EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM RANCANGAN KUHP NASIONAL DITINJAU DARI DARI PASAL 28 I

oleh :
oktarinaz maulidi
Pidana mati merupakan satu jenis pidana dalam usianya, setua usia kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua sistem pidana, baik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di negara-negara yang menganut Civil Law.
Mempersoalkan hukuman mati dalam hukum pidana sebagai sarana mencapai tujuan dari hukum pidana itu sendiri, telah banyak menimbulkan perdebatan antar sesama ahli hukum pidana, diantara mereka ada yang pro dan juga ada yang kontra terhadap penggunaan sarana pidana mati sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana yaitu memberikan rasa aman, memberikan keadilan dan sebagainya.

Dalam hukum pidana Indonesia penggunaan hukuman mati dirasakan masih sangat efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat dikualifikasikan kejahatan yang berat. Hal itu dapat dilihat dari KUHP nasional yang masih menempatkan hukuman mati sebagai pidana pokok selain itu terhadap hukum pidana di luar KUHP juga terdapat sebagian yang menempatkan hukuman mati sebagai sanksi dari dilanggarnya perbuatan tersebut.
Adapun motif yang melatar belakangi masih digunakannya pidana mati sebagai saranan politik kriminal di Indonesia yakni: hukuman mati memiliki tingkat efektif yang lebih tinggi dari ancaman hukuman mati lainnya karena memiliki efek yang menakutkan (shock therapi) disamping juga lebih hemat. Hukuman mati digunakan agar tidak ada eigenrichting dalam masyarakat. Secara teoritis hukuman mati ini juga akan menimbulkan efek jera (detterent effect) yang sangat tinggi sehingga akan menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana, sehingga bisa dijadikan sebagai alat yang baik untuk prevensi umum maupun prevensi khusus. Disamping itu masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan pada aspek pembalasan (retributive), dan utamanya masih dipertahankannya.
.
Awal diberlakukannya praktek hukuman mati di Indonesia yaitu pada waktu Indonesia yang bernama Hindia Belanda adalah ketika diberlakukannya kodifikasi hukum pidana dalam Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (indonesiers) atau WvSinl pada tanggal 1 Januari 1873. Kemudian karena adanya perkembangan baru dimana lahirnya kodifikasi pertama hukum pidana yang ada di belanda yang maka WvSinl tersebut kemudian disesuaikan dengan perkembangan tersebut dengan melakukan unifikasi hukum pidana di seluruh wilayah Indonesia. Maka pada tahun 1915 diundangkanlah Wetboek van strafrecht voor Indoensie, (WvSI) dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. Berbeda dengan Belanda, di Hindia Belanda di dalam WvSi tersebut masih dicantumkan hukuman mati. Di Belanda sendiri pada tahun 1870, tiga tahun sebelum di berlakukannya WvSinl di Hindia Belanda, hukuman mati telah dihapuskan. Hukuman mati Dipertahankan di Hindia Belanda karena dipandang sebagai hukum darurat, yang mana penerapan hukuman yang di anggap terberat oleh pemerintah Kolonial. Yakni: Kejahatan berat terhadap mati ini di Hindia Belanda dibatasi pada kejahatankejahatan keamanan negara, pembunuhan, pencurian dan pemerasana dengan pemberatan, perampokan, pembajakan pantai pesisir dan sungai.

Menurut Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah :
1. Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
Selain terhadap kejahatan yang diatur dalam KUHP, undang-undang hukum pidana diluar KUHP juga ada yang mengatur tentang pidana mati. Peraturan tersebut antara lain :
1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.
2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.
4. Pasal13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom.
5. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika
6. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.

Hukuman Pidana Mati yang berlaku di Indonesia diatur dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan Peradilan Umum dan Militer. Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964 dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia dimana pada saat sebelum Penetapan Presiden yang berlaku adalah hukuman gantung.

Dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 ini secara tegas-tegas menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan, baik dilingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati (pasal 1) dengan tata cara sebagai berikut :

1. Dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.
2. Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang didalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu (pasal 2).
3. Kepala Polisi Daerah (KAPOLDA) bertanggung jawab untuk pelaksanaannya sekaligus menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati.
4. Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang KAPOLDA lain, maka KAPOLDA tersebut merundingkannya dengan KAPOLDA itu.
5. KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi atau jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.
6. Menunggu pelaksanaan pidana mati, Terpidana ditahan dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi.
7. 3 X 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut.
8. Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangannya atau pesannya itu diterima oleh jaksa Tinggi/ Jaksa tersebut.
9. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
10. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.
11. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara seserdana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
12. Untuk pelaksanaan pidana mati, KAPOLDA yang bertanggung jawab membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara (Brigadir - sekarang), 12 orang tamtama dibawah pimpinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob POLRI).
13. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya.
14. Regu penembak ini dibawah perintah Jaksa Tinggi/ jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.
15. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
16. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rokhani.
17. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
18. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, Komandan Pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya.
19. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut.
20. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/ jaksa dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikatkan kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
21. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ketempat yang ditentukan oleh Jaksa.
22. jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.
23. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
24. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
25. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
26. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka komandan regu penembak segera memerintahkan kepada Bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
27. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter.
28. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa memutus lain.
29. Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan yang ditentukan oleh agama/ kepercayaan yang dianut terpidana.

Sejalan dengan berlakunya hukuman mati di Indonesia, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi, walaupun putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut sudah dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas.
Disisi lain pertentangan penggunaan pidana mati dalam hukum pidana Indonesia datang Kalangan organisasi non-pemerintah atau Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati sudah kehilangan sukma konstitusi dan bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan.
Melihat hasil dari keputusan Mahkamah konstitusi mengenai penggunaan pidana mati sebagai sanksi bagi pelanggaran hukum pidana, sehinnga Didalam pembaharuan hukum pidana (law reform/penal reform) masalah pidana mati sepertinya masih akan digunakan walaupun ada pergeseran penggunaannya di banding KUHP nasional yang ada sekarang ataupun undang-undang hukum pidana di luar KUHP.

B. PERMASALAHAN
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas jelas bahwa hukuman mati tidak dapat dipisahkan dari hukum pidana Indonesia, baik itu sebagai upaya pencegahan (preventif) ataupun penindakan (represif) terhadap pelanggaran yang terjadi di dalam masyarakat.
Yang menjadi permasalahan sekarang apakah sama penerapan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam KUHP nasional dengan rancangan KUHP yang akan datang atau dengan kata lain bagaimana eksistensi hukuman mati dalam rancangan KUHP ?

C. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini hanya ingin mengetahui apakah ada pergeseran dalam penggunaan pidana mati dalam rancangan KUHP nantinya ataukah sama saja dengan yang diatur dalam KUHP nasional yang ada sekarang dan juga untuk mengetahui untuk pelanggaran apa saja yang dapat dikenakan dengan sanksi pidana mati.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 

A. MASALAH HUKUMAN MATI DALAM PERSFEKTIF GLOBAL
Sejak kapan manusia mempunyai ide menghukum mati manusia lain? Tentu susah menemukan tahun kelahiran hukuman mati. Yang pasti hukuman mati resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya undang-undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi. Saat itu ada 25 macam kejahatan yang diancam hukuman mati.
Berbicara tentang hukuman atau pidana mati yang terpenting haruslah kita ketahui bersama adalah mengenai pengertian dari hukuman mati itu sendiri. Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh wikepedia bahwa hukuman atau pidana mati adalah ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Dalam prakteknya hukuman mati masih banyak digunakan dibeberapa Negara sebagai sanksi dari pelanggaran berat hukum pidana itu sendiri. Negara-negara yang masih menggunakan hukuman mati sebagai sarana pidana terhadap kejahatan-kejahatan yang dianggap berat oleh Negara-negara itu sendiri, Negara-negara tersebut adalah Iran, Tiongkok, Saudi Arabia, Amerika Serikat, Mesir, Irak, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura, Guatemala, Thailand, Tiongkok, Somalia, Taiwan, Afganistan termasuk Indonesia.
Di dalam sejarah hukuman mati di dunia Negara-negara tersebut masing-masing-masing memiliki caranya sendiri-sendiri. Cara pelaksanaan hukuman mati adalah sebagai berikut :
1. pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,
2. sengatan listrik: Amerika Serikat
3. digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura
4. suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS
5. tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain
6. rajam: Afganistan, Iran
Di Indonesia sendiri sebelum Indonesia menjadi Negara kesatuan seperti sekarang ini, penggunaan sarana pidana mati sesungguhnya sudah diterapkan oleh kerajaan atau suku-suku yang ada di Indonesia waktu itu. Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lainlain .
Di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Batak, jika pembunuh tidak membayar yang salah dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk pidana mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Demikian pula bila seseorang melanggar perintah perkawinan yang eksogami. Kalau di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana mati juga diancamkan bagi pelaku kawin sumban Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang. Di Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati. Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati. Di Nias bila dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan. Di pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain. Dengan melihat uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku-suku bangsa Indonesa telah mengenal pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Jadi bukan bangsa Belanda dengan WvS-nya yang memperkenalkan pidana mati itu pada bangsa Indonesia.
Di Negara-negara tersebut yang tetap mempertahankan pidana mati sebagai sanksi dari pelanggaran terhadap perbuatan yang dianggap serius (extra ordinary crime) bukanya tanpa alasan. Alasan klasik mengapa hukuman mati masih banyak dipakai sebagai sarana penegakan hukum pidana adalah karena adanya ancaman hukuman mati dalam ketentuan yurudis, diharapkan menumbuhkan efek jera dan pembelajaran bagi khalayak akan arti penting menjaga hak-hak sesama dan tidak melanggarnya.
B. PANDANGAN ISLAM MENGENAI HUKUMAN MATI
Di dalam Alquran surat al-Mulk ayat 2 diingatkan bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Karena itu, Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia masih berada dalam kandungan ibu sampai sepanjang hidupnya. Islam sangat memuliakan keturunan anak Adam. Dan untuk melindungi keselamatan hidup manusia, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-sanksinya, baik di dunia seperti hukuman had, diyat (denda) dan termasuk hukuman mati (qisas), maupun hukuman di akhirat kelak.
Bentuk peraturan dalam ajaran Islam terdiri dari hudud dan ta’zir. Hudud adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggaran dan sanksinya sudah di atur secara pasti. Sedangkan ta’zir adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggarannya sudah di atur tetapi bentuk sanksinya di serahkan kepada Negara .
Dalam agama Islam dikenal apa yang dinamakan kisas. Kisas yaitu memberikan perlakuan yang sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukannya terhadap korban. Kisas diterapkan terhadap pelaku pembunuhan. Dasar berlakunya kisas ini adalah berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah, yakni surat kedua dari Al-Quran, ayat 178 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Dalam Kitab Suci umat Islam ini terdapat surat yang isinya sangat jelas menunjukan bahwa Islam sejalan dengan teori absolut, yakni surat Al-Maaidah ayat 45 yang artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan hak qishaashnya, maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”. Surat ini dan surat-surat sebelumnya menunjukan bahwa Allah SWT menetapkan bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal bagi tindak pidana pembunuhan karena begitu beratnya akibat dari pembunuhan tersebut.
Dalam pemberlakuan hukuman mati dalam islam tidaklah mudah, dalam islam sebelum menjatuhkan hukuman mati kepada si pelaku haruslah ada terlebih dahulu adanya proses pembuktian. Adapun untuk diberlakukannya kisas terdapat beberapa syarat, yaitu:
1. Pelaku seorang mukalaf, yaitu sudah cukup umur dan berakal.
2. Pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja.
3. Unsur kesengajaan dalam pembunuhan itu tidak diragukan lagi.
4. Pelaku pembunuhan tersebut melakukannya atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari orang lain.
Dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian pelakunya terjadi pada dua kasus. Pertama, pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Menurut Ibn Mundzir, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan (Kifayah:368). Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi harga diri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.
Kedua, pelaku pembunuhan berencana (disengaja) (QS. Al-Nisa": 93). Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga.
Dalam hal terjadi pembunuhan yang melibatkan pelaku dan korban yang memiliki hubungan keturunan, maka kisas tidak dapat diberlakukan.
Mengenai kisas ini banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para pemuka agama Islam itu sendiri, di antaranya mengenai cara pelaksanaan kisas. Pendapat pertama mengatakan bahwa kisas hanya bisa dilakukan dengan pedang atau senjata, terlepas dari pembunuhan yang telah dilakukan menggunakan pedang atau tidak. Pendapat kedua mengatakan bahwa kisas itu dilakukan sesuai dengan cara dan alat yang digunakan pembunuh pada saat melakukan pembunuhan. Namun terdapat kesepakatan di antara ahli agama Islam bahwa apabila ada alat lain yang dapat lebih cepat menghabisi nyawa terpidana, maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama.
Bagi penegak hukum dalam negara Islam terdapat prinsip “Lebih baik salah memaafkan dari pada salah menghukum”. Prinsip ini menunjukan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman, khususnya hukuman mati. Apabila seseorang mengakui kesalahan yang telah dilakukannya serta bertaubat dengan sungguh-sungguh, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 34, maka ia akan di ampuni atas perbuatannya oleh Allah. Penegak hukum Islam juga berpedoman pada ayat tersebut dalam menegakkan hukum Islam. Maka apabila seorang pelaku kejahatan menyerahkan diri lalu mengakui perbuatannya dan bertaubat, hendaknya menjadi suatu pertimbangan bagi para penegak hukum dalam proses penjatuhan hukuman.
Dari apa yang telah dilakukan islam mengenai hukuman mati dan sebagainya bukannya tanpa alasan, dalam islam terdapat tujuan pokok diterapkannya hukum Islam. Pertama, tujuan primer (al-dharury), yakni tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan ini tidak tercapai akan menimbulkan ketidakajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akherat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari "ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
Kedua, tujuan sekunder (al-haajiy), yakni terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder. Jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kesukaran bagi manusia, namun tidak sampai menimbulkan kerusakan. Ketiga, tujuan tertier (al-tahsiniyyat), yakni tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.

C. PRO DAN KONTRA HUKUMAN MATI DIPANDANG DARI HAK MANUSIA UNTUK HIDUP
Pidana mati (doodstraf) adalah pidana yang merampas satu kepentingan hukum, yakni jiwa atau manusia. Hukuman mati selalu menjadi perdebatan menarik setiap kali terpidana mati dieksekusi. Yang selalu menjadi pertanyaan sekarang Masih layakkah hukuman mati tetap dicantumkan dalam perundangundangan kita? Manusiawikah pidana mati tetap diterapkan di Indonesia?. Kalangan organisasi non-pemerintah atau Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati sudah kehilangan sukma konstitusi dan bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih.

mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan. Di lain pihak banyak yang setuju atas penerapan hukuman mati.
Berikut ini adalah beberapa alasan saya mengenai penghapusan hukuman mati :
1. Alasan Legal
Di Indonesia, hukuman mati bertentangan dengan Konstitusi RI (UUD 1945) pasal 28i ayat (1).
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi (diambil) dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun. Jika negara “dengan sengaja” mengambil hak hidup warganya, termasuk dgn hukuman mati, maka jelas melanggar UUD 1945. Ironisnya, Konstitusi kita sudah melarang hukuman mati, sedangkan UU dibawahnya (KUHP) masih melegalkan hukuman mati.
Negara juga tidak bisa menempatkan dirinya sebagai Tuhan. Logika bahwa korban dicabut hak hidupnya oleh pembunuh, dan kemudian si pembunuh dicabut hak hidupnya oleh negara (pengadilan) menempatkan kita dalam fatalisme sempit tentang kekuasaan negara atas hidup manusia. Selama konstitusi negara kita masih menempatkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun maka hukuman mati merupakan suatu tindakan yang melanggar konstitusi.

2. Alasan Penghargaan Terhadap Kehidupan

Penghargaan terhadap kehidupan adalah nilai utama yang berlaku universal. Hidup dan kehidupan adalah anugerah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, dan hanya Tuhan sendiri yang bisa mengambilnya. Dalam agama, konsep kesucian hidup (sanctity of life) adalah konsep yang diakui, bahwa hidup manusia adalah suatu hal yang suci dan merupakan anugerah dari Tuhan.
Di satu sisi agama sangat menghormati kehidupan, tetapi disisi yang lain agama juga masih memberlakukan hukuman mati. Pelaku kejahatan (narkoba, koruptor, pembunuh, dll) adalah manusia yang harus dihargai kehidupannya, walaupun mereka sendiri tidak menghormati kehidupan orang lain. Kita tidak bisa “membunuh” mereka karena akan menjadikan kita menjadi sama seperti mereka. Tidak akan ada yang berubah (korban bisa hidup kembali, uang korupsinya kembali, dll) jika pelakunya dihukum mati. Tidak ada yg berubah karenanya selain memuaskan keinginan manusia untuk membalaskan dendam kejahatan si pelaku.

3. Alasan Sebab-Akibat
Pelegalan hukuman mati dengan dasar pandangan bahwa hukuman mati itu bisa membuat orang lain menjadi JERA dan tidak mengulang kejahatan tersebut sudah lama tidak lagi menjadi pandangan utama dalam pemikiran filsafat hukum. Hal ini dikarenakan tidak adanya korelasi antara penjatuhan hukuman mati dengan menurunnya tingkat kriminalitas yang diancam dengan hukuman mati.
Selain itu negara juga tidak berusaha mencari jenis hukuman lain yang berdampak langsung terhadap masyarakat tanpa mengorbankan hidup. Konsep yang sering ada dibalik alasan hukuman mati adalah konsep dimana negara ingin menerapkan low-cost pada sistem hukumnya. Dengan menghukum mati, maka negara tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan yang dikeluarkan untuk mengedukasi dan mendidik warga negaranya. Dengan memberlakukan hukuman mati maka secara ekonomis negara diuntungkan karena biaya yang dikeluarkan untuk lembaga pemasyarakatan otomatis akan berkurang jika terdakwa dihukum seumur hidup, sebagai contoh. Dalam hal ini membandingkan antara nyawa dan hidup manusia dengan cost (biaya) adalah suatu pemikiran yang menyedihkan.

4. Alasan Pendidikan dan Pembelajaran
Pandangan yang sekarang ini dianut dalam filsafat hukum adalah suatu hukuman haruslah mempunyai suatu efek pembelajaran, khususnya bagi terdakwa. Seorang terdakwa dihukum agar dirinya dapat belajar dari tingkah lakunya dan tidak akan melakukan kejahatan itu nantinya. Semua orang mempunyai kapasitas untuk belajar dan berubah.

5. Alasan Fatalisme
Hukuman mati menutup kemungkinan seseorang untuk berubah (bertobat, insyaf, belajar). Dengan menjatuhkan hukuman mati, negara langsung memvonis bahwa seorang terhukum PASTI tidak akan berubah. Padahal setiap orang mempunyai kemungkinan untuk berubah. Pada kasus-kasus tertentu dimana hukuman tidak bisa dijatuhkan adalah pada terdakwa yang didiagnosis gila atau mempunyai keterbatasan mental.
Tujuan suatu hukuman adalah membuat si terhukum belajar dari perbuatannya dan membuktikan kepada masyarakat bahwa dia bisa berubah. Dan hukuman mati menghapus kesempatan itu.

6. Alasan Ketidaksempurnaan Hukum
Fakta sejarah menunjukkan bahwa hukum itu tidak sempurna. Banyak kita lihat, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, kasus terhukum yang diubah hukumannya setelah mendapat bukti-bukti baru. Yang saya ingat dengan jelas adalah kasus Pakde di tahun 80-an yang saat itu terbukti bersalah membunuh artis Suzana, yang kemudian dibebaskan bertahun-tahun kemudian, karena ada bukti-bukti baru dan terjadinya kesalahan proses peradilan masa itu, yang menunjukkan bahwa Pakde tidak bersalah. Pelaksanaan hukuman mati menyebabkan revisi terhadap fakta ini tidak bisa terjadi, karena sang terhukum sudah terlanjur mati (dan kenyataan ini pernah terjadi di Amerika, di mana ditemukan seseorang ternyata tidak bersalah terhadap suatu kasus, padahal orang tersebut sudah terlanjur dihukum mati).
Ada empat analisis utama dalam pemberian hukuman dalam yurisprudensi hukum di dunia, tiga diantaranya adalah : (1) analisis literal yang menganggap bahwa jenis hukuman yg harus dilarang adalah hukuman yg membawa penderitaan fisik yang parah, (2) anlisis historis yang menganggap hukuman yg harus dilarang adalah hukuman yg dianggap kejam dan tidak manusiawi, (3) analisis konsensus, bahwa jenis hukuman yg harus dilarang adalah yg bertentangan dgn kesadaran MORAL warga negara. Kalau kita menempatkan hukuman mati dalam analisis hukum yurisprudensi seperti diatas, maka hukuman mati selayaknya dilarang secara hukum.
Semua orang wajib menghargai hidup orang lain, tapi bertindak sebaliknya tidak otomatis menyebabkan dia tercabut hak hidupnya karena hak hidup diberikan oleh Tuhan, maka selayaknya dicabut oleh Tuhan. Tanggung jawab si pembunuh adalah pada Tuhan, dan kewajiban manusia yang lain yang maksimal adalah dengan membuat pembunuh ini tidak mengulangi perbuatannya pada manusia lain, tanpa berhak mencabut hak hidupnya.
Di Indonesia sebagai salah satu Negara yang masih menggunakan hukuman mati sebagai sarana penegakan hukum pidana, walaupun WVs (KUHP Negara Belanda) telah menghapuskan pidana mati itu sendiri.
Alasan-alasan Hindia Belanda (Indonesia) tidak mengikuti menghapuskan pidana mati ini dapat dilihat dalam alasan-alasan di bawah ini :
1. Keadaan khusus Hindia Belanda sebagai archipelago yang komunikasinya sukar.
2. Alat-alat keamanan Negara kurang
3. Penduduknya heterogen, sehingga mudah bentrok
Diantara para sarjana-sarjana yang setuju dengan tetap dipertahankannya pidana mati ini mengemukakan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :
1. Betul-betul untuk kepentingan umum, artinya hanya akan dijatuhkan apabila kepentingan umum sangat terancam
2. Hakim harus benar-benar yakin akan kesalahan yang bersangkutan dengan pembuktian yang selengkap-lengkapnya
3. Harus diancamkan secara alternative, agar hakim dapat memilih.
Sebagai catatan beberapa alasan pemikiran yang terkait dengan aliran yang pro terhadap pidana adalah:
Bichon van Ysselmonde, yang menyetujui tetap adanya pidana mati, mengatakan antara lain: “Saya masih selalu berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan dari pidana mati itu harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut kepatutan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya, Kedua-duanya jure divino et humano. Pedang pemidana, seperti juga pedang perang harus ada pada negara. Ini menjadi kewajiban dari negara. Hak dan kewajiban ini tidak boleh diserahkan begitu saja, tetapi haruslah dipertahankannya dan juga digunakan”
De Savornin Lohman, “ Dalam Kitab Undang-undang tidaklah boleh tidak ada pengakuan bahwa negara mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa dari penjahat yang tidak mengindahkan zedewet samasekali. Hukum pidana itu pada hakekatnya tidak lain dari hukum membalas dendam. Bila suatu kejahatan dilakukan, maka saya masih termasuk orang yang mau mengatakan: kejahatan itu menghendaki adanya pembalasan. Itu tidak hanya sekarang, tetapi seperti itulah selalu dan dimana-mana demikian. Bila seseorang menginjak-injak zedewet sedemikian rupa sehingga dengan perbuatannya itu dia menunjukkan tidak mengakui hukum lagi, maka negara berhak dan berkewajiban melenyapkannya dari masyarakat”.
Mr. Dr Rambonnet, “adalah tugas dari penguasa negara untuk mempertahankan ketertiban hukum. Mempertahankan ketertiban hukum itu diujudkan oleh pidana. Jadi dari sini kita berkesimpulan, bahwa penguasa negara mempunyai hak untuk memidana, artinya membalas kejahatan. Dan hak dari penguasa untuk memidana mati itu adalah akibat yang logis daripada haknya untuk membalas dengan pidana. Kalau karena kejahatan itu terganggulah ketertiban tersebut dalam satu bagian yang tertentu saja, maka hubungan yang baik akan dapat dipulihkan kembali dengan mengeluarkan atau tidak menurut sertakan penjahat itu dalam sebagian pula dari kesejahteraan umum. Ini secara umumnya dapat dilakukan dengan merampas kemerdekaannya, melukai hak miliknya dsb. Tetapi … jika kejahatan itu tidak mengganggu ketertiban itu hanya dalam satu bagian tertentu saja darinya, melainkan membuangkan dan merusakkan seluruh ketertiban, maka ketertiban yang terancam itu dapat dipulihkan kembali dengan benar-benar sama sekali melenyapkan seluruhnya dia ini dari turut sertanya dalam kesejahteraan umum itu dengan membunuh penjahat tersebut, sebab selagi dia masih hidup, maka dia masih turut serta dalam kesejahteraan umum itu maka negarapun akan mempunyai hak untuk melaksanakan pidana mati”.
Bapak kriminologi Lombroso dan Garofalo, “pidana mati adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Dan karenanya kedua sarjana inipun menjadi pembela pidana mati. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tak terperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang sedemikian besar biayanya. Begitu pula hilanglah ketakutan-ketakutan kita kalau-kalau orang-orang demikian melarikan diri dari penjara dan membikin kejahatan lagi dalam masyarakat”
Thomas R Eddlem dalam artikelnya “Ten Anti-Death Penalty Fallacies”, menyanggah keras tudingan kaum abolisionis yang menyatakan bahwa hukuman mati sebagai melestarikan suatu siklus kekerasan dan mempromosikan “sense of vengeance” (rasa dendam) dalam kultur umat manusia. Kaum abolisionis mengatakan bahwa kita tidak boleh mengajarkan bahwa kita pantas membunuh orang yang bersalah (lihat pendapat Rolling pada bagian yang kontra pidana mati).
Achmad Ali, “hukuman mati sangat dibutuhkan khususnya di Indonesia, tetapi harus diterapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik artinya hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius ("heinous") mencakupi korupsi, pengedar narkoba, teroris, pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana. Dan yang dimaksudkan dengan selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar yang telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan (“beyond reasonable doubt”) bahwa memang dialah sebagai pelakunya. Misalnya terdakwa sendiri secara gamblang mengakui perbuatannya, seluruh alat bukti memang “menyatakan” diri terdakwalah sebagai pelakunya. Masih menurut Achmat Ali, UUD 1945 hasil Amandemen, sama sekali tidak melarang hukuman mati. Memang benar ada Pasal 28 I (1), yang berbunyi
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

Tetapi Pasal 28 I (1) harus dilengkapi dengan juga memahami apa yang terkandung dalam pasal 28 J (2) yang berbunyi:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Jika hanya membaca Pasal 28 I (1) itu saja, maka memang terkesan seolah-olah konstitusi kita “melarang hukuman mati”, tetapi begitu kita membaca lengkap Pasal 28 I (1) maupun Pasal 28 J (2), maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan papun, tetapi pelaksanaan hak tersebut harus dibatasi bahwa pelaksanaan semua hak tersebut haruslah:
a. sesuai dengan undang-undang;
b. sesuai dengan pertimbangan moral;
c. sesuai dengan nilai agama;
d. sesuai dengan keamanan dan ketertiban umum.
Dengan kata lain, “dikecualikannya” jaminan hak yang ada dalam pasal 28 I (1) itu dimungkinkan jika berdasarkan undang-undang, pertimbangan moral, nilai agama, demi keamanan dan ketertiban umum.

Lebih penting lagi adalah hukuman mati tetap diperlukan karena tindakan dari pelaku sendiri yang tidak lagi memperhatikan aspek kehidupan yang berperikemanusiaan (Sila kedua dari Pancasila) dan kehidupan yang penuh dengan berkeadilan sosial (Sila kelima dari Pancasila).
Pemikir hukum pidana Islam Indonesia, Daud Rasyid, terkait dengan pidana mati menyatakan, untuk memahami sanksi-sanksi pidana dalam perspektif Islam, kita sebaiknya terlebih dahulu melihat Islam dalam acuan berfikir yang global. Hal ini penting, agar kita terhindar dari kekeliruan dalam memahami konsep Islam yang menganut sistem universal dan holistik. Memandang Islam dalam sudut ‘vonnis’ semata, tanpa mengaitkannya dengan aspek lain yang sesungguhnya tak boleh terpisah, dapat memberikan kesan yang tidak positif tentang agama Islam.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Eksistensi Pidana Mati Dalam Rancangan KUHP
Penggunaan sarana pidana mati di Indonesia memang tidak dapat dipisahkan jiwa hukum pidana Indonesia sebagai sarana penjatuhan pidana terhadap pelanggaran yang terjadi terlepas dari apa tujuan pidana mati itu sendiri.Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski diwarnai dengan discenting opinion dan lingkup putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas. Ya, masyarakat kita masih memandang pidana mati masih layak untuk dipertahankan. Beberapa tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal logging agaknya pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik bagi halayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan mayarakat. Maka sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia, putusan MK ini mendapat apresiasi yang representatif.
Dengan putusan MK tersebut semakin memperkuat posisi pidana mati sebagai sarana penjatuhan pidana. Dalam RKUHP nasional tahun 2004 diketahui bahwa hukuman mati tidaklah diposisikan sebagai hukumam pokok melainkan sebagai pidana alternatif, sebagaimana diatur dalam pasal 63 RKUHP yang menyatakan bahwa : Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Dengan adanya pengaturan pidana mati di dalam Pasal 63, jelas bahwa pidana mati masih diperlukan sebagai bagian dari sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim.
Pertama-tama patut dikemukakan, bahwa Konsep KUHP (sistem hukum pidana materiel) dilatarbelakangi oleh berbagai pokok pemikiran yang secara garis besar dapat disebut “ide keseimbangan”. Ide keseimbangan ini antara lain mencakup:
1. keseimbangan monodualistik antara “kepentingan umum/ masyarakat” dan “kepentingan individu/perorangan”.
2. keseimbangan antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana keseimbangan antara unsur/faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) dan “subjektif” (orang/batiniah/sikap batin); ide “daad-dader strafrecht”;
3. keseimbangan antara kriteria “formal” dan “materiel”;
4. keseimbangan antara “kepastian hukum”, “kelenturan/ elastisitas/ fleksibilitas”, dan “keadilan”;
5. keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/ internasional/universal;

Di samping pokok pemikiran di atas, dipertahankannya pidana mati juga didasarkan pada ide “menghindari tuntutan/reaksi masyarakat yang bersifat balas-dendam, emosional, sewenang-wenang, tak terkendali atau bersifat “extra-legal execution”. Artinya, disediakannya pidana mati dalam Undang-Undang dimaksudkan untuk memberikan saluran emosi/tuntutan masyarakat. Tidak tersedianya pidana mati dalam Undang-Undang, tidak merupakan jaminan tidak adanya pidana mati dalam kenyataan di masyarakat. Oleh karena itu, untuk menghindari emosi balas dendam pribadi/masyarakat yang tidak rasional, dipandang lebih bijaksana apabila pidana mati tetap tersedia dalam Undang-Undang. Dengan adanya pidana mati dalam Undang- Undang, diharapkan penerapannya oleh hakim akan lebih selektif dan berdasarkan pertimbangan yang rasional/terkendali. Jadi dimaksudkan juga untuk memberi perlindungan individu/warga masyarakat dari pembalasan yang sewenang-wenang dan emosional dari korban atau masyarakat apabila pidana mati tidak diatur dalam Undang-Undang. Pokok pemikiran di atas, didasarkan pada pandangan teoritik, bahwa salah satu tujuan pidana adalah untuk:
1. “to create a possibility for the release of emotions that are aroused by the crime” (Emile Durkheim);
2. “to provide a channel for the expression of retaliatory motives” (Schwartz & Skolnick);
Di samping itu juga didasarkan pada pertimbangan, bahwa extra-legal execution itu sangat dikutuk oleh masyarakat dunia. Tindakan sewenang-wenang di luar hukum secara tegas dikutuk oleh kongres PBB keenam tahun 1980.
Mengenai eksistensi pidana mati dilihat dari sudut pandang Pancasila apakah tidak bertentangan dengan Amandemen kedua UUD’45 dan UU-HAM (No. 39/1999) yang menyatakan, bahwa: “setiap orang berhak untuk hidup” (Pasal 28A jo. Pasal 28 I UUD’45 dan Pasal 9 ayat 1 jo. Pasal 4 UU-HAM); dan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa” (Pasal33 ayat 2 UU-HAM), pertanyaan itulah yang sering dijadikan alasan oleh orang-orang yang kontra terhadap pidana mati untuk menghapuskan pidana mati.
Dari pertanyaan diatas dapat diberikan alasan mengapa pidana mati masih tetap digunakan dalam system hukum pidana Indonesia :
1. Dilihat sebagai satu kesatuan, Pancasila mengandung nilai keseimbangan antara sila yang satu dengan sila lainnya. Namun apabila Pancasila dilihat secara parsial (menitikberatkan pada salah satu sila), maka ada pendapat yang menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan Pancasila dan ada pula yang menyatakan tidak bertentangan dengan Pancasila. Jadi pendapat yang menolak dan menerima pidana mati, sama-sama mendasarkan pada Pancasila. Hal ini terlihat dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Fakultas Hukum UNDIP bekerjasama dengan Kejaksaan Agung pada tahun 1981/1982. Dalam laporan penelitian itu dinyatakan, bahwa “ada kecenderungan di antara mereka yang pro dan kontra (terhadap pidana mati, pen.), untuk menjadikan Pancasila sebagai “justification”.
2. “Hak untuk hidup” (Pasal 28A jo. Pasal 28 I UUD’45 dan Pasal9 ayat 1 jo. Pasal 4 UU-HAM) dan “hak untuk bebas dari penghilangan nyawa” (Pasal 33 UU-HAM) tidak dapat dihadapkan secara diametral (samasekali bertentangan) dengan “pidana mati”. Hal ini sama dengan “hak kebebasan pribadi” (Pasal 4 UU-HAM) atau “hak atas kemerdekaan” (Pembukaan UUD’45) yang juga tidak dapat dihadapkan secara diametral dengan “pidana penjara” Apabila dihadapkan secara diametral, berarti pidana “penjara” pun bertentangan dengan UUD’45 dan UU-HAM karena pidana penjara pada hakikatnya adalah “perampasan kemerdekaan/kebebasan”.
3. Pernyataan dalam UUD’45 dan UU-HAM bahwa “setiap orang berhak untuk hidup”, identik dengan Pasal 6 (1) ICCPR yang menyatakan, bahwa “every human being has the right to life”. Namun di dalam Pasal 6 (1) ICCPR, pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat tegas, bahwa “No one shall be arbitrarily deprived of his life”. Jadi walaupun Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan, bahwa “setiap manusia mempunyai hak untuk hidup”, tetapi tidak berarti hak hidupnya itu tidak dapat dirampas. Yang tidak boleh adalah “perampasan hak hidupnya secara sewenangwenang” (“arbitrarily deprived of his life”). Bahkan dalam Pasal6 (2) dinyatakan, pidana mati tetap dimungkinkan untuk “the most serious crimes”. Selanjutnya bahkan diatur pula dalam berbagai dokumen internasional mengenai “pedoman pelaksanaan pidana mati” (Lihat Resolusi Ecosoc PBB 1984/50 jo. Resolusi 1989/64 dan Resolusi 1996/15 yang mengatur “the Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty”). Dalam Resolusi Commission on Human Rights (Komisi HAM PBB) 1999/61 juga masih ada penegasan, bahwa pidana mati jangan dijatuhkan kecuali untuk “the most serious crimes” (dengan pembatasan/rambu-rambu: “intentional crimes with lethal or extremely grave consequences”).
4. Demikian pula dalam UU-HAM ada pembatasan dalam Pasal73 yang menyatakan: “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa”. Pasal 73 UU-HAM ini identik dengan Pasal 28 J UUD’45 (Amandemen ke-2 tahun 2000).

B. Posisi /status Pidana Mati dalam Konsep RUU KUHP
Pidana mati dan pidana seumur hidup secara teoritik termasuk pidana
absolut (absolute punishment). Sifat pidana yang demikian didasarkan pada asumsi dasar yang absolut. Pada diri pelaku dipandang ada unsur/ sifat-sifat kemutlakan (absolut), yaitu: sudah melakukan kejahatan yang secara absolut sangat membahayakan/merugikan masyarakat; ada kesalahan absolut (maksimal) dan sipelaku itu dianggap secara absolut/mutlak sudah tidak dapat berubah/diperbaiki. Dilihat dari sudut kebijakan penal, pandangan/asumsi absolut yang demikian patut dipermasalahkan. Dalam kenyataannya, sulit menetapkan adanya kesalahan absolut pada diri seseorang, terlebih karena faktor “kausa dan kondisi” yang menyebabkan terjadinya kejahatan cukup banyak, sehingga tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada kesalahan sipelaku. Kenyataan lain menunjukkan bahwa tidak ada orang yang secara absolut tidak bisa berubah atau tidak bisa diperbaiki/ memperbaiki diri. Oleh karena itu adalah kurang bijaksana apabila kebijakan dianutnya pidana mati didasarkan pada pandangan/asumsi dasar/kebijakan yang absolut itu.
Dalam penyusunannya Rancangan KUHP nantinya akan tetap mempertahankan pidana mati sebagai konsepnya, namun Konsep nampaknya tidak berorientasi pada kebijakan/paradigma absolut seperti diuraikan di atas. Status pidana mati dalam Konsep tidak dimasukkan dalam kelompok pidana pokok, tetapi sebagai pidana khusus (eksepsional). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 61 Konsep2000. Namun dalam perkembangannya, Konsep 2004 (Pasal 63) dan Konsep 2005 & 2006 (Pasal 66) menyebutnya dengan istilah“pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”. Dikeluarkannya pidana mati dari komposisi/deretan pidana pokok dan dijadikan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus/eksepsional, dapat dimaklumi mengingat hal-hal sebagai berikut:
Dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu/masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir/perkecualian. Hal ini dapat diidentikkan dengan“amputasi/operasi” di bidang kedokteran, yang pada hakikatnya juga bukan sarana/obat utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/obat terakhir. Oleh karena itu ditegaskan dalam Konsep (Pasal 80/ 2000; Pasal 84/2004; Pasal87/2005-2006), bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Di beberapa negara lainpun ada yang menyatakan bahwa pidana mati merupakan pidana eksepsional (lihat misalnya Pasal 30 ayat2 KUHP Polandia dan Pasal 24 ayat 2 KUHP Yugoslavia).

BAB IV
KESIMPULAN

KESIMPULAN

Dari penjelasan yang ada diatas jelas bahwa pidana mati sebagai sebagai peninggalan sejarah masa lampau tampaknya masih akan tetap di pertahankan dalam rancangan KUHP setidak-tidaknya sampai rancangan tahun 2004. Namun penggunaan pidana mati dalam rancangan KUHP tidaklah sama dengan apa yang diatur dalam KUHP nasional yang ada sekarang. namun Konsep RUU KUHP nampaknya tidak berorientasi pada kebijakan/paradigma absolut.

Dalam RUU KUHP tahun 2004 bahwa dinyatakan dalam Bagian Kedua Pidana Paragraf I Jenis Pidana Pasal 62 (1) Pidana Pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial
dari pasal 62 ayat 1 diatas jelas bahwa pidana mati tidaklah lagi diatur sebagai hukuman pokok, namun bukan berarti hukuman mati tersebut dihapuskan dari rancangan KUHP akan tetapi untuk hukuman mati diatur didalam pasal lain yaitu diatur di dalam pasal tersendiri yaitu Pasal 63. Dimana didalam pasal 63 tersebut dijelaskan bahwa “Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”.

Dengan demikian jelas bahwa dalam Rancangan KUHP masih akan tetap mempertahankan pidana mati sebagai sarana penjatuhan pidana walaupun penggunaanya nanti bukan sebagai sarana pidana pokok dengan alasan bahwa Dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu/masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir/perkecualian. Hal ini dapat diidentikkan dengan“amputasi/operasi” di bidang kedokteran, yang pada hakikatnya juga bukan sarana/obat utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/obat terakhir. Oleh karena itu ditegaskan dalam Konsep (Pasal 80/ 2000; Pasal 84/2004; Pasal87/2005-2006), bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Di beberapa negara lainpun ada yang menyatakan bahwa pidana mati merupakan pidana eksepsional (lihat misalnya Pasal 30 ayat2 KUHP Polandia dan Pasal 24 ayat 2 KUHP Yugoslavia).


DAFTAR PUSTAKA

Fahmi Raghib S.H., MH, pengantar hukum penitensier, Universitas Sriwijaya, palembang, 2008

www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php , Jurnal legislasi Indonesia, diakses pada tanggal 5 desember 2008

http://abolishment.blogspot.com/2008/03/tinjauan-agama-islam-atas-hukuman-mati.html, diakses pada tanggal 25 nopember 2008

http://library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin.pdf, pidana mati menurut hukum pidana Indonesia

http://advokatku.blogspot.com/2006/10/pidana-mati-apa-dan-bagaimana.html, diakses pada tanggal 25 nopember 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati, diakses pada tanggal 25 nopember 2008

http://ligagame.com/lg_smf/index.php, sejarah hukuman mati, diakses pada tanggal 25 nopember 2008

http://fertobhades.wordpress.com/2007/01/06/hukuman-mati/, diakses pada tanggal 27 nopember 2008

http://www.komnasham.go.id/portal/files/Kajian%20Hukuman%20Mati%20-%20Final.pdf, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sif.ed.: UMUM
Sidang Paripurna Keputusan Sidang Tanggal Sidang 23-24 September 2008 Paripurna Komnas HAM Agenda Sidang No. 3 Nomor: 033/SP/IX/2008, Kajian
HUKUMAN MATI DALAM PANDANG AN HAK ASASI MANUSIA (Laporan Kajian Sekretaris Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, Roichatul Aswidah), diakses pada tanggal 25 nopember 2008

http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czozNjoiZD1zb3MrMSZmPVBlbWlkYW5hYW5fTWF0aV9SX0tVSFAuaHRtIjs=, R. KUHP MENGHINDARI PIDANA MATI (Rudy Satriyo Mukantardjo(staf pengajar hukum pidana FH-UI), diakses pada tanggal 27 nopember 2008

0 komentar: