang wanprestasi masuk ke kas negara. Kita yakin mereka akan tegakkan prosedur itu. Kalau tidak, citra balai lelang akan rusak dan itu merupakan pelanggaran perdata dan pidana, ” ujarnya.<br />Hardiyanto menjelaskan, pihaknya menduga terjadinya wanprestasi atas lelang yang dilakukan Senin (8/9) atas aset berupa tanah kosong di Jl Hayam Wuruk No 127, Jakarta Barat. <br />Aset itu terjual dengan harga limit Rp 218,27 miliar atau Rp 8.389 per meter persegi. Padahal, menurut perkiraan, nilai jual aset itu bisa lebih tinggi sekitar 230 - 240 miliar ru[iah dengan perkiraan harga tanah Rp 8.700 per meter persegi. <br /><br />Penyimpangan<br />Sementara, diduga ada penyimpangan pada proses tender pemilihan balai lelang yang tidak memenuhi kriteria. Untuk nilai jual aset tersebut, seharusnya yang bisa menjadi pelelang adalah yang memiliki pengalaman melakukan penjualan aset dengan nilai di atas Rp 50 miliar.<br />Wanprestasi yang dimaksud itu adalah pembayaran terhadap nilai pembayaran keseriusan Rp 2 miliar dan jaminan lelang Rp 50 miliar. Namun dari nilai itu pihaknya menduga telah terjadi wanprestasi karena pihak pembeli tidak mampu melakukan pelunasan setelah waktu tiga hari kerja sesuai kewajiban hukum yang mengikat. <br />Seharusnya, sesuai peraturan lelang dari keputusan Dirjen Piutang dan Lelang Negara No 35/PL/2002 tanggal 27 September 2002 dan kesepakatan antara balai lelang pelaksana dan pemilik barang, maka akibat wanprestasi itu, uang deposit dan keseriusan sebesar Rp 52 miliar diperuntukkan bagi pemilik dan balai lelang. <br />Pemerintah seharusnya menerima miliaran rupiah yang merupakan pendapatan non pajak sebesar 0,3 persen sebagai biaya lelang. Ditengarai, pemenang tender yang merupakan suatu konsorsium itu sendiri telah mengajukan surat penundaan pelunasan lelang tersebut, namun ditolak oleh DJPLN. (rik) <br /><br /><br />Copyright © Sinar Harapan 2003 <br />Posita dan Petitum Bertentangan, Conoco Lolos dari Gugatan<br />[7/12/06]<br />ConocoPhilips Indonesia untuk sementara bisa bernafas lega. Pengadilan menyatakan gugatan yang diajukan terhadap perusahaan ini tidak dapat diterima.<br />Dalam sidang yang berlangsung Rabu (6/12) siang, majelis hakim Pengadilan negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa gugatan yang diajukan kurator PT Saptasarana Personaprima kabur (obscuur libel), sehingga dinyatakan tidak dapat diterima. Sidang pembacaan putusan itu sendiri tidak dihadiri oleh penggugat.<br /> <br />Majelis hakim yang diketuai Lief Sofijullah menjelaskan bahwa posita dan petitum gugatan saling bertentangan. Pada bagian posita, penggugat mendalilkan telah terjadi perbuatan melawan hukum, tetapi dalam petitum terjadi wanprestasi. Bagi majelis, kedua hal itu berbeda dan saling bertentangan. Namun, majelis tak menjelaskan secara rinci dan konseptual apa perbedaan keduanya. <br /> <br />Meskipun tak merinci perbedaan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi (ingkar janji), putusan majelis sudah cukup menggembirakan pihak Conoco. “Putusan majelis membuktikan bahwa pengadilan tak bisa diintervensi, dan ini menjadi kabar baik bagi investor,“ ujar Todung Mulya Lubis, kuasa hukum Conoco. <br /> <br />Tetapi bagi Saptasarana, hal itu menjadi pertanyaan. Rico Pandeirot, kuasa hukum perusahaan itu, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap putusan majelis. Pertimbangan majelis hakim dinilainya terlalu sederhana. “Perlu dirinci, bagian mana dari posita dan petitum yang tidak sinkron,” ujarnya ketika dihubungi via telepon.<br /> <br />Menurut Rico, majelis hakim kurang jeli dalam memahami hubungan antara perbuatan melawan hukum (PMH) dan wanprestasi. Rico berpendapat bahwa wanprestasi itu bagian dari PMH walaupun wanprestasi itu memang lebih spesifik. “Wanprestasi itu adalah akibat dari PMH. Karena itu, petitumnya yang kita minta adalah ganti kerugian akibat dari PMH,” tegasnya.<br /> <br />Rico mengaku masih mempertimbangkan dua alternatif untuk menindaklanjuti putusan ini. Yang pertama adalah mengajukan gugatan baru dengan memfokuskan gugatan kepada perbuatan melawan hukum. Atau, yang kedua, menempuh upaya banding. “Tapi semua masih menunggu apa kata klien,” lanjutnya.<br /> <br />Gugatan kurator Saptasarana Personaprima sudah berjalan setahun. Anggota majelisnya pun sudah ada yang berganti. Sengketa ini bermula ketika Sapta dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga PN Jakarta Pusat. Randy Rizaldi selaku kurator yang ditunjuk mengurus boedel pailit, merasa ada yang tak beres dalam pelaksanaan Kontrak No. TE 10707/RD antara Sapta dengan Conoco mengenai jasa pengelolaan alat-alat pengeboran (rig management services).<br /> <br />Pada bulan Agustus tahun lalu, Randy kemudian melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Conoco. Melalui kuasa hukumnya dari OC Kaligis & Associates, Randy menyatakan bahwa ConocoPhilips Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum karena memutuskan kontrak secara sepihak, sebelum masa kontrak itu berakhir.<br /> <br />Pihak conoco berdalih bahwa rig-rig yang disediakan Sapta tidak datang sesuai waktu yang dijanjikan (16 April 2002). Bahkan setelah sampai ke lokasi, rig-rig tersebut ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dalam kontrak.<br />(CRH)hukum online.com<br /><br /><br /><br /></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-79922779583532593422008-12-06T04:09:00.000-08:002008-12-06T04:15:19.668-08:00UPAYA PERLINDUNGAN BAGI KORBAN KEJAHATAN HUMAN TRAFFICKING<p align="center">oleh :</p><p align="center">oktarinaz maulidi</p><p></p><p align="justify">BAB I<br /></p><div align="justify">PENDAHULUAN<br /><br />A. LATAR BELAKANG<br /><br />Perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi banyak perhatian baik tingkat Asia maupun tingkat dunia. Perdagangan orang di Indonesia, terjadi tidak hanya menyangkut di dalam Negara Indonesia saja yaitu misalnya perdagangan orang antar pulau tetapi perdagangan orang antar Negara, yaitu Indonesia dengan Negara-negara lain. Maraknya issue perdagangan orang diawali dengan meningkatnya pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak untuk bermigrasi ke luar daerah sampai ke luar negeri.<br />maka faktor penyebab yang mendorong terjadinya perdagangan orang adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi. Perdagangan orang tidak hanya terjadi di Indonesia saja sebagai Negara berkembang, melainkan juga di alami oleh negara berkembang lainnya seperti Vietnam, Srilangka, Thailand dan Philipina. Pada tingkat dunia, perdagangan perempuan terkait erat dengan kriminalitas transnasional dan dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan merendahkan martabat bangsa dan Negara serta merupakan kejahatan kemanusiaan karena memperlakukan korban semata sebagai komoditi yang dibeli, dijual, dikirim dan dijual kembali1. <br /><br />Selain faktor yang disebutkan diatas faktor lain yang menyebabkan terjadinya perdagangan orang adalah faktor pendidikan dan keterbatasan informasi yang dimiliki sehingga menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang. Korban perdagangan orang pada umumnya terjadi pada perempuan dan anak-anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. <br />Mengenai kejahatan perdagangan manusia sebelum lahirnya UU No.21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (PTPPO), diatur secara tegas dalam KUHP pasal 297 namun pasal tersebut ancamannya terlalu ringan sehingga tidak mencerinkan adanya suatu pemebrian efek jera kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang2.<br /><br /><br />B. PERMASALAHAN<br /><br />Melihat uraian diatas jelas terlihat bahwa kasus kejahatan perdagangan manusia bukanlah kasus pidana yang umum seperti yang diatur dalam KUHP, karena kejahatan perdagangan orang disini sindikat perdagangannya tidak hanya dalam lingkup nasional tetapi juga sampai transnasional. Sehingga untuk kasus kejahatan perdagangan orang disini haruslah dirumuskan dalam suatu peraturan hukum yang tersendiri diluar KUHP nasional kita.<br />Sekarang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana upaya perlindungan yang harus diberikan kepada korban kejahatan perdagangan orang, agar korban kejahatan perdagangan orang di Indonesia dapat diminimalisir sedemikian hingga sehingga korban mendapatkan haknya untuk dilindungi.<br /><br /> <br /><br />C. KERANGKA BERPIKIR<br />Terminologi istilah perdangan orang (perdagangan perempuan) termasuk hal yang baru di Indonesia. Fenomena tentang perdagangan orang telah ada sejak tahun 1949 yaitu sejak ditandatangani Convention on Traffic in Person. Hal ini kemudian berkembang ketika banyak laporan tentang terjadinya tindakan perdagangan perempuan pada Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan dengan Convention on Elimination of All Form of Descrimination Agains Women CEDAW) dan telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang (No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk Deskriminasi terhadap Perempuan. Kemudian dipertegas dalam agenda Global Alliance Agains Traffic in Women (GAATW) di Thailand tahun 1994.<br />Mengenai pengertian perdagangan orang (human trafficking) banyak sekali pengertian yang diberikan para serjana maupun dalam UU itu sendiri. Perdagangan orang (human trafficking) adalah “the recruitment, transportation, harbouring, or receipt of people for the purposes of slavery, forced labor (including bonded labor or debt bondage) and servitude”. Sedagankan dalam UU No.21 tahun 2007, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.<br />PBB dalam siding umum tahun 1994 menyetujui resolusi menentang perdagangan perempuan dan anak perempuan, memberikan definisi sebagai berikut :<br /> “Permindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari Negara berkembang dan dari Negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindakan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan manusia seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrutan, perdagangan dan sindikat kejahatan”.<br />Definisi lain yang secara substansial lebih terperinci dan operasional dikeluarkan oleh PBB dalam protokol yaitu Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan anak-anak. Tambahan untuk konvensi PBB menentang Kejahatan Teroganisasi Transnasional tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang paling diterima secara umum dan digunakan secara luas. Pasal 3 protokol ini menyatakan sebagai berikut :<br />Perdagangan Manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi retan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki control atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktekpraktek yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.<br /><br /> Pengertian perdagangang orang dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang itu tidak jauh berbeda dengan pengertian dalam protokol yang dikeluarkan oleh PBB. <br />Masalah perdagangan orang erat hubungannya dengan apa yang namanya perlindungan dan korban. Dibawah ini akan di uraikan satu persatu mengenai hal itu.<br />Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak terlepas dari korban. Korban tidak saja dipahami sebagai objek dari suatu kejahatan, akan tetapi dipahami sebagai subjek yang perlu mendapat perlindungan baik secara sosial dan hukum. Pada dasarnya korban adalah orang, baik sebagai individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai sasaran dari kejahatan. <br />Adapun pengertian korban kejahatan berdasarkan deklarasi PBB dalam “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power 1985” pada angka 1 disebutkan bahwa korban kejahatan adalah: “Victims means person who, individually or collectively, heve suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member state, including those laws proscribing criminal abuse of power”. <br />Sejalan dengan pengertian di atas, (Arif Gosita, 1993) memberikan pengertian korban adalah : “Mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan3”.<br /><br />3 Farhana Mimin Mintarsih, UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN (TRAFFICKING) DI INDONESIA, hal 7.<br /><br /><br />Sedangkan (Muladi, 1992) mengatakan bahwa : “Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan4.”<br />Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat: Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak manapun. <br />Kata perlindungan merupakan upaya menempatkan seseorang diberikan kedudukan istimewa. Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik pleh masyarakat maupun pemerintah, seperti pemberian perlindungan/ pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia dan instrument penyeimbang. Hal inilah yang menjadi dasar filosofis dibalik pentingnya korban kejahatan (keluarga) dalam memperoleh perlindungan5.<br /><br /> <br />4 Sayrifuddin pettanasse, SH., MH, kebijakan criminal, korban dan kejahatan, agustus 2007,hal 67<br />5 ibid, hal 85.<br /><br /><br />Secara konstitusional Negara wajib menyelenggarakan perlindungan bagi warga negaranya. Sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.<br />Perlunya diberikan perlindungan hukum bagi korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and The treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985. Salah satu rekomendasinya yaitu bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan tidak hanya ditujukan bagi korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dalam memberikan perlindungan bagi korban, hal ini tidak lepas dari masalah keadilan dan hak asasi manusia, di mana banyak peristiwa yang ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, oleh karena itu perlu perhatian dari pemerintah secara serius, dan memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan dalam upaya menegakan hukum. <br /></div><p align="justify">Oleh karena itu perlindungan terhadap korban amat sangat penting karena manusia sebagai makhluk sosial baik perorangan maupun kelompok dapat menjadi korban. Dalam mewujudkan perlindungan terhadap korban kejahatan dapat melalui cara-cara seperti pemeberian restitusi dan kompensasi, konseling, pelayanan/ bantuan medis, bantuan hukum, pemberian informasi.</p><p align="justify"><br /></p><div align="justify">BAB II<br />PEMBAHASAN<br /><br />A. PELAKU KEJAHATAN PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)<br />Perdagangan orang (human trafficking) dalam prakteknya dijalankan oleh suatu kelompok tertentu yang terorganisir serta professional. Berikut adalah pelaku-pelaku yang biasa melakukan kejahatan perdagangan orang :<br />a. Para perantara pengerah tenaga kerja dan pengirim;<br />b. Teman, saudara, tetangga, dan orang tua yang mendorong atau yang memaksa kepada anak-anaknya untuk mencari pekerjaan diluar negeri;<br />c. Perantara internasional;<br />d. Negara yang gagal melindungi hak-hak warga negaranya;<br />e. Agen perjalanan;<br />f. Pejabat yang korupsi (pejabat yang terkait dengan pengiriman tenaga kerja, termasuk penegak hukumnya;<br />g. Sindikat tindak pidana yang terorganisasi;<br />h. Pencari pekerja dan pebisnis, termasuk pemilik klub dan yang memperkerjakan pekerja domestik;<br />i. Pelanggan (yang memanfaatkan orang yang diperdagangkan)<br />j. Mantan korban tindak pidana perdagangan orang.<br /></div><p align="justify">Dan beberapa yang terlibat di atas, ada pula orang-orang yang terlibat, namun tidak ada niat jahat. Misalnya, salah satu keluarga yang membantu mengirim orang ke luar negeri dengan niat yang tulus dengan harapan bahwa yang bersangkutan bisa bekerja dan memperoleh penghasilan. Juga nakhoda kapal yang mengirim orang dan tidak mengetahui bahwa orang tersebut diperdagangkan.</p><p align="justify">C. UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)<br />Melihat data yang ada diatas terlihat jelas bahwa perlindungan yang diberikan oleh pemerintah sebelum di undangkannya UU No. 21 tahun 2007 sangatlah buruk. Karena dari data yang ada sejak tahun 1993 sampai dengan 2002 banyak sekali kasus-kasus perdagangan orang yang tidak dapat di cegah bahkan sampai diselesaikan, karena aturan yang dipakai untuk menjerat pelaku kejahatan perdagangan orang yaitu pasal 297 KUHP cenderung tidak mampu menjerat para pelaku perdagangan orang (human trafickking), karena cakupannya terlalu sempit dan rancu.<br />Setelah lahirnya UU No.21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (PTPPO), pemerintah telah lebih memfokuskan diri untuk memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan orang. Sebagaimana yang termuat dalam BAB V tentang perlindungan saksi dan korban dari pasal 43 sampai dengan pasal 55, yang mana dalam pasal-pasal tersebut menguraikan tentang hak-hak dari korban dan juga model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban kejahatan perdagangan orang.<br />Pada dasarnya bentuk-bentuk atau model perlindungan terhadap korban kejahatan dapat juga diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang, untuk lebih mendalami bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan orang, maka terdapat beberapa bentuk atau model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu :<br />a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi<br />Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti rugi terkandung dua manfaat yaitu untuk memenuhi kerugian materil dan segala biaya yang telah dikeluatkan dan merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai suatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Menurut Gelaway yang merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian yaitu7: <br />1. meringankan penderitaan korban;<br />2. sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan;<br />3. sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana;<br />4. mempermudah proses peradilan;<br />5. dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam;<br />Pengertian restitusi menurut Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau immateril yang diderita korban atau ahli warisnya. Pembebanan Restitusi kepada pelaku adalah lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. <br /><br />7Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004<br />Di Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang hanya menjelaskan bahwa restitusi adalah hak korban atau ahli warisnya dan restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, tidak menentukan dan merumuskan secara tegas mengenai ukuran besar atau indikator jumlah restitusi dan layak tidaknya ganti rugi yang diberikan.<br />Selain restitusi, kompensasi dapat digunakan sebagai bentuk lain perlindungan korban tindak pidana sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara. Ganti kerugian oleh negara tersebut merupakan suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena negara bertanggung jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi masyarakatnya. Menurut Stephen Schafer, antara restitusi dan kompensasi memliki perbedaan tersebut di lihat dari sudut sifat dan juga siapa yang akan membayarnya8.<br />Rehabilitasi adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikhis.dan sosial.<br /><br /><br /><br /><br /><br />8Menurut Stephen Schafer, perbedaan antara restitusi dan kompensasi adalah restitusi lebih bersifat pidana yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku atau merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku, sedangkan kompensasi lebih bersifat keperdataan, yang timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara. <br /><br /><br /><br /><br />b. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis<br /><br />Pada umumnya perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai akibat dari tindak pidana perdagangan orang dapat bersifat fisik maupun psikis. Akibat yang bersifat psikis lebih lama untuk memulihkan daripada akibat yang bersifat fisik. Pengaruh akibat tindak pidana perdagangan orang dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Untuk sebagian korban pengaruh akibat itu tidak sampai mencapai situasi yang stabil dimana ingatan akan kejadian dapat diterima dengan satu cara atau cara lain. Bagi sejumlah korban pengaruh akibat itu tidak mendapat jalan keluar yang baik seperti tenggelam dalam penderitaan yang disebut Psikotrauma. Oleh karena itu diperlukan pendampingan atau konseling untuk membantu korban dalam rangka memulihkan kondisi psikologisnya seperti semula. Sebagai pendamping korban harus bisa mengusahakan agar dirinya tetap berpihak kepada korban dan tidak menghakiminya. Prinsip-prinsip dalam pendampingan korban harus benar-benar dikuasai pada saat mendampingi korban. Korban dalam keadaan trauma diperlukan seseorang yang dipercaya dan dapat menimbulkan rasa aman terhadap dirinya. Di beberapa negara bantuan yang berbentuk konseling disediakan oleh negara atau lembaga independen yang mempunyai kegiatan khusus dalam menangani korban kejahatan. Konseling bagi korban di Indonesia dikembangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).<br />Pelayanan medis diberikan kepada korban yang menderita secara akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan laporan tertulis atau visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti. Keterangan medis ini di perlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang dialaminya ke aparat kepolisian untuk ditindak lanjuti.<br />c. Bantuan Hukum<br /> Korban tindak pidana termasuk tindak pidana perdagangan orang hendaknya diberikan bantuan hukum Ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan kasusnya melalui jalur hukum, maka negara wajib menfasilitasinya. Negara dalam hal ini mewakili korban untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Lembaga Swadaya Masyarakat juga mempunyai peran dalam pendampingan hukum terhadap korban tindak pidana termasuk korban tindak pidana perdagangan orang. Hal ini disebabkan banyak dari korban yang tidak mengetahui hak-haknya dan langkah-langkah hukum apa saja yang bisa mereka tempuh untuk menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Prosedur pelaporan ke pihak POLRI kemudian bagaimana mendapatkan visum agar dapat dijadikan sebagai barang bukti serta langkah-langkah hukum lain yang tidak diketahui oleh korban karena tidak mempunyai pengetahui khusus untuk itu. Dengan demikian pemberian bantuan hukum terhadap korban diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban karena masih banyak korban yang rendah tingkat kesadaran hukum. Membiarkan korban tindak pidana tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat berakibat semakin terpuruknya kondisi korban tindak pidana termasuk tindak pidana perdagangan orang.<br /><br /><br />d. Pemberian Informasi<br /> Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami korban. Pemberian informasi ini memegang peranan dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. Salah satu uapaya yang dilakukan oleh kepolisia dalam memberikan informasi kepada korban atau keluarganya melalui web sites dibeberapa kantor kepolisian, baik yang sifatnya kebajikan maupun operasional.<br />Selain perlindungan yang dimaksud dalam UU No.21 tahun 2007, undang-undang tersebut juga memberikan hak-hak kepada korban kejahatan perdagangan orang yang berupa :<br />a. Hak kerahasiaan identitas korban tindak pidana perdagangan orang dan keluarganya sampai derajat kedua. (Pasal 44)<br /> Kerahasiaan identitas merupakan perlindungan keamanan pribadi korban dan ancaman fisik maupun psikologis dari oranglain . Dengan kerahasiaan identitas korban ini menghindari penggunaan identitas korban seperti tentang sejarah pribadi, pekerjaan sekarang dan masa lalu, sebagai alasan untuk menggugurkan tuntutan korban atau untuk memutuskan tidak dituntut para pelaku kejahatan. Selain itu juga kerahasiaan identitas dan sejarah korban tidak boleh menjadi catatan publik secara terbuka sehingga dapat mempersulit yang bersangkutan untuk melaksanakan dan memenuhi hak-haknya sebagai manusia, perempuan atau anak kecuali jika diizinkan identitasnya dipublikasikan oleh korban.<br />b. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya (Pasal 47)<br /><br />Perlindungan keamanan dari ancaman terhadap diri, jiwa dan/atau harta sangat diperlukan oleh korban, karena kerentanan korban yang diperlukan kesaksiannya, dapat diteror dan diintimidasi dan lain-lain telah membuat korban tidak berminat untuk melaporkan informasi penting yang diketahuinya. Jika perlu korban ditempatkan dalam suatu tempat yang dirahasiakan atau disebut rumah aman. Perlindungan terhadap korban diberikan baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.<br />c. Hak untuk mendapat restitusi (Pasal 48)<br />Setiap korban atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi berupa ganti kerugian atas 1) kehilangan kekayaan atau penghasilan, 2) penderitaan, 3) biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau 4) kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Kerugian lain dimaksud ketentuan ini adalah kehilangan harta milik; biaya transportasi dasar; biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pemberian restitusi dilaksanakan dilaksanakan dalam 14 hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal pemberian restitusi berupa ganti kerugian dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama satu tahun.<br />d. Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah. (Pasal 51)<br />Dalam penjelasan undang-undang tersebut bahwa rehabilitasi kesehatan maksudnya adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikhis. Rehabilitasi sosial maksudnya adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Reintegrasi sosial maksudnya adalah penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau penggantian keluarga yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Adapun hak atas pemulangan harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban benar-benar menginginkan pulang dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut. Pemerintah dalam ketentuan ini adalah instansi yang bertanggungjawab dalam bidang kesehatan, dan/atau penanggulangan masalah-masalah sosial dan dapat dilaksanakan secara bersama-sama antar penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat tinggal. Untuk mendapatkan hak memperoleh rehabilitasi dapay dimintakan oleh korban atau kuasa hukum dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada kepolisian<br /><br />e. Korban yang berada di luar negeri berhak dilindungi dan dipulangkan ke Indonesia atas biaya negara. (Pasal 54)<br />Korban yang berada di luar negeri akan diberikan bantuan untuk dipulangkan melalui perwakilan di luar negeri yaitu kedutaan besar, konsulat jenderal, kantor penghubung, kantor dagang atau semua kantor diplomatik atau kekonsuleran lainnya dengan biaya negara. Secara garis besar aturan-aturan tentang tindak pidana perdagangan orang sudah sesuai dengan kovensi yang sudah diratifikasi walaupun belum sempurna.</p><p align="justify"><br />BAB III<br />KESIMPULAN<br /><br /> Berdasarkan uraian diatas mengenai human trafficking (perdagangan orang) khususnya mengenai perlindungan korban kejahatan perdagangan orang bahwa :<br />Perdagangan orang bukan merupakan suatu kejahatan baru yang ada di Indonesia itu terlihat dari jumlah kasus yang terjadi di Indonesia mengenai kejahatan perdagangan orang yang jumlahnya hampir 30 kasus sejak tahun 1993 sampai dengan 2002 yang kemungkinan kasus lain yang sejenis masih ada walaupun tidak diketahui oleh masyarakat umum.<br />Faktor yang menyebabkan perdagangan perempuan terjadi dan berkembang adalah : ekologis, ekonomi, budaya dan penegakan hukum, dan berkembangnya atau meningkatnya tindak pidana perdagangan orang karena unsur-unsur pola serta jaringan kejahatan sehingga dapat menunjukkan bahwa system hukum tidak mampu untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut. <br />Upaya perlindungan korban terhadap perdagangan perempuan ada beberapa bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu pemberian restitusi, kompensasi, rehabilitasi, layanan konseling, bantuan hukum dan pemberian informasi.<br />Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan pengaturannya di dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang meliputi kerahasian identitas korban dan keluarganya, disediakan ruangan pelayanan khusus pada kantor kepolisian guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan, dibentuk pusat pelayanan terpadu. <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />http://www.legalitas.org/aspek-hukum-anti-perdagangan-manusia-human-trafficking<br /><br />http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking<br /><br />http://www.ajrc-aceh.org/file/Copy of Trafickking Perempuan dan anak jurnal_.pdf<br /><br />http://lfip.org/report/trafficking data in Indonesia_table_.pdf<br /><br />http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking<br /><br />Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang pemeberantasan tindak pidana perdagangan orang<br /><br />http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_tentang_Pemberantasan_Tindak_Pidana_Perdagangan_Orang<br /><br />Ariman, M. Rasyid, Pettanasse. Syarifuddin, dkk, kebijakan kriminal, UNSRI, Palembang 2007<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></p>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-85476860347049467052008-12-06T03:45:00.000-08:002008-12-07T09:51:02.411-08:00PERAN SERTA PEMERINTAH DALAM MEMBERIKAN JAMINAN KESEHATAN SERTA EFEKTIVITASNYA BAGI TENAGA KERJA INDONESIA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_DIYQatGp7_w/STpnCWl7p6I/AAAAAAAAABw/AbC7QsW-BVE/s1600-h/healthinsurancevu4.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 151px; height: 160px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_DIYQatGp7_w/STpnCWl7p6I/AAAAAAAAABw/AbC7QsW-BVE/s320/healthinsurancevu4.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5276643203540035490" /></a><br /><p align="center">oleh :</p><p align="center">oktarinaz maulidi</p><p align="center"></p><p align="justify">BAB I<br />PENDAHULUAN<br />A. LATAR BELAKANG<br />Apakah jaminan sosial itu, pertanyaan itulah yang sering muncul di dalam otak kita. Jaminan sosial sebagai suatu program pemerintah dalam mensejahterakan masyarakatnya, memiliki cakupan aspek yang sangat luas. Pengertian jaminan sosial mencakup apek hukum, aspek politik dan aspek ekonomi.<br />Dilihat dari aspek hukum pengertian jaminan sosial adalah berkaitan dengan tanggung jawab Negara untuk melaksanakan amanat pasal 5 (2), pasal 20, pasal 28H (1), (2), (3) dan pasal 34 (1) dan (2) UUD 1945 yaitu system perlindungan dasar bagi masyarakat terhdap resiko-resiko sosial ekonomi.<br />Dilihat dari aspek politik jaminan sosial adalah upaya pembentukan Negara kesejahteraan yang merupakan keinginan politik dari pemerintah.<br />Sedangkan dilihat dari aspek ekonomi jaminan sosial terkait dengan redestribusi pendapatan melalui mekanisme kepesertaan wajib dan implementasi uji kebutuhan untuk keadilan, sistem jaminan sosial diperlukan untuk ketahanan Negara dan sekaligus peningkatan daya beli masyarakat agar terwujud keamanan ekonomi dalam jangka waktu panjang.<br />Lain halnya pengertian jaminan sosial menurut ILO (1998), jaminan sosial adalah perlindungan masyarakat yang diberikan oleh masyarakat untuk masyarakat melalui seperangkat kebijaksanaan public terhadap tekanan-tekanan ekonomi sosial bahwa jika tidak diadakan system jaminan sosial akan menimbulkan hilangnya sebagian pendapatan akibat sakit, persalinan, kecelakaan kerja sementara tidak berkerja, cacat, hari tua, dan kematian dini, perawatan medis termasuk pemberian subsidi bagi anggota keluarga yang mebutuhkan.<br />Pengertian jaminan sosial menurut ILO tersebut diatas masih bersifat universal sehingga dalam implementasinya harus disesuaikan dengan berbagai pendekatan yang berlaku.<br />Dapat diketahui bahwa di Indonesia jaminan sosial merupakan salah satu usaha dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.<br />Secara umum jaminan sosial di Indonesia mempunyai sasaran populasi antara lain :<br />a. Lanjut usia dan pensiunan (bantuan social lanjut usia/ jompo, asuransi hari tua, pensiun)<br />b. Penderita cacat, dewasa dan anak-anak, cacat fisik/ mental/ social, cacat sebagian atau cacat sepenuhnya (rehabilitasi penderita cacat)<br />c. Yatim piatu, anak dan remaja terlantar (panti asuhan, asuhan keluarga, panti karya taruna)<br />d. Anak dan keluarga terlantar (pembinaan kesejahteraan anak dan keluarga)<br />e. Korban bencana alam (bantuan sosial korban bencana alam)<br />f. Pengemis, gelandangan dan orang terlantar (rehabilitasi social pengemis, gelandangan dan orang-orang terlantar)<br />g. Golongan-golongan masyarakat tertentu (pembinaan swadaya social masyarakat, pembinaan masyarakat terasing)<br />h. Tenaga kerja, pemerintah maupun swasta (asuransi kesehatan, TASPEN, asuransi tenaga kerja)<br />i. Anggota ABRI (asuransi ABRI)<br /><br /><br /><br />Yang menjadi dasar hukum bagi penyelengaraan jaminan sosial di Indonesia antara lain :<br />1. UUD 1945 antara lain pada :<br />a. Pasal 27 ayat 2 : tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan<br />b. Pasal 31 ayat 1 : tiap-tiap warga Negara berhak untuk mendapat pekerjaan<br />c. Pasal 33 ayat 3 : bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat<br />d. Pasal 34 : fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara<br />2. GBHN<br />3. UU no 6 tahun 1974 tentang kententuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial<br />a. Pasal 2 ayat 4 : jaminan sosial sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial adalah seluruh perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga Negara yang diselenggarakan oleh pemerintah dan / atau masyarakat guna memlihara taraf kesejahteraan sosial.<br />b. Pasal 4 ayat 1 b : pemeliharaan kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan suatu system jaminan sosial<br />c. Pasal 5 ayat 12 : pemerintah mengadakan usaha-usaha kearah terwujudnya dan terbinanya suatu sisitem jaminan sosial yang menyeluruh.<br />d. Pasal 9<br />e. Pasal 10 : usaha pengerahan dan penggunaannya bagi kegiatan kesejahteraan di dalam masyarakat.<br />Dalam makalah ini yang menjadi fokus pembahasan adalah mengenai jaminan sosial yang khususnya berhubungan dengan masalah asuransi kesehatan bagi tenaga kerja, dimana dalam makalah ini akan menjelaskan secara singkat mengenai asuransi kesehatan tenaga kerja.<br />Yang mana perlu sama-sama kita ketahui bahwa asuransi kesehatan bagi tenaga kerja itu sangatlah penting baik itu pegawai negeri maupun pegawai swasta dalam memberikan perlindungan terhadap keselamat jiwa mereka selama menjalani pekerjaan. Hal pertama yang perlu kita ketahui bersama sebelum kita membahas lebih mendalam mengenai asuransi kesehatan bagi tenaga kerja, alangkah baiknya kita mengetahaui sedikit apa yang dimaksud dengan asuransi itu sendiri.<br />Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa asuransi ialah jaminan atau perdagangan yang di berikan oleh penanggung (misalnya kantor asuransi) kepada yang bertanggung untuk risiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kecuriam, kerusakan dan sebagainya ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya, dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang di tentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.<br />Selain itu pengertian asuransi juga diketemukan dalam Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah (2004) mendefinisikan asuransi sebagai alat untuk menanggulangi risiko (nasabah) dengan cara menanggung bersama kerugian yang mungkin terjadi dengan pihak lain (perusahaan asuransi).<br />Mengenai pengertian asuransi kesehatan banyak sekali pengertian yang diberikan tentang asuransi kesehatan. Salah satunya adalah sebagai berikut. “Asuransi kesehatan adalah sebuah jenis produk asuransi yang secara khusus menjamin biaya kesehatan atau perawatan para anggota asuransi tersebut jika mereka jatuh sakit atau mengalami kecelakaan. Secara garis besar ada dua jenis perawatan yang ditawarkan perusahaan-perusahaan. asuransi, yaitu rawat inap (in-patient treatment) dan rawat jalan (out-patient treatment)”.<br /><br /><br />B. PERMASALAHAN<br />Dalam prakteknya di Indonesia asuransi menjadi suatu yang amat sangant penting dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat Indonesia dari berbagai bentuk risiko yang mungkin timbul dalam kehidupanya sehari-hari. Namun yang perlu kita ketahui bersama apakah semua warga Indonesia telah amat sangat peduli dengan asuransi sebagai perlindungan terhadap bentuk risiko yang mungki timbul dari apa yang ia lakukan sehari-hari dan juga perlu kita ketahui seberapa besar peran pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap warga sebagai bentuk dari social defence.<br />Yang menjadi permasalahan sekarang adalah seberapa efektifkah asuransi kesehatan dalam memnberikan perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia baik pemerintah maupun swasta dari berbagai bentuk risiko yang mungikn timbul dari pekerjaannya dan seberapa besar peran pemerintah dalam meberikan perlindungan terhadap pekerja di Indonesia.<br /><br />BAB II<br />PEMBAHASAN<br /> <br />A. PENGERTIAN<br /> Asuransi kesehatan adalah sebuah jenis produk asuransi yang secara khusus menjamin biaya kesehatan atau perawatan para anggota asuransi tersebut jika mereka jatuh sakit atau mengalami kecelakaan. Secara garis besar ada dua jenis perawatan yang ditawarkan perusahaan-perusahaan asuransi, yaitu rawat inap (in-patient treatment) dan rawat jalan (out-patient treatment).<br />Dalam prakteknya asuransi terbagi dalam berbagai bentuk yaitu :<br />a. Pertama Asuransi Kerugian, asuransi jenis ini mencakup bidang-bidang seperti, kebakaran, kecelakaan diri, kekayaan, kredit, ekspor, pengangkutan dan lain-lain. Besarnya premi tergantung pada besarnya ganti rugi yang harus dibayar dan tingginya risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan asuransi. Semakin besar ganti rugi dan semakin tinggi risiko yang harus ditanggung akan semakin tinggi pula premi yang harus dibayar oleh nasabah.<br /><br />b. Kedua Asuransi Jiwa, terdapat dua macam asuransi yang tercakup dalam asuransi jiwa, yaitu asuransi jiwa dan asuransi pensiun. Terdapat tiga macam asuransi jiwa yaitu asuransi jiwa berdasarkan kontrak (term insurance), asuransi jiwa dengan tabungan (endowment insurance), dan asuransi jiwa seumur hidup (whole lift insurance). Untuk asuransi jiwa berdasarkan kontrak, perjanjian asuransi berlaku unruk jangka waktu tertentu, selama jangka waktu tersebut nasabah harus membayar premi kepada perusahaan asuransi. Jika pada jangka waktu yang disepakati nasabah meninggal dunia, ahli waris nasabah akan mendapatkan ganti rugi. Akan tetapi jika pada jangka waktu kontrak nasabah masih hidup, perusahaan asuransi tidak berkewajiban mengembalikan premi yang telah dibayarkan nasabah. Asuransi jiwa dengan tabungan hampir sama dengan asuransi kontrak, hanya saja pada asuransi jiwa dengan tabungan, jika nasabah tidak meninggal dunia setelah waktu kontrak habis, nasabah akan mendapatkan santunan. Pada asuransi jiwa seumur hidup, ahli waris nasabah akan memperoleh santunan jika nasabah meninggal dunia. Dari ketiga jenis asuransi jiwa, premi yang paling tinggi adalah pada asuransi jiwa seumur hidup. Asuransi pensiun biasanya dibeli secara kolektif oleh perusahaan swasta atau pemerintah. Premi biasanya dibayar setiap bulan, dan jika nasabah mencapai usia pensiun akan mendapatkan santunan dari perusahaan asuransi (santunan bisa dibayarkan sekali atau setiap bulan).<br /><br />c. Ketiga Asuransi Sosial, atau Asuransi Pemerinrah, adalah jenis asuransi di mana perusahaan asuransi menanggung berbagai risiko yang mungkin timbul di masyarakat. Karena besarnya risiko yang harus ditanggung perusahaan asuransi, maka tidak ada perusahaan swasta yang mau menyediakan asuransi jenis ini kepada masyarakat. Jenis asuransi sosial yang sudah berlaku di masyarakat mdiputi : Asumnsi Kecelakaan Lalu Lintas (P.T. A. K. Jasa Raharja); Asuransi Tenaga Kerja (P.T. Astek); Asumnsi Kesehatan (P.T. Askes); Asuransi Pensiunan TN! (Perum ASABRI).<br /> Dalam berbagai macam bentuk asuransi yang ada asuransi kesehatan bagi tenaga kerja baik pemerintah maupun swasta merupakan bentuk dari asuransi sosial. Dalam praktek penyelenggaraanya Produk asuransi kesehatan diselenggarakan baik oleh perusahaan asuransi sosial, perusahaan asuransi jiwa, maupun juga perusahaan asuransi umum. Di Indonesia program asuransi kesehatan diselenggarakan oleh PT Askes Indonesia, dimana PT Askes Indonesia merupakan salah satu perusahaan asuransi sosial yang menyelenggarakan asuransi kesehatan kepada para anggotanya yang utamanya merupakan para pegawai negeri baik sipil maupun non-sipil. Anak-anak mereka juga dijamin sampai dengan usia 21 tahun. Para pensiunan beserta istri ataupun suami juga dijamin seumur hidup. Bagi pekerja swasta program asuransi diselenggrakan oleh PT jamsostek dengan mana salah satu programnya adalah JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN. JPK adalah salah satu program Jamsostek yang membantu tenaga kerja dan keluarganya mengatasi masalah kesehatan. Mulai dari pencegahan, pelayanan di klinik kesehatan, rumah sakit, kebutuhan alat bantu peningkatan pengetahuan, dan pengobatan, secara efektif dan efisien. Setiap tenaga kerja yang telah mengikuti program JPK akan diberikan KPK (Kartu Pemeliharaan Kesehatan) sebagai bukti diri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.<br /> <br />B. PERANAN PEMERINTAH DALAM MEMBERIKAN JAMINAN KESEHATAN BAGI TENAGA KERJA INDONESIA<br /> Menurut studi ILO (2003), hanya sekitar 15% penduduk Indonesia menjadi anggota salah satu asuransi kesehatan (baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun sektor swasta). Di Indonesia terdapat tiga kategori utama asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, yaitu: (1) asuransi kesehatan untuk PNS dan anggota ABRI (Askes); (2) asuransi kesehatan untuk pekerja perusahaan swasta(Jamsostek); dan (3) dana kesehatan masyarakat dan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). <br /><br /><br />PROGRAM ASURANSI KESEHATAN ASKES<br /> Asuransi kesehatan yang merupakan program pemeliharan kesahatan pegawai negeri diatur pertama kali dengan Keppres no. 230 tahun 1968. Selanjutnya dirubah dengan keppres No.13 tahun 1981, yang kemudian diatur kembali dengan PP no. 22 tahun 1984.<br />Separuh dari penduduk Indonesia pemegang asuransi kesehatan (sekitar 7% dari total penduduk) mendapatkan asuransi melalui PT Askes, sebuah BUMN yang mengelola asuransi kesehatan untuk PNS, pensiunan PNS, anggota ABRI, dan keluarga mereka Program Askes dibiayai melalui potongan gaji sebesar 2% dari gaji pokok mereka dan pembayaran klaim dibuat berdasarkan sistem anggaran kapitasi6 dan paket benefit yang konsisten dengan sistem Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).Pelayanan kesehatan diberikan melalui sebuah kelompok Organisasi Pemeliharaan Kesehatan7 (Health Maintenance Organization atau HMO) yang dirancang untuk memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Program asuransi kesehatan pegawai negeri ini merupakan asuransi sosial yang bersifat wajib. Penetapan iuran sebesar 2,00 % ini berdasarkan keppres no. 8 tahun 1977. Adapun sebagai peserta maka yang bersangkutan dengan anggota keluarganya mempunyai hak mendapat pemeliharaan kesehatan dan /atau penggantian biaya untuk pemeliharaan kesehatan yang meliputi.<br />a. Pengobatan/ perawatan/ imunisasi<br />1. Dokter/ dokter gigi / dokter spesialis<br />2. Dokter praktek, puskesmas atau rumah sakit.<br />b. Obat-obatan<br />c. Pemerikasaan laboratorium dan pemeriksaan lainnya dalam rangka diagnose<br />d. Tindakan darurat dan tindakan lainnya untuk memperoleh penyembuhan<br />e. Perotolongan atau perawatan persalinan<br />f. Alat-alat perawatan yang dapat memulihkan kesehatan menurut saran dokter<br />g. Pembelian kacamata yang sangat diperlukan untuk kesehatan menurut saran dokter<br />h. Prothase gigi dan prothse lainnya<br />i. Keluarga berencana, kesegaran jasmani dan kegiatan lainnya untuk penyembuhan.<br />Walaupun demikian, PT Askes sendiri menganggap bahwa premi senilai 2% dari gaji pokok PNS masih terlalu kecil untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan berkualitas tinggi bagi peserta program Askes. Rumah sakit dan klinik yang mempunyai kontrak kerja sama dengan PT Askes sebagai pelayan jasa Askes harus menanggung biaya pelayanan kesehatan cukup besar, karena program Askes hanya membayar sebagian kecil dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh mereka. Bahkan subsidi dari pemerintah untuk rumah sakit dan klinik masih tidak mencukupi untuk membayar seluruh biaya yang harus dikeluarkan oleh mereka. Karena itu, kualitas pelayanan yang tersedia untuk peserta program Askes dianggap masih kurang baik. Contohnya, sebagian besar PNS golongan rendah menerima kelas pelayanan paling rendah di rumah sakit (kelas 1D), di samping itu juga cukup sulit bagi mereka untuk mendapat pelayanan rujukan yang memadai (Perwira et al.).<br /><br /><br /><br />PROGRAM ASURANSI KESEHATAN JAMSOSTEK<br /> Pemeliharaan kesehatan adalah hak tenaga kerja.<br />JPK adalah salah satu program Jamsostek yang membantu tenaga kerja dan keluarganya mengatasi masalah kesehatan. Mulai dari pencegahan, pelayanan di klinik kesehatan, rumah sakit, kebutuhan alat bantu peningkatan pengetahuan, dan pengobatan, secara efektif dan efisien. Setiap tenaga kerja yang telah mengikuti program JPK akan diberikan KPK ( Kartu Pemeliharaan Kesehatan ) sebagai bukti diri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. <br />Manfaat JPK bagi perusahaan yakni perusahaan dapat memiliki tenaga kerja yang sehat, dapat konsentrasi dalam bekerja sehingga lebih produktif. <br />Jenis pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh melalui program JPK: <br /><br />a. Pelayanan dari dokter umum dan dokter gigi.<br />Dokter umum dan dokter gigi bisa anda pilih sendiri sesuai dengan fasilitas yang ditunjuk sebagai dokter keluarga. <br />b. Obat-obatan dan penunjang Diagnostik.<br />Obat-obatan diberikan sesuai kebutuhan medis, dengan standar obat JPK JAMSOSTEK dan penunjang diagnostik sesuai ketentuan. <br />c. Pelayanan Kesejahteraan ibu dan anak.<br />Berupa pelayanan imunisasi dasar (BCG, DPT, Polio), pelayanan KB (IUD,vasektomi, tubektomi, suntik.) <br />d. Pelayanan Dokter Spesialis.<br />Untuk ke Dokter Spesialis, anda harus membawa surat rujukan dari dokter PPK tingkat I yang ditunjuk. <br /><br />e. Rawat Inap.<br />Bila diperlukan rawat inap, JPK menyediakan fasilitas rumah sakit yang telah ditunjuk. Dilayani pada kelas II RS Pemerintah atau kelas III RS Swasta. Rawat Inap diberikan selama 60 hari dalam satu tahun, termasuk 20 hari pelayanan pada ICU/ICCU. <br />f. Pelayanan Persalinan.<br />Berlaku untuk pelayanan persalinan pertama sampai persalinan ketiga saja, bagi tenaga kerja berkeluarga, JPK memberikan bantuan biaya persalinan sebesar maksimum Rp.400.000,00 per anak. <br /><br />g. Pelayanan Gawat Darurat.<br />Untuk mendapatkan pelayanan ini melalui fasilitas yang ditunjuk JPK JAMSOSTEK langsung, tanpa surat rujukan.<br /><br /> Pelayanan Khusus hanya diberikan kepada Tenaga Kerja dan diperoleh melalui rujukan<br />1. Penggantian Kacamata.<br />Untuk mendapat penggantian kacamata (kaca dan bingkai) maksimal sebesar Rp. 150.000,00. <br />2. Penggantian Gigi Palsu.<br />Untuk mendapat penggantian gigi palsu (yang bisa dipasang/dilepas) dengan bahan acrylic, maksimum sebesar Rp. 250.000,00. <br />3. Penggunaan Mata Palsu dan Alat Bantu Dengar.<br />Untuk penggunaan mata palsu dan alat bantu dengar, masing-masing memperoleh penggantian maksimum sebesar Rp. 300.000,00. <br />4. Penggunaan Alat Bantu Tangan & Kaki.<br />Untuk penggunaan alat bantu tangan memperoleh penggantian maksimum sebesar Rp. 350.000,00 dan penggunaan alat bantu kaki memperoleh penggantian maksimum sebesar Rp. 500.000,00.<br /><br /> Sekitar 1,3% penduduk Indonesia menerima asuransi kesehatan mereka dari sebuah program jaminan kesehatan yang dikelola oleh PT Jamsostek, sebuah BUMN yang mengelola program jaminan sosial untuk pekerja swasta di sektor formal. Premium untuk program ini adalah 3% untuk pekerja yang belum menikah dan 6% untuk pekerja yang sudah menikah. Seluruh premi program ini ditanggung oleh perusahaan. Manfaat program diberikan untuk pekerja, suami/isteri , dan anak-anak mereka (hingga anak ke tiga). Pada tahun 2000, hanya 2,7 juta penduduk Indonesia menjadi anggota jaminan kesehatan PT Jamsostek. Jumlah ini sangat sedikit dibanding dengan potensi program ini, karena semula diperkirakan setelah pengesahan UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Nasional, akan terdapat sekitar 100 juta pekerja dan keluarganya yang akan menjadi peserta program ini (ILO, 207). <br />Salah satu penyebab rendahnya jumlah peserta program jaminan kesehatan PT Jamsostek adalah adanya sebuah peraturan yang memperbolehkan perusahaan untuk mengikuti program jaminan kesehatan yang diadakan oleh sektor swasta apabila program yang diikuti tersebut memberikan manfaat yang lebih besar daripada manfaat program jaminan kesehatan Jamsostek. Karena itu, perusahaan besar pada umumnya tidak bersedia mengikuti program Jamsostek. Kebanyakan peserta program Jamsostek adalah perusahaan kecil dengan jumlah pekerja kurang dari 79 orang. Selain ini, banyak perusahaan menolak membayar premi Jamsostek dan banyak pula perusahaan mengikuti program tersebut tetapi tidak mendaftarkan seluruh pekerja di perusahaan mereka ke dalam program Jamsostek (ILO, 207).<br /> PT Jamsostek mengontrakkan pelayanan kesehatan untuk para peserta program jaminan kesehatannya ke pihak ke tiga yang disebut sebagai “organisasi pelayan kesehatan” (main providers). Organisasi tersebut kebanyakan adalah pelayanan jasa JPKM (bapel) yang merupakan perusahaan asuransi, bukan pelayan jasa kesehatan. Pembayaran PT Jamsostek kepada pemberi jasa kesehatan (rumah sakit, dokter dan bidan) tidak diberikan langsung kepada mereka, tetapi dibayarkan melalui organisasi pelayan kesehatan dengan sistem kapitasi. Karena itu inefisiensi dan biaya pelayanan kesehatan yang tinggi tidak dapat dihindarkan karena organisasi pelayan kesehatan tersebut akan mengambil sebagian dari pembayaran PT Jamsostek sebagai keuntungan bagi mereka dan tidak diberikan untuk pelayanan kesehatan. Selain itu, karena kebanyakan organisasi pelayan kesehatan tersebut tidak mengelola pelayanan jasa kesehatan mereka sendiri, maka kebanyakan mereka mensubkontrakkan pelayanan tersebut kepada pemberi jasa kesehatan yang sebenarnya. Akibatnya, biaya administrasi menjadi lebih tinggi. Diperkirakan sekitar 40% iuran program kesehatan Jamsostek habis dipergunakan untuk membayar berbagai biaya administrasi, sehingga hanya sebagian kecil iuran peserta program yang sebenarnya dipergunakan untuk pelayanan kesehatan. Selain itu, juga tidak terdapat prosedur standar yang jelas ketika menyeleksi organisasi pelayan kesehatan oleh kantor PT Jamsostek. Hal ini dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat PT Jamsostek yang dapat melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam penyeleksian organisasi pelayan kesehatan (ILO, 208-209). Karena sebagian besar pemberi jasa kesehatan di Indonesia masih menggunakan sistem pembayaran tunai sesuai dengan biaya yang dikeluarkan (fee-for-service), sementara sistem pembayaran secara kapitasi masih jarang dipergunakan, maka kebanyakan pemberi jasa kesehatan (baik rumah sakit maupun dokter) kurang berminat menandatangani kontrak kerja dengan PT Jamsostek, dan karena itu mereka tidak melayani peserta program Jamsostek. Tidak mengherankan jika manfaat program kesehatan Jamsostek sebenarnya relatif kecil karena pilihan pelayan kesehatan untuk peserta program tersebut cukup terbatas. Manfaat program juga dibatasi oleh jenis pelayanan kesehatan yang dapat ditanggung oleh program ini. Pelayanan rumah sakit dibatasi untuk jangka waktu 60 hari, sementara pelayanan intensif di ruang ICU dibatasi hanya 20 hari. Program ini tidak mengganti sebagian besar pelayanan kesehatan untuk penyakit katastropik seperti gagal ginjal, kanker, jantung, penyakit kelamin, kecanduan minuman keras dan narkoba, transplantasi organ tubuh, dan berbagai jenis pelayanan yang dilakukan oleh pemberi jasa kesehatan yang tidak menandatangani kontrak kerja dengan PT Jamsostek (ILO, 209, 211). <br />Dapat disimpulkan bahwa jaminan kesehatan PT Jamsostek masih kurang berhasil dalam mencapai tujuannya untuk melayani seluruh pekerja swasta di Indonesia. Karena jumlah pemberi jasa kesehatan yang mau mengikuti program ini cukup terbatas, terbatasnya manfaat program, dan besarnya biaya administrasi program tersebut, maka sebagian besar perusahaan dan pekerja memutuskan untuk tidak mengikuti program jaminan kesehatan PT Jamsostek dan memutuskan untuk mengikuti program asuransi kesehatan lainnya yang dinilai dapat memberikan manfaat lebih baik.<br /><br />C. EFEKTIFITAS ASURANSI KESEHATAN DALAM MEMBERIKAN JAMINAN SOSIAL KEPADA TENAGA KERJA<br /><br />Saat ini Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan usaha pemerintah yang cukup besar untuk memberikan jaminan asuransi kesehatan ke seluruh penduduk Indonesia, sesuatu yang belum pernah dilakukan di Indonesia sebelumnya. Karena sebelumnya peranan pemerintah Indonesia dalam sektor kesehatan relatif minim, dilihat dari kecilnya anggaran pemerintah untuk sektor kesehatan (hanya senilai 0,6% dari Produk Domestik Bruto Indonesia pada tahun 2000) (UNDP), maka program JKN merupakan sebuah program yang jauh lebih luas yang dilakukan oleh pemerintah di sektor kesehatan dalam sejarah Indonesia.<br />Walaupun pemerintah perlu dipuji dalam usahanya untuk mengadakan program tersebut, ada beberapa pertanyaan terhadap rencana program JKN tersebut. Pertama, banyak pihak mempertanyakan seperti apakah pembiayaan program ini nantinya dan apakah manfaat program ini akan cukup untuk membayar kewajiban pemerintah untuk peserta, dibandingkan dengan jumlah iuran yang harus dibayar peserta untuk mendapatkan manfaat program tersebut. Jumlah iuran program senilai 6% dari gaji pokok peserta dipandang cukup tinggi, terutama bila dibandingkan dengan negaranegara Asia Timur lain yang telah mengadakan program serupa dalam beberapa tahun terakhir, misalnya Korea Selatan dan Thailand.20 Iuran ini dapat menimbulkan beban keuangan cukup besar bagi pekerja sektor formal dan perusahaan yang mempekerjakan mereka. Hal ini akan dapat menurunkan jumlah gaji bersih yang diterima pekerja, karena perusahaan akan mengambil sebagian dari gaji pokok pekerja untuk membayar iuran. Juga menjadi pertanyaan apakah sepertiga dari seluruh pekerja Indonesia yang bekerja di sektor formal akan dapat mensubsidi iuran pekerja sektor informal secara keseluruhan, karena jumlah pekerja informal di Indonesia diperkirakan mencapai dua pertiga dari seluruh pekerja Indonesia.<br />Jenis-jenis pelayanan kesehatan yang akan dimasukkan sebagai pelayanan kesehatan yang akan dibayar oleh program Jamsosnas juga masih kurang jelas. Pemerintah telah mengindikasikan bahwa tidak semua pelayanan kesehatan akan dibayar penuh oleh program JKN dan untuk membayar penuh pelayanan tersebut, peserta harus mengambil asuransi kesehatan swasta atau membayarnya sendiri (GOI,”Academic Paper” 37). Namun, baik draft RUU Jamsosnas dan naskah akademis RUU tersebut tidak merinci pelayanan apa saja yang akan dibayar oleh program JKN dan pelayanan apa saja yang tidak akan dibayar. Ada dugaan bahwa pelayanan yang akan dibayar penuh oleh program JKN hanyalah pelayanan yang termasuk dalam daftar pelayanan kesehatan dasar yang dibuat oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO), sehingga jenis pelayanan kesehatan yang akan dibayar penuh oleh program JKN akan menjadi cukup terbatas dan banyak perawatan kesehatan yang lebih baru dan modern tidak akan dibayar oleh program JKN. Di negara lain, program JKN umumnya dapat membayar seluruh jenis pelayanan kesehatan secara penuh, baik pelayanan dasar maupun pelayanan tambahan. Karena itu, perlu dipertanyakan apakah program JKN akan benar-benar memberi nilai tambah kepada peserta program tersebut, karena jumlah iuran program ini dinilai cukup tinggi, namun manfaat yang diberikan oleh program ini kepada pesertanya relatif sedikit. Sebuah perhitungan (Bird) menunjukkan bahwa manfaat rata-rata program JKN untuk peserta hanya berjumlah sekitar Rp 188.000 per peserta (dengan asumsi hanya pekerja sektor formal saja yang menjadi peserta program ini), dan apabila program ini diperluas ke seluruh penduduk Indonesia tanpa memungut iuran dari pekerja sektor informal (karena iuran mereka disubsidi oleh APBN), maka manfaat rata-rata program JKN untuk setiap peserta hanya sekitar Rp 52.000, sebuah manfaat yang jauh tidak memadai untuk membayar pengeluaran kesehatan peserta program JKN.<br />Juga menjadi pertanyaan apakah jumlah iuran program yang diusulkan pada saat ini(yaitu 6% untuk pekerja sektor formal) akan memenuhi seluruh biaya pelayanan kesehatan di Indonesia pada masa mendatang, terutama karena diprediksikan bahwa penduduk Indonesia akan menua dengan cukup drastis dalam beberapa dekade mendatang. Karena penduduk berusia lanjut cenderung mengeluarkan biaya pelayanan kesehatan lebih besar daripada penduduk berusia muda, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai pelayanan cukup baik untuk penduduk usia lanjut di Indonesia akan juga ikut meningkat. Maka diragukan apakah jumlah iuran program JKN yang ada sekarang akan cukup untuk membayar seluruh biaya pelayanan kesehatan di Indonesia dalam beberapa dekade mendatang. Karena itu, iuran program JKN kemungkinan akan terus dinaikkan, dengan demikian otomatis akan meningkatkan beban pekerja dan perusahaan, dan kemungkinan akan juga membuat ekonomi Indonesia yang sudah menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan negara tetangga kita karena banyaknya jumlah pajak dan pungutan (baik resmi maupun tidak resmi) menjadi lebih kurang kompetitif lagi. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />KESIMPULAN<br /><br />KESIMPULAN<br /> Setelah melihat penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran serta pemerintah dalam memberikan jaminan sosial terhadap masyarakat khususnya mengenai jaminan kesehatan sudah sangat optimal. Hal tersebut dapat kita lihat dalam program-program pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan terhadap tenaga kerja, seperti jaminan kesehatan ASKES bagi pegawai negeri sedangkan bagi tenaga kerja swasta melalui program jaminan kesehatan JAMSOSTEK.<br />Namun dari kedua program pemerintah tersebut masih sangat banyak kekerunganya dalam memberikan perlindangan kepada tenaga kerja dalam hal pemeberian jaminan kesehatan. Hal tersebut dikarenakan besar premi yang harus ditanggung oleh tenaga kerja untuk kedua jenis asuransi tersebut sangatlah membebani tenaga kerja, karena untuk preminya tenaga kerja harus rela di potong gajinya sesuai dengan ketentuan yang diterpakan oleh kedua asuransi sosial tersebut.<br />Hal lain yang juga masih menjadi masalah adalah pelayanan kesehatan yang akan dibayar oleh program asuransi diatas juga masih kurang jelas. Sehingga tenaga kerja yang memgikut sertakan diirinya serta keluarganya dalam asuransi kesehatan tersebut kemungkinan tidak mendapat pelayanan kesehatan yang memadai seperti apa yang mereka harapkan dari pelayanan asuransi kesehatan tersebut.<br /><br /><br /> <br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br />http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi_kesehatan<br /><br />http://www.jamsostek.co.id/ jaminan pemeliharan kesehatan <br /><br />http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/08/asuransi-bagi-tenaga-kerja-indonesia.html<br /><br />http://nando007.ebooktops.com/mengurangi-premi-asuransi.html<br /><br />Alex afrianto, Reformasi Sistem Jaminan Sosial di Indonesia: Sebuah Analisis Atas Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional (RUU Jamsosnas), September 2004, hal 6,7 dan 24.<br /><br />http://home/umum/html<br /><br />Zulkarnain Ibrahim S.H., M.Hum, hukum jaminan sosial (suatu pengantar), fakultas hukum, universitas Sriwijaya, 2003<br /><br />Drs.Soekamto, Prof. Dr.Hasbullah Thabrany, Ph.D dan kawan, Reformasi Sistem Jaminan Sosial di Indonesia (UU no 40 tahun 2004 tentang system jaminan sosial nasional pasca putusan Mahkamah konstitusi RI), hal 49.<br /><br /><br /></p>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-10168465136105631222008-12-06T03:39:00.001-08:002008-12-06T03:39:59.373-08:00PENJELASAN MENGENAI HAMHAM adalah hak-hak yang seharusnya diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodratnya sebagai manusia. Adapun pembatasan terhadap HAM tersebut dapat dibagi menjadi :<br />1. universal : tanpa melihat perbedaan suku, agama, ras, kepercayaan, usia, latar belakang, jenis kelamin, warna kulit. <br />2. Melekat (inherent) : hak tersebut bukan hasil pemberian kekuasaan/ orang lain. <br />Adapun ruang lingkup dari HAM adalah : <br /><br />a. Larangan Diskriminasi<br /> Prinsip non diskriminasi adalah suatu konsep sentral dalam kaidah hak asasi manusia. Prinsip tersebut dapat diketemukan dalam instrumen umum hak asasi manusia. Komite Hak Asasi Manusia telah menyatakan bahwa dengan mengacu pada persamaan jenis kelamin Kovenan International mengenai hak sipil dan politik tidak hanya memerlukan perlindungan tetapi juga memerlukan tindakan penguat yang dimaksudkan untuk menjamin perolehan positif hak-hak yang sama.<br /><br />b. Hak atas Penghidupan, Kemerdekaan, dan Keselamatan seseorang. <br /> Hak atas penghidupan dalam instrumen tidak dijamin sebagai hak mutlak. Misalnya, menurut Konvensi Eropa, pencabutan nyawa tidak bertentangan dengan hak atas penghidupan, apabila pencabutan ini diakibatkan oleh tindakan tertentu yang sudah ditetapkan. Dalam beberapa instrumen, laran gan hukuman mati dimuat dalam sebuah Protokol tersendiri. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi Amerika keduanya membatasi hukuman mati pada "kejahatan yang paling berat," keduanya mengatur bahwa hukuman mati harus hanya boleh dikenakan dengan suatu "keputusan final suatu pengadilan yang berwenang" sesuai dengan undang-undang yang tidak retroaktif. Kedua perjanjian internasional ini memberikan hak untuk mencari "pengampunan atau keringanan hukuman" dan melarang pengenaan hukuman mati pada orang di bawah usia delapan belas tahun pada saat melakukan kejahatan, dan melarang eksekusinya pada wanita hamil. Konvensi Eropa mensyaratkan hukuman mati dikenakan oleh suatu pengadilan, sesudah memperoleh keyakinan mengenai suatu kejahatan yang karena keputusannya ditetapkan oleh undang-undang.<br /><br />c. Larangan .penganiayaan<br /> Semua instrumen umum melarang penganiayaan atau perlakuan secara kejam deng an tak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan. Konvensi melawan penganiayaan atau perlakuan secara kejam dengan tak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan ini disetujui pada tahun 1984 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konvensi tersebut menetapkan bahwa Negara berkewajiban mengekstradisi pelaku penganiayaan dan menuntutnya. Prinsip ini melibatkan yurisdiksi universal yang berarti bahwa setiap negara mempunyai yurisdiksi dan memiliki hak untuk mengekstradiksi atau menuntut pelaku penganiayaan tanpa dibatasi oleh kewarganegaraan pelaku penganiayaan atau tempat pelanggaran yang dituduhkan.<br /><br />d. Hak Persamaan di Muka Hukum.<br /> Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu klausul nondiskriminasi. Ada tiga aspek yang dicakup oleh ketentuan ini. Aspek pertama adalah persamaan di muka hukum. Aspek kedua yaitu perlindungan hukum yang sama, dan aspek ketiga adalah perlindungan dari diskriminasi.<br /><br /><br /><br />e. Hak Kebebasan Bergerak dan Berdiam<br /> Dalam perjanjian-perjanjian internasional hak-hak asasi manusia umum, hak kebebasan bergerak dan berdiam mencakup kebebasan memilih tempat tinggal dalam suatu Negara, kebebasan meninggalkan dan memasuki negerinya sendiri, hak untuk tidak dikeluarkan dari suatu negeri tanpa diberi kesempatan untuk menyanggah keputusan tersebut, dan bebas dari pengasingan.<br /><br />f. Hak atas Kebebasan Pikiran, Hati Nurani, dan Agama<br /> Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan politik menyatakan bahwa perwujudan agama dan kepercayaan seseorang boleh dijadikan sasaran pembatasan seperti itu hanya karena ditentukan oleh undang-undang dan diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, atau moral umum, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.<br /><br />Hubungan antara HAM dengan konsep Negara hukum<br />Negara hukum (the rule of law) lahir pada zaman Paus VII and Henriech IV th 1122, dimana kekuasaan raja/ gereja sebelumnya bersifat mutlak, perintahnya mengingkat kepada orang lain namun tidak pernah mengikat raja tersebut dimana kekuasaan semacam ini dikenal sebagai (the rule of man — titah). Jadi dengan lahirnya konsep the rule of law maka segala hukum yang lahir dari konsep kesepakatan ditempatkan pada posisi paling tinggi, yang pada akhirnya mendorong lahirnya “magna charta” yang isinya membatasi kekuasaan raja dan menghormati hak-hak warga kota (citizen). Jadi dalam suatu negara yang menerapkan konsep the rule of law, maka jaminan akan dihormatinya HAM lebih mudah diwujudkan.<br /><br /><br /><br /><br /><br />B. SEJARAH HAM INTERNASIONAL<br />Di Inggris 1215 ; Magna Charta ; membatasi kekuasaan raja2 (raja John). Setelah PD I : Perjanjian negara-negara Eropa untuk melindungi kelompok minoritas dan harus dituangkan ke dalam uu Negara tersebut.<br />Abad 19 :<br />• Penghapusan perdagangan budak dan perlindungan hak buruh samapi lahirnya konvensi LBB untuk menghapus Perbudakan dan Perdagangan Budak). <br />• Pendirian ILO <br />• Pendirian ICRC Lahirnya Konvensi Genewa 1864 tentang perlindungan korban perang dan batas-batas cara dan pemakaian mesin perang. <br />• Lahirnya Konvensi Den Hag tentang pelarangan penggunaan gas beracun, senjata kimia <br />• Lahirnya Declaration of the Rights of Man and of citizens, AS 1776 diikuti Belanda 1798, Swedia 1709, Norwegia 1814, belgia 1831, Spanyol 1812 dsb.<br />Setelah Perang Dunia II<br />• Lahir Konvensi Genewa 1949 tentang Hukum Humaniter <br />• 1977 lahir Konvensi Genewa tentang gabungan antara konvensi genewa tentang perlindungan korban perang dan konvensi tentang tata cara perang. <br /><br /><br />Abad 20<br />• Nazi 1930-1940 Holocoust: pembantain kaum minoritas <br />• 1948 Universal Decalaration of Human Rights <br />• 1966 The International Covenant on Civil and Political Rights <br />• 1966 The International Covenant on Economical and Social and Cultural Rights. <br />C. SEJARAH PERKEMBANGAN HAM NASIONAl<br />Tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan penghormatan dan penegakan HAM sangat kuat ketika bangsa ini memperjuangkan hak asasinya, yaitu: "kemerdekaan", yang telah berabad-abad dirampas oleh penjajah. <br />Para pendiri negeri ini telah merasakan sendiri bagaimana penderitaan yang dialami karena hak asasinya diinjak-injak oleh penjajah. Oleh karena itu, tidak mengherankan setelah berhasil mencapai kemerdekaan, para pendiri negeri ini mencanturnkan prinsip-prinsip HAM dalam Konstitusi RI (Undang-undang Dasar 1945 dan Pembukaannya) sebagai pedoman dan cita-cita yang harus dilaksanakan dan dicapai. <br /><br />Namun dalam perjalanan sejarah bangsa, pedoman dan cita-cita yang telah dicanturnkan dalam konstitusi tersebut tidak dilaksanakan bahkan dilanggar oleh pemerintah yang seharusnya melaksanakan dan mencapainya. Kita semua sudah mengetahui bahwa Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru tidak hanya tidak melaksanakan penghormatan dan penegakan HAM namun juga banyak melakukan pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan oleh alasan politis dan teknis. Alasan politis adalah situasi politik di tingkat nasional dan tingkat intemasional (perang dingin). Di jaman Orde Lama, focus kebijakan Pemerintah RI adalah "Revolusi". Kebijakan ini membawa kita ke konflik internal (domestik) dan intemasional, serta berakibat melupakan hak asasi rakyat. Sedangkan di jaman Orde Baru kebijakan pemerintah terfokus pada pembangunan ekonomi. Memang pembangunan ekonomi juga termasuk upaya pemenuhan HAM (hak ekonomi dan sosial). Namun kebijakan terlalu terfokus pada pembangunan ekonomi dan mengabaikan hak sipil dan politik, telah menyebabkan kegagalan pembangunan ekonomi itu sendiri. Adapun alasan teknis adalah karena prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam konstitusi belum dijabarkan dalam hukum positif aplikatif (Undang-undang Organik). <br /><br />Sejak memasuki era reformasi, Indonesia telah melakukan upaya pemajuan HAM, termasuk menciptakan hukum positif yang aplikatif. Dilihat dari segi hukum, tekad bangsa Indonesia tercermin dari berbagai ketentuan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) dan Pancasila, dalam Undang-undang Dasar yang telah di amandemen, Undang-undang Nomor 39/1999 tentang HAM, Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan ratifikasi yang telah dilakukan terhadap sejumlah instrumen HAM intemasional<br />D. HAM DALAM UUD 1945<br />Dalam Pembukaan UUD 45 dengan tegas dinyatakan bahwa "pejajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Dalam Pancasila yang juga tercantum dalam Pembukaan UUD 45 terdapat sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Da1am P4, meskipun sekarang tidak dipakai lagi, namun ada penjelasan Sila kedua yang masih relevan untuk disimak, yaitu bahwa "dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa membedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit, dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan 'tepa salira " serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain".<br /> Dibandingkan dengan UUDS 1950, ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit, hanya 7 (tujuh) pasal saja masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34, sedangkan di dalam UUDS 1950 didapati cukup lengkap pasal-pasal HAM, yaitu sejumlah 35 pasal, yakni dari pasal 2 sampai dengan pasal 42. Jumlah pasal di dalam UUDS 1950 hampir sama dengan yang tercantum di dalam Universal Declaration of Human Rights. <br /> Meskipun di dalam UUD 1945 tidak banyak dicantumkan pasal-pasal tentang HAM, namun kekuarangan-kekurangan tersebut telah dipenuhi dengan lahirnya sejumlah Undang-undang antara lain UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 8 Tahun 1981 yang banyak mencantumkan ketentuan tentang HAM. UU No. 14 Tahun 1970 memuat 8 pasal tentang HAM, sedangkan UU No. 8 Tahun 1981 memuat 40 pasal. Lagipula di dalam Pembukaan UUD 45 didapati suatu pernyataan yang mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk menegakkan HAM yang berbunyi, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".<br /><br /> Dalam amandemen kedua UUD 1945, pasal 28 telah dirobah menjadi bab tersendiri yang memuat 10 pasal mengenai hak asasi manusia. Sebagian besar isi perubahan tersebut mengatur mengani hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Adapun Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dalam Bab X A Undang-undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :<br /><br /> Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A) <br /> Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah (Pasal 28 B ayat 1) <br /> Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28 B ayat 2) <br /> Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28 C ayat 1) <br /> Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya (Pasal 28 C ayat 1) <br /> Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (Pasal 28 C ayat 2) <br /> Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 28 D ayat 1) <br /> Hak utnuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 D ayat 3) <br /> Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat 3) <br /> Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D ayat 4) <br /> Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28 E ayat 1) <br /> Hak memilih pekerjaan (Pasal 28 E ayat 1) <br /> Hak memilih kewarganegaraan (Pasal 28 E ayat 1) <br /> Hak memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali (Pasal 28 E ayat 1) <br /> Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (Pasal 28 E ayat 2) <br /> Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E ayat 3) <br /> Hak untuk berkomunikasi dan memeperoleh informasi (Pasal 28 F) <br /> Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda (Pasal 28 G ayat 1) <br /> Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia (Pasal 28 G ayat 1) <br /> Hak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28 G ayat 2) <br /> Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 H ayat 1) <br /> Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 H ayat 1) <br /> Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28 H ayat 2) <br /> Hak atas jaminan sosial (Pasal 28 H ayat 3) <br /> Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 28 H ayat 4) <br /> Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) (Pasal 28 I ayat 1) <br /> Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut (Pasal 28 I ayat 2) <br /> Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3) <br /> Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (pasal 28 I ayat 4)<br /> Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (pasal 28I ayat 5)<br /> Setiap orang wajib menghormati hak orang lain (pasal 28 J ayat 1)<br /> Setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasanya wajib tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang (pasal 28 J ayat 2)<br /><br /><br /><br /> Definisi hak-hak sipil dan politik<br /> Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar menusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik. <br />Adapun yang berkewajiban untuk melindungi hak-hak sipil dan politik warga negara sesuai dengan Pasal 8 Undang-undang No. 39 tahun 1999 ditegaskan bahwa perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.<br /> <br />Karakteristik hak-hak sipil dan politik:<br />1. Dicapai dengan segera;<br />2. Negara bersifat pasif;<br />3. Dapat diajukan ke pengadilan;<br />4. Tidak bergantung pada sumber daya;<br />5. Non-ideologis.<br />Di dalam perlindungan hak-hak sipil dan politik, peran negara harus dibatasi karena hak-hak sipil dan politik tergolong ke dalam negative right, yaitu hak-hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Bila negara bersifat intervensionis, maka tidak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur d idalamnya akan dilanggar negara.<br />Hak-hak yang termasuk ke dalam hak-hak sipil dan politik<br /> 1. Hak hidup;<br /> 2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi;<br /> 3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa;<br /> 4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi;<br /> 5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah;<br /> 6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum;<br /> 7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama;<br /> 8. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi;<br /> 9. Hak untuk berkumpul dan berserikat;<br /> 10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.<br />Instrumen HAM yang mengatur hak-hak sipil dan politik:<br />1. UUD 1945 (Pasal 28 A, 28 B (ayat 1, 2), 28 D ayat (1, 3, 4), 28 E ayat (1, 2, 3), 28 F, 28 G ayat (1, 2), 28 I ayat (1, 2).<br />KESIMPULAN <br /> Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah tuhan yang maha esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara sebagimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbasis hak asasi manusia.INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-1989025247096853912008-12-06T03:33:00.000-08:002008-12-06T03:40:20.660-08:00PRINSIP-PRINSIP DASAR ATAU PEDOMAN PERUMUSAN/FORMULASI KETENTUAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN<div align="center">Oleh :<br /><br />Barda Nawawi Arief</div><div align="center"></div><div align="justify"><strong>A. Prinsip Harmonisasi Kesatuan Sistem</strong></div><div align="justify">1. Prinsip dasar atau prinsip umum yang harusdiperhatikan adalah :<br />* setiap perumusan ketentuan pidana dalam RUU di luarKUHP harus tetap berada dalam sistem hukum pidana materiel (sistem pemidanaansubstantif) yang berlaku saat ini.</div><div align="justify">2. Sebagaimanadimaklumi, sistem hukum pidana substantif (sistem pemida-naan substantif) yangberlaku saat ini adalah sebagai berikut : <br /><br />a. Sistemhukum pidana materiel terdiri dari keseluruhan sistem per-aturanperundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP (sebagaiinduk aturan umum) dan UU khusus di luar KUHP. <br /><br />b. Keseluruhanperaturan perundang-undangan (“statutory rules”) di bidang hukum pidanasubstantif itu, terdiri dari “aturan umum” (“gene-ral rules”) dan“aturan khusus” (“special rules”). <br /><br />c. Aturanumum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat di dalam KUHP(Buku II dan III) maupun dalam UU Khusus di luar KUHP. Aturan khusus ini padaumumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturankhusus yang menyimpang dari aturan umum. <br /><br />Dengandemikian, sistem hukum pidana substantif yang berlaku saat ini dapatdigambarkan sebagai berikut : <br /><br />3. Dari gambar di atas terlihat, bahwa ketentuanpidana dalam UU khusus di luar KUHP merupakan sub-sistem dari keseluruhan sistemhukum pidana.<br /><br />4. Sebagai sub-sistem, UU khusus terikat padaketentuan umum yang ada di dalam KUHP (Buku I). Namun patut dicatat, bahwaketentuan umum KUHP “yang mengikat (yang berlaku)” untuk UU khusus, hanyalahBab I s/d VIII (Pasal 1 s/d 85) Buku I KUHP, sepanjang UU khusus tidak membuatketentuan lain yang menyimpang (Lihat Pasal 103 KUHP).<br /><br />5. Ketentuan umum dalam Bab IX Buku I KUHP(Pasal 86 s/d 102) hanya berlaku untuk KUHP, tidak untuk UU khusus di luarKUHP. <br /><br />6. Agar ada harmonisasi dan kesatuan sistemyang demikian, maka bagi setiap perancang UU khusus harus memahami danmenguasai keselu-ruhan sistem aturan umum dalam Buku I KUHP. Apabila tidak,akan timbul masalah-masalah juridis.<br /><br />B. Masalah Perumusan Delik<br /><br />1. Seperti terlihat dari gambar/pola sistem hukum pidanadi atas, perumusan delik (tindak pidana) dalam “aturan khusus” hanya merupakansub-sistem dari keseluruhan sistem hukum pidana (sistem pemidanaan). Artinya,perumusan delik (baik unsur-unsurnya, jenis deliknya, maupun jenispidana/sanksi dan lamanya pidana) tidak merupakan sistem yang berdiri sendiri.Untuk dapat diterapkan (dioperasionalkan/difungsikan), perumus-an delik itumasih harus ditunjang oleh sub-sub sistem lainnya, yaitu sub-sistem aturan/pedomandan asas-asas pemidanaan yang ada di dalam aturan umum KUHP atau aturan khususdalam UU khusus ybs.<br /><br />2. Oleh karena itu, agar perumusan delik dapatoperasional, harus memper-hatikan aturan umum yang ada di dalam KUHP, antaralain sbb. :<br /><br />a. KUHP membedakan “aturan umum”untuk tindak pidana yang berupa “kejahatan” dan “pelanggaran”. Artinya,kualifikasi delik berupa “keja-hatan” atau “pelanggaran” merupakan “kualifikasijuridis” yang akan membawa “konsekuensi juridis” yang berbeda. Oleh karena itu,setiap tindak pidana yang dirumuskan dalam UU khusus harus disebut kualifikasijuridisnya. Apabila tidak disebutkan, akan menimbulkan masalah juridis dalammenerapkan aturan umum KUHP terhadap UU khusus itu. Di dalam poduk legislatifselama ini, banyak sekali UU yang tidak menyebutkan/menetapkan kualifikasidelik (lihat lampiran).<br /><br />b. Kualifikasi juridis/resmi menurutKUHP adalah “kejahatan dan pelang-garan”. KUHP tidak mengenal kualifikasijuridis berupa “delik aduan”, walaupun di dalam KUHP ada aturan umum tentang“mengajukan dan menarik kembali pengaduan” untuk kejahatan-kejahatan tertentu(tidak untuk “pelanggaran”). Oleh karena itu, apabila UU khusus menetapkansuatu tindak pidana sebagai “delik aduan” seperti dalam UU No. 14/2001 (Paten), UU No. 15/2001 (Merek), dan UU No. 23/ 2004 (KDRT), maka hal itu dapat menimbulkanmasalah juridis, karena ketiga UU itu :<br /><br />- tidak menyebutkan delik mana yang dikualifikasikansebagai “keja-hatan” (padahal aturan umum delik aduan dalam KUHP hanya tertujuuntuk “kejahatan tertentu”);<br /><br />- tidak menyebutkan siapa (subjek) yang berhak mengadu;<br /><br />- tidak membuat aturan/ketentuan khusus lainnya yangberkaitan dengan masalah pengaduan itu.<br /><br />c. KUHP tidak membuat aturan umumuntuk bentuk-bentuk tindak pidana (“forms of criminal offence”) yangberupa “permufakatan jahat”, “persiapan”, dan “pengulangan” (recidive). Ketigabentuk tindak pidana ini hanya diatur dalam aturan khusus (Buku II atau BukuIII). Artinya, ketentuan mengenai “permufakatan jahat”, “per-siapan”, dan“pengulangan” di dalam KUHP hanya berlaku untuk delik-delik tertentu dalam KUHP,tidak untuk delik di luar KUHP. Oleh karena itu, apabila UU khusus di luar KUHPmenyebut ketiga istilah juridis itu (misal dalam UU Psikotropika, UU TPKorupsi, UU Pencucian Uang, UU Terorisme), maka UU khusus itu harus mem-buataturan khusus/tersendiri mengenai hal itu. Apabila tidak, akan dapatmenimbulkan masalah juridis. <br /><br />Illustrasi : <br /><br />* Di dalam UU Narkotika, dijelaskan makna juridis daripengertian “permufakatan jahat” (dimasukkan dalam ketentuan umum Pasal 1 ke-17),sedangkan dalam UU lainnya tidak dijelaskan. <br /><br />* UU Psikotropika dan Narkotika membuat ketentuankhusus tentang “recidive”, sedangkan di dalam UU Korupsi tidak ada. <br /><br /> <br /><br />C. Masalah Perumusan Sanksi Pidana dan Aturan Pemidanaan<br /><br />1. Sanksi pidana pada umumnya dirumuskan dalam perumusandelik, walaupun ada juga yang dirumuskan terpisah dalam pasal (ketentuankhusus) lainnya. <br /><br />2. Sebagai bagian dari perumusan delik, maka perumusansanksi pidana juga merupakan sub-sistem yang tidak berdiri sendiri. Artinya,untuk dapat diterapkan (dioperasionalkan/difungsikan), perumusan sanksi pidanaitu masih harus ditunjang oleh sub-sub sistem lainnya, yaitu sub-sistematuran/pedoman dan asas-asas pemidanaan yang ada di dalam aturan umum KUHP atauaturan khusus dalam UU khusus ybs.<br /><br />3. Oleh karena itu, agar perumusan sanksi pidana dapatoperasional, harus memperhatikan aturan umum yang ada di dalam KUHP, antaralain sbb. :<br /><br />a. Dilihat dari sudut ”strafsoort”(jenis-jenis sanksi pidana), semua aturan pemidanaan di dalam KUHP berorientasipada “strafsoort” yang ada/ disebut dalam KUHP, baik berupa pidana pokokmaupun pidana tambahan. Oleh karena itu, apabila UU khusus menyebut jenis-jenispidana/tindakan lain yang tidak ada di dalam KUHP (misal ”pidana pengawasan”seperti disebut dalam UU No. 3/1997 tentang Penga-dilan Anak; pidana pembayaranganti rugi atau uang pengganti; dsb.), maka UU khusus itu harus membuat aturanpemidanaan khusus untuk jenis-jenis sanksi pidana itu.<br /><br />b. Menurut pola KUHP, jenis pidanayang dirumuskan/diancamkan dalam perumusan delik hanya pidana pokok dan/ataupidana tam-bahannya. Pidana “kurungan pengganti” tidak dirumuskan dalam perumusandelik (aturan khusus), tetapi dimasukkan dalam aturan umum mengenai pelaksanaanpidana (“strafmodus”). Oleh karena itu, UU khusus tidak perlu memasukkanpidana kurungan pengganti se-bagai jenis pidana yang diancamkan dalam perumusandelik (seperti misalnya terlihat dalam UU:5/1999 ttg. “Larangan PraktekMonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”), terlebih apabila jumlah lama-nyakurungan pengganti itu tidak menyimpang dari aturan umum KUHP. Kalau punmenyimpang, perumusannya tidak dimasukkan sebagai “strafsoort” dalamperumusan delik, tetapi diatur tersendiri dalam aturan tentang pelaksanaanpidana (“strafmode/strafmodus”). <br /><br />c. Dilihat dari sudut “strafmaat”(ukuran jumlah/lamanya pidana), aturan pemidanaan dalam KUHP berorientasi padasistem minimal umum dan maksimal khusus, tidak berorientasi pada sistem minimalkhusus. Artinya, di dalam KUHP tidak ada aturan pemidanaan untuk ancaman pidanaminimal khusus. Oleh karena itu, apabila UU khusus membuat ancaman pidanaminimal khusus, maka harus disertai juga dengan aturan/pedoman penerapannya. DalamUU khusus selama ini, kebanyakan masalah ini tidak diatur, kecuali dalam UUTerorisme dan UU TP Korupsi, walaupun pengaturannya masih sangat sumir dan lebihtertuju pada batas-batas berlakunya pidana minimal itu. Menurut UU Terorisme,tidak berlaku untuk anak di bawah 18 tahun (Pasal 19); dan menurut UU TPK,tidak berlaku untuk TPK yang bernilai kurang dari 5 juta rupiah (Psl. 12A). <br /><br />d. Aturan pemidanaan umum dalam KUHPberorientasi pada “orang” (natural person), tidak ditujukan pada“korporasi”. Oleh karena itu, apabila UU khusus menyebutkan adanya sanksipidana untuk korpo-rasi, maka harus disertai juga dengan aturan khususpemidanaan un-tuk korporasi. Misal mengenai :<br /><br />- aturan pertanggugjawaban korporasi;<br /><br />- aturan pelaksanaan pidana denda untuk korporasi. <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />D. Masalah Perumusan Subjek Tindak Pidanadan PJP Korporasi<br /><br />1. Subjek tindak pidana dalam KUHP hanya“orang”, sehingga semua aturan pemidanaan di dalam KUHP diorientasikan pada“orang”, tidak pada korporasi.<br /><br />2. Oleh karena itu, apabila UU khususmemperluas subjek TP pada korpora-si, seyogyanya juga disertai dengan aturanpemidanaan atau pertang-jawaban khusus untuk korporasi.<br /><br />3. Di dalam perundang-undangan selama ini terlihathal-hal sbb. :<br /><br /> <br /><br />* Banyak yang memasukkan“korporasi” sebagai subjek tindak pidana, namun dengan berbagai variasiistilah; <br /><br /> <br /><br />* Ada korporasi yang dijadikan subjek TP, tetapi UU ybs. tidak membuat ketentuanpidana atau “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi; <br /><br /> <br /><br />* Dalam hal UU membuat ketentuanPJP korporasi, belum ada pola aturan pemidanaan korporasi yang seragam dankonsisten, antara lain terlihat hal-hal sbb. :<br /><br /> <br /><br />a. ada yang merumuskan dan ada yangtidak merumuskan “kapan korporasi melakukan TP dan kapan dapatdipertanggungjawab-kan”;<br /><br /> <br /><br />b. ada yang merumuskan dan ada yangtidak merumuskan, “siapa yang yang dapat dipertanggungjawabkan”. <br /><br /> <br /><br />c. “jenis sanksi” :<br /><br />- ada yang pidanapokok saja; ada yang pidana pokok dan tambahan; dan ada yang ditambah lagidengan tindakan “tata tertib”; <br /><br />- pidana denda adayang sama dengan delik pokok; ada yang diperberat; <br /><br />- ada yang menyatakandapat dikenakan tindakan tata tertib, tetapi tidak disebutkan jenis-jenisnya;<br /><br /> <br /><br />d. Jenis pidana/tindakan untuk korporasi,tidak berpola/tidak sera-gam. Kebanyakan hanya dikenakan pidana denda(bersifat “finan-cial sanction”), jarang yang berupa “Structuralsanctions“ atau “restriction on enterpreneurial activities” (pembatasankegiatan usaha; pembubaran korporasi) dan “Stigmatising sanctions”(pengumuman keputusan hakim; teguran korporasi).<br /><br /><br /><br /></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-13532047815338430192008-12-05T14:31:00.000-08:002008-12-05T14:39:10.285-08:00Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women<div align="center">Adopted and opened for signature, ratification and accession by<br />General Assembly resolution 34/180 of 18 December 1979</div><div align="justify"><br /><strong>The States Parties to the present Convention,</strong> <br /><br />Noting that the Charter of the United Nations reaffirms faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person and in the equal rights of men and women, <br />Noting that the Universal Declaration of Human Rights affirms the principle of the inadmissibility of discrimination and proclaims that all human beings are born free and equal in dignity and rights and that everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth therein, without distinction of any kind, including distinction based on sex, <br /><br />Noting that the States Parties to the International Covenants on Human Rights have the obligation to ensure the equal rights of men and women to enjoy all economic, social, cultural, civil and political rights, <br /><br />Considering the international conventions concluded under the auspices of the United Nations and the specialized agencies promoting equality of rights of men and women, <br /><br />Noting also the resolutions, declarations and recommendations adopted by the United Nations and the specialized agencies promoting equality of rights of men and women, <br /><br />Concerned, however, that despite these various instruments extensive discrimination against women continues to exist, <br /><br />Recalling that discrimination against women violates the principles of equality of rights and respect for human dignity, is an obstacle to the participation of women, on equal terms with men, in the political, social, economic and cultural life of their countries, hampers the growth of the prosperity of society and the family and makes more difficult the full development of the potentialities of women in the service of their countries and of humanity, <br /><br />Concerned that in situations of poverty women have the least access to food, health, education, training and opportunities for employment and other needs, <br /><br />Convinced that the establishment of the new international economic order based on equity and justice will contribute significantly towards the promotion of equality between men and women, <br /><br />Emphasizing that the eradication of apartheid, all forms of racism, racial discrimination, colonialism, neo-colonialism, aggression, foreign occupation and domination and interference in the internal affairs of States is essential to the full enjoyment of the rights of men and women, <br /><br />Affirming that the strengthening of international peace and security, the relaxation of international tension, mutual co-operation among all States irrespective of their social and economic systems, general and complete disarmament, in particular nuclear disarmament under strict and effective international control, the affirmation of the principles of justice, equality and mutual benefit in relations among countries and the realization of the right of peoples under alien and colonial domination and foreign occupation to self-determination and independence, as well as respect for national sovereignty and territorial integrity, will promote social progress and development and as a consequence will contribute to the attainment of full equality between men and women, <br /><br />Convinced that the full and complete development of a country, the welfare of the world and the cause of peace require the maximum participation of women on equal terms with men in all fields, <br /><br />Bearing in mind the great contribution of women to the welfare of the family and to the development of society, so far not fully recognized, the social significance of maternity and the role of both parents in the family and in the upbringing of children, and aware that the role of women in procreation should not be a basis for discrimination but that the upbringing of children requires a sharing of responsibility between men and women and society as a whole, <br /><br />Aware that a change in the traditional role of men as well as the role of women in society and in the family is needed to achieve full equality between men and women, <br /><br />Determined to implement the principles set forth in the Declaration on the Elimination of Discrimination against Women and, for that purpose, to adopt the measures required for the elimination of such discrimination in all its forms and manifestations, <br /><br />Have agreed on the following: <br /><br /><strong>PART I </strong><br /><strong>Article I </strong><br /><br />For the purposes of the present Convention, the term "discrimination against women" shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field.</div><div align="justify"><br /><strong>Article 2 </strong><br />States Parties condemn discrimination against women in all its forms, agree to pursue by all appropriate means and without delay a policy of eliminating discrimination against women and, to this end, undertake: <br />(a) To embody the principle of the equality of men and women in their national constitutions or other appropriate legislation if not yet incorporated therein and to ensure, through law and other appropriate means, the practical realization of this principle; <br />(b) To adopt appropriate legislative and other measures, including sanctions where appropriate, prohibiting all discrimination against women; <br /><br />(c) To establish legal protection of the rights of women on an equal basis with men and to ensure through competent national tribunals and other public institutions the effective protection of women against any act of discrimination; <br /><br />(d) To refrain from engaging in any act or practice of discrimination against women and to ensure that public authorities and institutions shall act in conformity with this obligation; <br /><br />(e) To take all appropriate measures to eliminate discrimination against women by any person, organization or enterprise; <br /><br />(f) To take all appropriate measures, including legislation, to modify or abolish existing laws, regulations, customs and practices which constitute discrimination against women; <br /><br />(g) To repeal all national penal provisions which constitute discrimination against women. <br /><br /><strong>Article 3 </strong><br />States Parties shall take in all fields, in particular in the political, social, economic and cultural fields, all appropriate measures, including legislation, to en sure the full development and advancement of women , for the purpose of guaranteeing them the exercise and enjoyment of human rights and fundamental freedoms on a basis of equality with men.</div><div align="justify"><br /><strong>Article 4 </strong><br />1. Adoption by States Parties of temporary special measures aimed at accelerating de facto equality between men and women shall not be considered discrimination as defined in the present Convention, but shall in no way entail as a consequence the maintenance of unequal or separate standards; these measures shall be discontinued when the objectives of equality of opportunity and treatment have been achieved. <br />2. Adoption by States Parties of special measures, including those measures contained in the present Convention, aimed at protecting maternity shall not be considered discriminatory. <br /><br /><strong>Article 5 </strong><br />States Parties shall take all appropriate measures: <br />(a) To modify the social and cultural patterns of conduct of men and women, with a view to achieving the elimination of prejudices and customary and all other practices which are based on the idea of the inferiority or the superiority of either of the sexes or on stereotyped roles for men and women; <br />(b) To ensure that family education includes a proper understanding of maternity as a social function and the recognition of the common responsibility of men and women in the upbringing and development of their children, it being understood that the interest of the children is the primordial consideration in all cases. <br /><br /><strong>Article 6 </strong><br />States Parties shall take all appropriate measures, including legislation, to suppress all forms of traffic in women and exploitation of prostitution of women.</div><div align="justify"><br /><strong>PART II <br />Article 7 <br /><br /></strong>States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in the political and public life of the country and, in particular, shall ensure to women, on equal terms with men, the right: <br />(a) To vote in all elections and public referenda and to be eligible for election to all publicly elected bodies; <br />(b) To participate in the formulation of government policy and the implementation thereof and to hold public office and perform all public functions at all levels of government; <br /><br />(c) To participate in non-governmental organizations and associations concerned with the public and political life of the country. <br /><br /><strong>Article 8</strong><br />States Parties shall take all appropriate measures to ensure to women, on equal terms with men and without any discrimination, the opportunity to represent their Governments at the international level and to participate in the work of international organizations.</div><div align="justify"><br /><strong>Article 9</strong> <br />1. States Parties shall grant women equal rights with men to acquire, change or retain their nationality. They shall ensure in particular that neither marriage to an alien nor change of nationality by the husband during marriage shall automatically change the nationality of the wife, render her stateless or force upon her the nationality of the husband. <br />2. States Parties shall grant women equal rights with men with respect to the nationality of their children. <br /><br /><strong>PART III <br />Article 10 <br /><br /></strong>States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in order to ensure to them equal rights with men in the field of education and in particular to ensure, on a basis of equality of men and women: <br />(a) The same conditions for career and vocational guidance, for access to studies and for the achievement of diplomas in educational establishments of all categories in rural as well as in urban areas; this equality shall be ensured in pre-school, general, technical, professional and higher technical education, as well as in all types of vocational training; <br />(b) Access to the same curricula, the same examinations, teaching staff with qualifications of the same standard and school premises and equipment of the same quality; <br /><br />(c) The elimination of any stereotyped concept of the roles of men and women at all levels and in all forms of education by encouraging coeducation and other types of education which will help to achieve this aim and, in particular, by the revision of textbooks and school programmes and the adaptation of teaching methods; <br /><br />(d ) The same opportunities to benefit from scholarships and other study grants; <br /><br />(e) The same opportunities for access to programmes of continuing education, including adult and functional literacy programmes, particulary those aimed at reducing, at the earliest possible time, any gap in education existing between men and women; <br /><br />(f) The reduction of female student drop-out rates and the organization of programmes for girls and women who have left school prematurely; <br /><br />(g) The same Opportunities to participate actively in sports and physical education; <br /><br />(h) Access to specific educational information to help to ensure the health and well-being of families, including information and advice on family planning. <br /><br /><strong>Article 11 </strong><br />1. States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in the field of employment in order to ensure, on a basis of equality of men and women, the same rights, in particular: <br />(a) The right to work as an inalienable right of all human beings; <br />(b) The right to the same employment opportunities, including the application of the same criteria for selection in matters of employment; <br /><br />(c) The right to free choice of profession and employment, the right to promotion, job security and all benefits and conditions of service and the right to receive vocational training and retraining, including apprenticeships, advanced vocational training and recurrent training; <br /><br />(d) The right to equal remuneration, including benefits, and to equal treatment in respect of work of equal value, as well as equality of treatment in the evaluation of the quality of work; <br /><br />(e) The right to social security, particularly in cases of retirement, unemployment, sickness, invalidity and old age and other incapacity to work, as well as the right to paid leave; <br /><br />(f) The right to protection of health and to safety in working conditions, including the safeguarding of the function of reproduction. <br /><br />2. In order to prevent discrimination against women on the grounds of marriage or maternity and to ensure their effective right to work, States Parties shall take appropriate measures: <br />(a) To prohibit, subject to the imposition of sanctions, dismissal on the grounds of pregnancy or of maternity leave and discrimination in dismissals on the basis of marital status; <br />(b) To introduce maternity leave with pay or with comparable social benefits without loss of former employment, seniority or social allowances; <br /><br />(c) To encourage the provision of the necessary supporting social services to enable parents to combine family obligations with work responsibilities and participation in public life, in particular through promoting the establishment and development of a network of child-care facilities; <br /><br />(d) To provide special protection to women during pregnancy in types of work proved to be harmful to them. <br /><br />3. Protective legislation relating to matters covered in this article shall be reviewed periodically in the light of scientific and technological knowledge and shall be revised, repealed or extended as necessary.<br /><strong>Article 12</strong><br />1. States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in the field of health care in order to ensure, on a basis of equality of men and women, access to health care services, including those related to family planning. <br />2. Notwithstanding the provisions of paragraph I of this article, States Parties shall ensure to women appropriate services in connection with pregnancy, confinement and the post-natal period, granting free services where necessary, as well as adequate nutrition during pregnancy and lactation. <br /><br /><strong>Article 13 </strong><br />States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in other areas of economic and social life in order to ensure, on a basis of equality of men and women, the same rights, in particular: <br />(a) The right to family benefits; <br />(b) The right to bank loans, mortgages and other forms of financial credit; <br /><br />(c) The right to participate in recreational activities, sports and all aspects of cultural life. <br /><br /><strong>Article 14 </strong><br />1. States Parties shall take into account the particular problems faced by rural women and the significant roles which rural women play in the economic survival of their families, including their work in the non-monetized sectors of the economy, and shall take all appropriate measures to ensure the application of the provisions of the present Convention to women in rural areas. <br />2. States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in rural areas in order to ensure, on a basis of equality of men and women, that they participate in and benefit from rural development and, in particular, shall ensure to such women the right: <br /><br />(a) To participate in the elaboration and implementation of development planning at all levels; <br />(b) To have access to adequate health care facilities, including information, counselling and services in family planning; <br /><br />(c) To benefit directly from social security programmes; <br /><br />(d) To obtain all types of training and education, formal and non-formal, including that relating to functional literacy, as well as, inter alia, the benefit of all community and extension services, in order to increase their technical proficiency; <br /><br />(e) To organize self-help groups and co-operatives in order to obtain equal access to economic opportunities through employment or self employment; <br /><br />(f) To participate in all community activities; <br /><br />(g) To have access to agricultural credit and loans, marketing facilities, appropriate technology and equal treatment in land and agrarian reform as well as in land resettlement schemes; <br /><br />(h) To enjoy adequate living conditions, particularly in relation to housing, sanitation, electricity and water supply, transport and communications. <br /><br /><strong>PART IV <br />Article 15 </strong><br /><br />1. States Parties shall accord to women equality with men before the law. <br />2. States Parties shall accord to women, in civil matters, a legal capacity identical to that of men and the same opportunities to exercise that capacity. In particular, they shall give women equal rights to conclude contracts and to administer property and shall treat them equally in all stages of procedure in courts and tribunals. <br /><br />3. States Parties agree that all contracts and all other private instruments of any kind with a legal effect which is directed at restricting the legal capacity of women shall be deemed null and void. <br /><br />4. States Parties shall accord to men and women the same rights with regard to the law relating to the movement of persons and the freedom to choose their residence and domicile. <br /><br /><strong>Article 16 </strong><br />1. States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in all matters relating to marriage and family relations and in particular shall ensure, on a basis of equality of men and women: <br />(a) The same right to enter into marriage; <br />(b) The same right freely to choose a spouse and to enter into marriage only with their free and full consent; <br /><br />(c) The same rights and responsibilities during marriage and at its dissolution; <br /><br />(d) The same rights and responsibilities as parents, irrespective of their marital status, in matters relating to their children; in all cases the interests of the children shall be paramount; <br /><br />(e) The same rights to decide freely and responsibly on the number and spacing of their children and to have access to the information, education and means to enable them to exercise these rights; <br /><br />(f) The same rights and responsibilities with regard to guardianship, wardship, trusteeship and adoption of children, or similar institutions where these concepts exist in national legislation; in all cases the interests of the children shall be paramount; <br /><br />(g) The same personal rights as husband and wife, including the right to choose a family name, a profession and an occupation; <br /><br />(h) The same rights for both spouses in respect of the ownership, acquisition, management, administration, enjoyment and disposition of property, whether free of charge or for a valuable consideration. <br /><br />2. The betrothal and the marriage of a child shall have no legal effect, and all necessary action, including legislation, shall be taken to specify a minimum age for marriage and to make the registration of marriages in an official registry compulsory.<br /><strong>PART V <br />Article 17 </strong><br /><br />1. For the purpose of considering the progress made in the implementation of the present Convention, there shall be established a Committee on the Elimination of Discrimination against Women (hereinafter referred to as the Committee) consisting, at the time of entry into force of the Convention, of eighteen and, after ratification of or accession to the Convention by the thirty-fifth State Party, of twenty-three experts of high moral standing and competence in the field covered by the Convention. The experts shall be elected by States Parties from among their nationals and shall serve in their personal capacity, consideration being given to equitable geographical distribution and to the representation of the different forms of civilization as well as the principal legal systems. <br />2. The members of the Committee shall be elected by secret ballot from a list of persons nominated by States Parties. Each State Party may nominate one person from among its own nationals. <br /><br />3. The initial election shall be held six months after the date of the entry into force of the present Convention. At least three months before the date of each election the Secretary-General of the United Nations shall address a letter to the States Parties inviting them to submit their nominations within two months. The Secretary-General shall prepare a list in alphabetical order of all persons thus nominated, indicating the States Parties which have nominated them, and shall submit it to the States Parties. <br /><br />4. Elections of the members of the Committee shall be held at a meeting of States Parties convened by the Secretary-General at United Nations Headquarters. At that meeting, for which two thirds of the States Parties shall constitute a quorum, the persons elected to the Committee shall be those nominees who obtain the largest number of votes and an absolute majority of the votes of the representatives of States Parties present and voting. <br /><br />5. The members of the Committee shall be elected for a term of four years. However, the terms of nine of the members elected at the first election shall expire at the end of two years; immediately after the first election the names of these nine members shall be chosen by lot by the Chairman of the Committee. <br /><br />6. The election of the five additional members of the Committee shall be held in accordance with the provisions of paragraphs 2, 3 and 4 of this article, following the thirty-fifth ratification or accession. The terms of two of the additional members elected on this occasion shall expire at the end of two years, the names of these two members having been chosen by lot by the Chairman of the Committee. <br /><br />7. For the filling of casual vacancies, the State Party whose expert has ceased to function as a member of the Committee shall appoint another expert from among its nationals, subject to the approval of the Committee. <br /><br />8. The members of the Committee shall, with the approval of the General Assembly, receive emoluments from United Nations resources on such terms and conditions as the Assembly may decide, having regard to the importance of the Committee's responsibilities. <br /><br />9. The Secretary-General of the United Nations shall provide the necessary staff and facilities for the effective performance of the functions of the Committee under the present Convention. <br /><br /><strong>Article 18 </strong><br />1. States Parties undertake to submit to the Secretary-General of the United Nations, for consideration by the Committee, a report on the legislative, judicial, administrative or other measures which they have adopted to give effect to the provisions of the present Convention and on the progress made in this respect: <br />(a) Within one year after the entry into force for the State concerned; <br />(b) Thereafter at least every four years and further whenever the Committee so requests. <br /><br />2. Reports may indicate factors and difficulties affecting the degree of fulfilment of obligations under the present Convention.</div><div align="justify"><br /><strong>Article 19 </strong><br />1. The Committee shall adopt its own rules of procedure. <br />2. The Committee shall elect its officers for a term of two years. <br /><br /><strong>Article 20</strong><br />1. The Committee shall normally meet for a period of not more than two weeks annually in order to consider the reports submitted in accordance with article 18 of the present Convention. <br />2. The meetings of the Committee shall normally be held at United Nations Headquarters or at any other convenient place as determined by the Committee. (amendment, status of ratification) <br /><br /><strong>Article 21 </strong><br />1. The Committee shall, through the Economic and Social Council, report annually to the General Assembly of the United Nations on its activities and may make suggestions and general recommendations based on the examination of reports and information received from the States Parties. Such suggestions and general recommendations shall be included in the report of the Committee together with comments, if any, from States Parties. <br />2. The Secretary-General of the United Nations shall transmit the reports of the Committee to the Commission on the Status of Women for its information. <br /><br /><strong>Article 22 </strong><br />The specialized agencies shall be entitled to be represented at the consideration of the implementation of such provisions of the present Convention as fall within the scope of their activities. The Committee may invite the specialized agencies to submit reports on the implementation of the Convention in areas falling within the scope of their activities.</div><div align="justify"><br /><strong>PART VI </strong><br /><strong>Article 23 </strong><br /><br />Nothing in the present Convention shall affect any provisions that are more conducive to the achievement of equality between men and women which may be contained: <br />(a) In the legislation of a State Party; or <br />(b) In any other international convention, treaty or agreement in force for that State. <br /><br /><strong>Article 24 </strong><br />States Parties undertake to adopt all necessary measures at the national level aimed at achieving the full realization of the rights recognized in the present Convention.<br /><strong>Article 25 </strong><br />1. The present Convention shall be open for signature by all States. <br />2. The Secretary-General of the United Nations is designated as the depositary of the present Convention. <br /><br />3. The present Convention is subject to ratification. Instruments of ratification shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. <br /><br />4. The present Convention shall be open to accession by all States. Accession shall be effected by the deposit of an instrument of accession with the Secretary-General of the United Nations. <br /><br /><strong>Article 26 </strong><br />1. A request for the revision of the present Convention may be made at any time by any State Party by means of a notification in writing addressed to the Secretary-General of the United Nations. <br />2. The General Assembly of the United Nations shall decide upon the steps, if any, to be taken in respect of such a request. <br /><br /><strong>Article 27 </strong><br />1. The present Convention shall enter into force on the thirtieth day after the date of deposit with the Secretary-General of the United Nations of the twentieth instrument of ratification or accession. <br />2. For each State ratifying the present Convention or acceding to it after the deposit of the twentieth instrument of ratification or accession, the Convention shall enter into force on the thirtieth day after the date of the deposit of its own instrument of ratification or accession. <br /><br /><strong>Article 28 </strong><br />1. The Secretary-General of the United Nations shall receive and circulate to all States the text of reservations made by States at the time of ratification or accession. <br />2. A reservation incompatible with the object and purpose of the present Convention shall not be permitted. <br /><br />3. Reservations may be withdrawn at any time by notification to this effect addressed to the Secretary-General of the United Nations, who shall then inform all States thereof. Such notification shall take effect on the date on which it is received. <br /><br /><strong>Article 29 </strong><br />1. Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation or application of the present Convention which is not settled by negotiation shall, at the request of one of them, be submitted to arbitration. If within six months from the date of the request for arbitration the parties are unable to agree on the organization of the arbitration, any one of those parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in conformity with the Statute of the Court. <br />2. Each State Party may at the time of signature or ratification of the present Convention or accession thereto declare that it does not consider itself bound by paragraph I of this article. The other States Parties shall not be bound by that paragraph with respect to any State Party which has made such a reservation. <br /><br />3. Any State Party which has made a reservation in accordance with paragraph 2 of this article may at any time withdraw that reservation by notification to the Secretary-General of the United Nations. <br /><br /><strong>Article 30 </strong><br />The present Convention, the Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts of which are equally authentic, shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. <br />IN WITNESS WHEREOF the undersigned, duly authorized, have signed the present Convention. <br /><br /><br /><br /></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-72006817308706562452008-12-05T12:17:00.000-08:002008-12-05T12:19:02.415-08:00TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM DAN HAM<div align="justify">Istilah : Hak Asasi Manusia —– Human Rights (hak-hak manusia) <br />Pengertian HAM : hak-hak yang seharusnya diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodratnya sebagai manusia. </div><div align="justify"><br />Hubungan antara HAM dengan konsep Negara hukum<br />Negara hukum (the rule of law) lahir pada zaman Paus VII and Henriech IV th 1122, dimana kekuasaan raja/ gereja sebelumnya bersifat mutlak, perintahnya mengingkat kepada orang lain namun tidak pernah mengikat raja tersebut dimana kekuasaan semacam ini dikenal sebagai (the rule of man — titah). Jadi dengan lahirnya konsep the rule of law maka segala hukum yang lahir dari konsep kesepakatan ditempatkan pada posisi paling tinggi, yang pada akhirnya mendorong lahirnya “magna charta” yang isinya membatasi kekuasaan raja dan menghormati hak-hak warga kota (citizen). Jadi dalam suatu negara yang menerapkan konsep the rule of law, maka jaminan akan dihormatinya HAM lebih mudah diwujudkan.</div><div align="justify"><br />Sejarah HAM Internasional<br />1. Di Inggris 1215 ; Magna Charta ; membatasi kekuasaan raja2 (raja John)<br /><br />2. Setelah PD I : Perjanjian negara-negara Eropa untuk melindungi kelompok minoritas dan harus dituangkan ke dalam uu Negara tersebut<br /><br /><br />3. Abad 19 : Penghapusan perdagangan budak dan perlindungan hak buruh samapi lahirnya konvensi LBB untuk menghapus Perbudakan dan Perdagangan Budak). Pendirian ILO Pendirian ICRC Lahirnya Konvensi Genewa 1864 tentang perlindungan korban perang dan batas-batas cara dan pemakaian mesin perang. Lahirnya Konvensi Den Hag tentang pelarangan penggunaan gas beracun, senjata kimia Lahirnya Declaration of the Rights of Man and of citizens, AS 1776 diikuti Belanda 1798, Swedia 1709, Norwegia 1814, belgia 1831, Spanyol 1812 dsb.<br /><br />4. Setelah Perang Dunia II Lahir Konvensi Genewa 1949 tentang Hukum Humaniter 1977 lahir Konvensi Genewa tentang gabungan antara konvensi genewa tentang perlindungan korban perang dan konvensi tentang tata cara perang. <br /><br />5. Abad 20<br />Nazi 1930-1940 Holocoust: pembantain kaum minoritas <br />1948 Universal Decalaration of Human Rights <br />The International Covenant on Civil and Political Rights <br />1966 The International Covenant on Economical and Social and Cultural Rights</div><div align="justify"><br />Hubungan antara HAM Internasional dengan HAM Nasional<br /><br />a. Hukum HAM Internasional merupakan sumber hukum bagi lahirnya hukum HAM Nasional.<br />b. Hukum HAM Internasional mengikat bila memuat kewajiban-kewajiban internasional bagi para pihak yang meratifikasi dan telah memenuhi jumlah peserta yang ditetapkan dalam perjanijan tersebut.<br />c. Hukum HAM Internasional mengikat jika Indonesia menjadi peserta dari Perjanjina Internasional tersebut.<br />d. Hukum HAM Internasional mengikat sepanjang Negara tersebut tidak melakukan keberatan-keberatan tertentu dalam klausula perjanjian tersebut.<br /><br /><br /></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-453366891773165647.post-64994750798493385782008-12-05T12:00:00.000-08:002008-12-05T13:59:26.551-08:00SEKILAS MENGENAI KORUPSI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_DIYQatGp7_w/STmkNzCnNzI/AAAAAAAAABI/m-We9MruN0U/s1600-h/images1344063_images1337033_corruption2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 180px; height: 180px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_DIYQatGp7_w/STmkNzCnNzI/AAAAAAAAABI/m-We9MruN0U/s320/images1344063_images1337033_corruption2.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5276428995387668274" /></a><br /><div align="justify">Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal.<br />Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan Negara.<br />Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.<br />Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah<br />Indonesia baru-baru ini. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya. Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi: <br />1. Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar dan tidak taat azas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah atau dalam rangka kerjasama pemerintah/BUMN/BUMD dengan swasta. <br />2. Fasilitas kredit, pajak, bea masuk dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau membuat aturan/keputusan untuk itu secara eksklusif. <br />3. Penetapan harga penjualan atau ruislag.<br /><br />The United Nations Convention against Corruption was adopted by the United Nations General Assembly on 31 October 2003 (Resolution 58/4).<br />To combat corruption it includes measures on:<br />a. prevention<br />b. criminalization<br />c. international cooperation<br />d. asset recovery<br /></div><p align="justify">The treaty entered into force on 14 December 2005, following the 30th ratification by Ecuador on 15 September at the 2005 World Summit.</p><p align="justify">Pengertian Tidak Pidana Korupsi <br /></p><div align="justify">UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001 , menyebutkan bahwa pengertian korupsi setidaknya mencakup segala perbuatan : <br />1. Melawan Hukum, memperkaya diri, orang/badan yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2).<br />2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (pasal 3).<br />3. Kelompok delik penyuapan (pasal 5, 6 dan 11)<br />4. Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan 10)<br />5. Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12)<br />6. Delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7)<br /></div><p align="justify">7. Delik Gratifikasi ( pasal 12B dan 12C)<br /></p><div align="justify">PENYEBAB TERJADINYA KORUPSI<br />1. Kurangnya akses bebas warga Negara terhadap pemerintah yang berkaitan dengan informasi public.<br />2. Kurangnya system jaminan transparansi, pengawasan, dan tanggung jawab dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran sector public terkait dengan rendahnya mekanisme control sosial <br />3. Penyalahgunaan kebijaksanaan dan ketidakpastian dalam penafsiran dan penerapan peraturan per-UU-an dalam penyelenggaraan public <br />4. Kurangnya system internal untuk menjamin keterbukaan, pengawasan dan tanggung jawab dalam bentuk dan pelaksanaan kebijakan public.<br /><br />TIPE-TIPE KORUPSI <br />1. Penyuapan, meliputi janji penawaran atau pemberian sesuatu keuntungan yang seharusnya tidak pantas untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan seorang pejabat public.<br />2. Penggelapan, pencurian, dan perbuatan curang. Kejahatan-kejahatan ini meliputi pencurian harta kekayaan oleh seseorang kepercayaan dengan kewenangan dan pengawasan terhadap kekayaan pemerintah.<br /></div><p align="justify">3. Pemerasan, perbuatan pemerasan meliputi pemaksaan seseorang untuk membayar uang atau barang-barang berharga.<br /></p><div align="justify">UPAYA-UPAYA PEMERINTAH DALAM MEMBERANTAS KORUPSI<br />1. TAP MPR No.VIII/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemebrantasan dan pencegahan KKN.<br />2. UU no.28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas KKN (ln no. 75 tahun 1999 tambahan lembaran Negara No. 2851)<br />3. UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi<br />4. UU no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.<br />5. Pembentukan komisi pemberantasan tindak pidana korupsi yang independen dan diatur dalam UU no 30 tahun 2002.<br /><br /><br /></div>INSPIRASI HUKUMhttp://www.blogger.com/profile/08835233535543326592noreply@blogger.com0