PERJANJIAN KERJA SAMA PEMBEBASAN TANAH


KASUS POSISI

• Untuk mengurus persoalan tanah milik 120 mantan anggota Laskar Rakyat 1945, di kampung Wana, Kec. Latuhan Maringgai, Kab. Lampunt Tengah; Hendri Luhur bekerjasama dengan Sidambaram Wairo dan Yushar Yahya. Kesepakatan kerjasama untuk pembebasan tanah seluas  2.400 HA, itu ditandatangani tanggal 31 Mei 1986;
• Dalam perjanjian itu, ditentukan bahwa Hendri menyandang dana yang dibutuhkan. Mulai dari mengurus perjanjian perdamaian dengan para wakil mantan anggota Laskar Rakyat 1945, hingga proses sertifikat tanah selesai. Diperkirakan urusan dengan para mantan anggota Laskar akan selesai dalam waktu empat bulan. Sedangkan pembuatan  4000 sertifikat, selesai dalam delapan bulan. Biaya yang dibutuhkan Rp. 200 juta untuk penyelesaian pekerjaan tersebut selama satu tahun.
• Modal pengerjaan proyek tersebut diberikan secara bertahap Rp. 85 juta diserahkan pada saat perjanjian ditandatangani Rp. 60 juta diberikan secara bertahap dalam 12 bulan, dan biaya untuk mengurus sertifikat tanah di Agraria Rp. 55 juta.
• Untuk meyakinkan Hendri dan menjaga kemungkinan kegagalan dalam pengerjaan proyek, disepakati bersama bahwa modal Rp. 85 juta akan dikembalikan, jika urusan dengan mantan Laskar tak beres sesuai dengan jadwal. Pengembaliannya dilakukan tanpa syarat. Untuk menjamin pengembalian uang itu, Yushar menjaminkan tanah dan bangunan HGB No. 695/Gondangdia secara Hipotik yang terletak di Jalan Jusuf Adiwinata no. 52 Pav, Jakarta Pusat.
• Jadwal waktu yang disepakati untuk menyelesaikan urusan pembebasan tanah, belum juga selesai, hingga memasuki tahun 1988. Padahal dengan adanya kelonggaran waktu yang diberikan, Hendri tetap membayar modal untuk biaya operasionalnya.
• Hingga Juli 1987, Hendri telah memberikan dana sebesar Rp. 171,460 juta.
• Mungkin karena sangat berharap, Hendri menyerahkan lagi dana untuk modal sertifikat tanah sebesar Rp. 146, 299 juta. Secara keseluruhan, Hendri mencatat jumlah seluruh modal berikut interestnya yang telah disetor sebesar Rp. 231, 299 juta. Padahal, sebenarnya tak ada kemajuan dalam pengerjaan proyek pembebasan tanah ex Laskar Rakyat 1945 tersebut.
• Namun akhirnya Hendri merasakan keadaan yang tidak menyenangkan ini. Pada 10/2/1988, Hendri menyatakan mengundurkan diri dari kerjasama dengan Sidambaran dan Yushar Yahya, ia meminta agar kedua Rekan bisnisnnya mngembalikan modalnya ditambah denda sebesar 3%/bulan dari modal yang telah dikeluarkannya.
• Permintaan Hendri agar Sidambaran dan Yushar mengembalikan modal berikut denda ternyata tidak gampang. Keduanya menolak mengembalikan modal dengan alasan perjanjian tanggal 31/5/1987 telah dibatalkan dengan addendum tanggal 16/7/1987. Addendum tanggal 16/7/1987 tersebut memuat penjadwalan kembali penyelesaian pekerjaan tahap I dan II. Pembuatan sertifikat juga berubah dari 4000 menjadi 1603 sertifikat. Jadi, jika pekerjaan tak selesai sesuai dengan jadwal sebagaimana perjanjian tanggal 31/5/1986, harus dimengerti sebagai kewajaran.
• Hendri sendiri lama kelamaan tak sabar dengan alasan-alasan Sidambaran dan Yushar. Hendri membawa perkara ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Sidambaran dan Yushar sebagai Tergugat I dan II. Hendri sebagai Penggugat dalam Surat gugatnya mengajukan tuntutan agar supaya Hakim memberikan putusan sebagai berikut:

PRIMER:
1. Menyatakan CB atas harta kekayaan Tergugat I berupa:
1. Tanah dan bangunan di Jl. Cempaka Putih Tengah XXIIA/B, Jakarta Pusat milik Tergugat I.
2. Tanah dan bangunan di Jl. Yusuf Adiwinata 52 Jakarta Pusat milik Tergugat II.
3. Alat rumah tangga dan barang-barang lain di bangunan tersebut, sah dan berharga.
2. Menyatakan Tergugat I dan II wanprestasi atas perjanjian kerjasama tanggal 31/5/1987.
3. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar kembali kepada Penggugat Rp. 231,299 juta plus 3%/bulan hingga lunas.
4. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya penagihan yang timbul dalam kasus ini, sebesar Rp. 30 juta.
5. Menyatakan putusan ini, uitvoerbaar bij voorraad.
6. Menghukum para Tergugat menbayar biaya perkara ini.

SUBSIDAIR: aequo et bono/memutuskan menurut keadilan dan kepatutan.
1. Pihak Tergugat menanggapi gugatan Hendri diatas disamping memberikan jawaban juga mengajukan “gugatan rekonpensi” yang pada pokoknya menuntut agar Hakim memberikan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi secara keseluruhan.
2. Menyatakan Tergugat Rekonpensi, melakukan wanprestasi.
3. Menyatakan Akte Hipotik no. 85/511/1988 Menteng yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris tanggal 30/7/1988, batal atau tidak berkekuatan hukum.
4. Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk mengembalikan sertifikat HGB no. 695/Gondangdia kepada Penggugat Rekonpensi.
5. Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk membayar dwangsom Rp 50 ribu/hari jika lalai menyerahkan sertifikat.
6. Menyatakan putusan ini uit voorbaar bij voorraad.
7. dst…………….dst………………dst…………..


PENGADILAN NEGERI

• Dalam Konpensi
 Hakim pertama yang mengadili perkara ini dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
• Perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat merupakan “Perjanjian Kerjasama”. Sesuai dengan sifatnya, baik Penggugat maupun Tergugat sama-sama bertanggungjawab atas berhasil atau tidaknya proyek kerjasama tersebut. Dengan demikian, tuntutan bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi adalah kurang tepat.
• Dari bukti-bukti yang ada ternyata Tergugat telah melaksanakan penyelesaian tanah tersebut. Meskipun, akhirnya belum berhasil, karena hambatan-hambatan diluar yang direncanakan.
• Penggugat tidak dapat membuktikan, bahwa tidak berhasilnya proyek kerjasama tersebut karena kesengajaan Tergugat,
• Dari fakta-fakta tersebut, Majelis menganggap bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya bahwa Tergugat melakukan wanprestasi.
• Oleh karena tuntuan Penggugat selebihnya mendasarkan diri kepada adanya wanprestasi, maka Majelis tidak mempertimbangkan lebih lanjut.

Dalam Rekonpensi:
• Pertimbangan Dalam Konpensi dianggap pula pertimbangan dalam Rekonpensi.
• Dalam Konpensi, Penggugat Rekonpensi, tidak terbukti telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kerjasama seperti tersebut di muka.
• Meskipun terdapat Akta Perdamaian (bukti T-10), yang adanya tidak disangkal kedua belah pihak, namun juga tidak dapat disangkal bahwa proyek kerjasama tersebut, belum berhasil secara keseluruhan. Sehingga, tuntutan Penggugat Rekonpensi agar Tergugat Rekonpensi dinyatakan wanprestasi adalah tidak berdasar dan harus ditolak.
• Perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat Rekonpensi adalah perjanjian kerjasama. Bukan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan jaminan. Oleh karena itu, adanya akte hipotik atas tanah HGB no. 695 di Gondangdia, tidak sesuai dengan sifat perjanjian kerjasama tersebut. Oleh karena itu pula, akte hipotik harus dibatalkan. Tergugat Rekonpensi harus mengembalikan sertifikat tersebut kepada Penggugat Rekonpensi.
• Tuntutan agar Tergugat membayar dwangsom untuk setiap keterlambatan, tidak sesuai dengan sifat perjanjian kerjasama. Adanya sertifikat pada Tergugat Rekonpensi juga karena adanya perjanjian kerjasama, karena itu harus ditolak.
• Karena gugatan Penggugat Rekonpensi dikabulkan sebagian, maka gugatan selebihnya harus ditolak.

Dalam Konpensi dan rekonpensi:
- Dengan dikabulkannya sebagian gugatan Penggugat Rekonpensi, maka Tergugat Rekonpensi harus membayar biaya perkara.
- Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis memberi putusan yang amarnya sebagai berikut:

 Dalam Konpensi:
- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.

Dalam Rekonpensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi sebagian.
2. Menyatakan Akte Hipotik no.85/VII/1988 Menteng, atas tanah HGB no. 695/Gondangdia adalah batal.
3. Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk mengembalikan sertifikat HGB no. 695 Gondangdia pada Penggugat Rekonpensi.
4. Menolak gugatan Penggugat Rekonpensi selebihnya.

Dalam Konpensi dan Rekonpensi
Menghukum Penggugat Konpensi untuk membayar biaya perkara.


PENGADILAN TINGGI:

• Penggugat, Hendri Luhur, menyatakan banding atas putusan Pengadilan Negeri, Hakim Banding yang mengadili perkara ini memberikan pertimbangan sebagai berikut:
• Memori banding yang diajukan oleh Tergugat tidak mengemukakan hal-hal yang dapat melemahkan putusan Hakim Pertama. Demikian pula dengan kontra memori Tergugat.
• Setelah memeriksa perkara ini, Hakim Banding berpendapat bahwa putusan Hakim Pertama dalam pertimbangannya sudah tepat dan benar, yang oleh Hakim Banding pertimbangan itu diambil alih sebagai pendapatnya.
• Pihak Pengugat tidak mampu membuktikan gugatannya, sementara Tergugat berhasil mempertahankan pendiriannya. Perjanjian antara Penggugat dan tergugat adalah “Perjanjian kerjasama”, bukan perjanjian meminjam uang jaminan. Dengan demikian, putusan Hakim Pertama yang menolak gugatan Penggugat adalah tepat dan adil serta patut dikuatkan.

Dalam Rekonpensi:
• Putusan Hakim Pertama dalam pertimbangannya sudah tepat dan benar sehingga Hakim Banding diambil alih sebagi pertimbangannya sendiri. Oleh karena itu, maka putusan dikuatkan dengan perbaikan Redaksi pada angka 2 sebagimana bunyi amar putusan dibawah ini.
• Berdasar atas pertimbangan hukum tersebut diatas, Pengadilan Tinggi memberikan putusan sebagai berikut.

Dalam Konpensi
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 185/Pdt-G/VI/1989/PN.Jkt.Pst. yang dimohon banding.

Dalam Rekonpensi:
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan perbaikan diktum, sehingga amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Dalam Rekonpensi untuk sebagian.
2. Menyatakan Akte Hipotik no. 85/VII/1988 Menteng, yang dibuat oleh Notaris Winanto Wiryomartani, SH tanggal 30/7/1988 atas tanah HGB no. 695/Gondangdia adalah berkekuatan hukum.
3. Menghukum Tergugat Dalam Rekonpensi untuk mengembalikan Sertifikat HGB no. 695 Gondangdia tersebut keapada Penggugat Dalam Rekonpensi.
4. Menolak gugatan Penggugat Dalam Rekonpensi selebihnya.


MAKAMAH AGUNG RI:

- Penggugat, Hendri Luhur, menolak putusan Hakim Banding dan mengajukan permohonan kasasi dengan mengajukan keberatan sebagai berikut:
1. Judex facti keliru menilai pokok persoalan. Masalah dalam perkara ini adalah wanprestasi dalam pengembalian uan goleh Tergugat, jika jadwal penyelesaian proyek tidak dipenuhi. Bukan soal siapa penanggungjawab kegagalan proyek.
2. Kriteria waprestasi bukan apakah proyek gagal atau tidak. Tetapi apakah dilaksanakan pengembalian modal atau tidak oleh Tergugat kepada Penggugat, setelah kegagalan terjadi.
3. Judex facti salah menerapkan hukum tentang beban resiko dalam “Perjanjian kerjasama”. Dalam perjanjian tersebut Tergugat mengakui bahwa selain modal yang dijamin dengan hipotik. Modal selebihnya sebesar Rp. 50 juta adalah utang pada Penggugat. Tergugat berjanji akan membayar kembali seluruh modal Penggugat sebesar Rp. 231,299 juta.
4. Judex facti keliru menafsirkan lembaga jaminan hipotik Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi secara tanpa dasar berpendirian seolah-olah hipotik hanyalah accesoir dari perjanjian pinjam meminjam uang Hipotik, bukan hak kebendaan untuk menjamin pinjaman uang. Melainkan untuk menjamin pelaksanaan prestasi suatu perikatan. Karenanya, pembatalan Akte Hipotik atas fungsi hipotik adalah keliru. Terbukti dari pengertian Hipotik pasal 1162 jo. 1182 jo 1183 KUH Perdata.
- Makamah Agung setelah memeriksa perkara ini berpendapat bahwa terlepas dari keberatan-keberatan kasai tersebut judex facti telah salah menerapkan hukum, sehingga putusan judex facti harus dibatalkan dan selanjutnya Makamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini. Pendirian Makamah Agung diatas didasari oleh pertimbangan juridis yang intisarinya sebagai berikut:
• Judex facti telah menafsirkan dasar gugatan, yaitu Akte no. 165 tanggal 31/5/1986 (bukti P-1/T-3) sebagai “Perjanjian kerjasama”. Dengan demikian untung-rugi Penggugat dengan Tergugat.
• Berdasarkan bukti P-8, berupa surat Tergugat kepada Penggugat, ternyata Tergugat mengakui adanya pinjam-meminjam sebagimana disebut dalam addendum tanggal 13/7/1987. Addendum ini menunjukan pada Akte no. 165 dimuka.
• Jumlah hutang yang diterima oleh Tergugat untuk tahap I adalah Rp. 85 juta. Untuk tahap II sebesar Rp. 146,299 juta, sehingga semua berjumlah Rp. 231,299 juta.
• Pasal 4 addendum menyebutkan ganti rugi yang diterima dalam kerjasama no.165 akan digunakan untuk membayar kembali modal yang telah disetor oleh Penggugat. Selama persidangan tidak pernah diajukan bukti-bukti bahwa hal ini sudah terlaksana. Disinilah letak wanprestasi. Tergugat tidak membayar kembali modal tersebut dam memberikan pertanggungjawaban. Akan tetapi, karena perjanjian berbentuk kerjasama dan tidak terbukti ada suatu keberhasilan dalam kerjasama ini maka wajar resiko dibagi dua antara kedua pihak.
• Berdasarkan pertimbangan tersebut, Makamah Agung telah cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Penggugat, membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi serta mengadili sendiri perkara ini dengan amar:

Dalam Konpensi:
- Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian
- Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan wanprestasi.
- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar kembali uang Penggugat.
 1. Rp. 85 juta + 12%/tahun x Rp. 85 juta
 2. Rp. 146,299 juta + 6%/tahun x Rp. 146,299 juta terhitung sejak gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai lunas
- Menolak gugatan Penggugat selebihnya.
Dalam Rekonpensi:
- Menolak gugatan Penggugat Rekonpensi seluruhnya.


CATATAN:

• Dari putusan Makamah Agung tersebut diatas dapat diangkat ”Abstrak Hukum” sebagai berikut:
• Dalam suatu “perjanjian kerjasama” untuk membebaskan tanah, in case, didalamnya mengandung pengertian bahwa untung rugi yang akan dialami dalam pelaksanaan perjanjian tersebut adalah menjadi tanggungjawab kedua pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Karena itu dengan tidak berhasilnya sasaran yang disepakati untuk dicapai sesuai dengan jadwal waktu yang ditentukan, maka resiko kerugian yang timbul karena kegagalan tersebut, sepatutnya dibebankan kepada kedua belah pihak dalam perjanjian kerjasama itu. 
• Demikian Catatan Kasus ini.
(Ali Boediarto)


• Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
 No. 185/Pdt.G/VI/1989/PN.Jkt.Pst, tanggal 20 Maret 1990
• Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
 No. 231/Pdt/1991/PT.DKI, tanggal 11 Oktober 1991
• Makamah Agung RI:
No. 1533.K/Pdt/1992, tanggal 28 Agustus 1996

Majelis terdiri: H. SOERJONO, SH, Ketua Makamah Agung RI selaku Ketua Majelis didampingi anggota, Hakim Agung : H.L RUKMINI,SH dan M. YAHYA HARAPAH, SH. serta Panitera Pengganti : Ny. Hj. NILNA ISMAIL, SH.



EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM RANCANGAN KUHP NASIONAL DITINJAU DARI DARI PASAL 28 I

oleh :
oktarinaz maulidi
Pidana mati merupakan satu jenis pidana dalam usianya, setua usia kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua sistem pidana, baik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di negara-negara yang menganut Civil Law.
Mempersoalkan hukuman mati dalam hukum pidana sebagai sarana mencapai tujuan dari hukum pidana itu sendiri, telah banyak menimbulkan perdebatan antar sesama ahli hukum pidana, diantara mereka ada yang pro dan juga ada yang kontra terhadap penggunaan sarana pidana mati sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana yaitu memberikan rasa aman, memberikan keadilan dan sebagainya.

Dalam hukum pidana Indonesia penggunaan hukuman mati dirasakan masih sangat efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat dikualifikasikan kejahatan yang berat. Hal itu dapat dilihat dari KUHP nasional yang masih menempatkan hukuman mati sebagai pidana pokok selain itu terhadap hukum pidana di luar KUHP juga terdapat sebagian yang menempatkan hukuman mati sebagai sanksi dari dilanggarnya perbuatan tersebut.
Adapun motif yang melatar belakangi masih digunakannya pidana mati sebagai saranan politik kriminal di Indonesia yakni: hukuman mati memiliki tingkat efektif yang lebih tinggi dari ancaman hukuman mati lainnya karena memiliki efek yang menakutkan (shock therapi) disamping juga lebih hemat. Hukuman mati digunakan agar tidak ada eigenrichting dalam masyarakat. Secara teoritis hukuman mati ini juga akan menimbulkan efek jera (detterent effect) yang sangat tinggi sehingga akan menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana, sehingga bisa dijadikan sebagai alat yang baik untuk prevensi umum maupun prevensi khusus. Disamping itu masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan pada aspek pembalasan (retributive), dan utamanya masih dipertahankannya.
.
Awal diberlakukannya praktek hukuman mati di Indonesia yaitu pada waktu Indonesia yang bernama Hindia Belanda adalah ketika diberlakukannya kodifikasi hukum pidana dalam Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (indonesiers) atau WvSinl pada tanggal 1 Januari 1873. Kemudian karena adanya perkembangan baru dimana lahirnya kodifikasi pertama hukum pidana yang ada di belanda yang maka WvSinl tersebut kemudian disesuaikan dengan perkembangan tersebut dengan melakukan unifikasi hukum pidana di seluruh wilayah Indonesia. Maka pada tahun 1915 diundangkanlah Wetboek van strafrecht voor Indoensie, (WvSI) dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. Berbeda dengan Belanda, di Hindia Belanda di dalam WvSi tersebut masih dicantumkan hukuman mati. Di Belanda sendiri pada tahun 1870, tiga tahun sebelum di berlakukannya WvSinl di Hindia Belanda, hukuman mati telah dihapuskan. Hukuman mati Dipertahankan di Hindia Belanda karena dipandang sebagai hukum darurat, yang mana penerapan hukuman yang di anggap terberat oleh pemerintah Kolonial. Yakni: Kejahatan berat terhadap mati ini di Hindia Belanda dibatasi pada kejahatankejahatan keamanan negara, pembunuhan, pencurian dan pemerasana dengan pemberatan, perampokan, pembajakan pantai pesisir dan sungai.

Menurut Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah :
1. Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
Selain terhadap kejahatan yang diatur dalam KUHP, undang-undang hukum pidana diluar KUHP juga ada yang mengatur tentang pidana mati. Peraturan tersebut antara lain :
1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.
2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.
4. Pasal13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom.
5. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika
6. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.

Hukuman Pidana Mati yang berlaku di Indonesia diatur dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan Peradilan Umum dan Militer. Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964 dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia dimana pada saat sebelum Penetapan Presiden yang berlaku adalah hukuman gantung.

Dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 ini secara tegas-tegas menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan, baik dilingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati (pasal 1) dengan tata cara sebagai berikut :

1. Dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.
2. Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang didalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu (pasal 2).
3. Kepala Polisi Daerah (KAPOLDA) bertanggung jawab untuk pelaksanaannya sekaligus menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati.
4. Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang KAPOLDA lain, maka KAPOLDA tersebut merundingkannya dengan KAPOLDA itu.
5. KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi atau jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.
6. Menunggu pelaksanaan pidana mati, Terpidana ditahan dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi.
7. 3 X 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut.
8. Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangannya atau pesannya itu diterima oleh jaksa Tinggi/ Jaksa tersebut.
9. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
10. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.
11. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara seserdana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
12. Untuk pelaksanaan pidana mati, KAPOLDA yang bertanggung jawab membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara (Brigadir - sekarang), 12 orang tamtama dibawah pimpinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob POLRI).
13. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya.
14. Regu penembak ini dibawah perintah Jaksa Tinggi/ jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.
15. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
16. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rokhani.
17. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
18. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, Komandan Pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya.
19. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut.
20. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/ jaksa dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikatkan kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
21. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ketempat yang ditentukan oleh Jaksa.
22. jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.
23. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
24. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
25. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
26. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka komandan regu penembak segera memerintahkan kepada Bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
27. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter.
28. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa memutus lain.
29. Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan yang ditentukan oleh agama/ kepercayaan yang dianut terpidana.

Sejalan dengan berlakunya hukuman mati di Indonesia, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi, walaupun putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut sudah dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas.
Disisi lain pertentangan penggunaan pidana mati dalam hukum pidana Indonesia datang Kalangan organisasi non-pemerintah atau Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati sudah kehilangan sukma konstitusi dan bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan.
Melihat hasil dari keputusan Mahkamah konstitusi mengenai penggunaan pidana mati sebagai sanksi bagi pelanggaran hukum pidana, sehinnga Didalam pembaharuan hukum pidana (law reform/penal reform) masalah pidana mati sepertinya masih akan digunakan walaupun ada pergeseran penggunaannya di banding KUHP nasional yang ada sekarang ataupun undang-undang hukum pidana di luar KUHP.

B. PERMASALAHAN
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas jelas bahwa hukuman mati tidak dapat dipisahkan dari hukum pidana Indonesia, baik itu sebagai upaya pencegahan (preventif) ataupun penindakan (represif) terhadap pelanggaran yang terjadi di dalam masyarakat.
Yang menjadi permasalahan sekarang apakah sama penerapan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam KUHP nasional dengan rancangan KUHP yang akan datang atau dengan kata lain bagaimana eksistensi hukuman mati dalam rancangan KUHP ?

C. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini hanya ingin mengetahui apakah ada pergeseran dalam penggunaan pidana mati dalam rancangan KUHP nantinya ataukah sama saja dengan yang diatur dalam KUHP nasional yang ada sekarang dan juga untuk mengetahui untuk pelanggaran apa saja yang dapat dikenakan dengan sanksi pidana mati.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 

A. MASALAH HUKUMAN MATI DALAM PERSFEKTIF GLOBAL
Sejak kapan manusia mempunyai ide menghukum mati manusia lain? Tentu susah menemukan tahun kelahiran hukuman mati. Yang pasti hukuman mati resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya undang-undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi. Saat itu ada 25 macam kejahatan yang diancam hukuman mati.
Berbicara tentang hukuman atau pidana mati yang terpenting haruslah kita ketahui bersama adalah mengenai pengertian dari hukuman mati itu sendiri. Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh wikepedia bahwa hukuman atau pidana mati adalah ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Dalam prakteknya hukuman mati masih banyak digunakan dibeberapa Negara sebagai sanksi dari pelanggaran berat hukum pidana itu sendiri. Negara-negara yang masih menggunakan hukuman mati sebagai sarana pidana terhadap kejahatan-kejahatan yang dianggap berat oleh Negara-negara itu sendiri, Negara-negara tersebut adalah Iran, Tiongkok, Saudi Arabia, Amerika Serikat, Mesir, Irak, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura, Guatemala, Thailand, Tiongkok, Somalia, Taiwan, Afganistan termasuk Indonesia.
Di dalam sejarah hukuman mati di dunia Negara-negara tersebut masing-masing-masing memiliki caranya sendiri-sendiri. Cara pelaksanaan hukuman mati adalah sebagai berikut :
1. pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,
2. sengatan listrik: Amerika Serikat
3. digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura
4. suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS
5. tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain
6. rajam: Afganistan, Iran
Di Indonesia sendiri sebelum Indonesia menjadi Negara kesatuan seperti sekarang ini, penggunaan sarana pidana mati sesungguhnya sudah diterapkan oleh kerajaan atau suku-suku yang ada di Indonesia waktu itu. Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lainlain .
Di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Batak, jika pembunuh tidak membayar yang salah dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk pidana mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Demikian pula bila seseorang melanggar perintah perkawinan yang eksogami. Kalau di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana mati juga diancamkan bagi pelaku kawin sumban Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang. Di Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati. Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati. Di Nias bila dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan. Di pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain. Dengan melihat uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku-suku bangsa Indonesa telah mengenal pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Jadi bukan bangsa Belanda dengan WvS-nya yang memperkenalkan pidana mati itu pada bangsa Indonesia.
Di Negara-negara tersebut yang tetap mempertahankan pidana mati sebagai sanksi dari pelanggaran terhadap perbuatan yang dianggap serius (extra ordinary crime) bukanya tanpa alasan. Alasan klasik mengapa hukuman mati masih banyak dipakai sebagai sarana penegakan hukum pidana adalah karena adanya ancaman hukuman mati dalam ketentuan yurudis, diharapkan menumbuhkan efek jera dan pembelajaran bagi khalayak akan arti penting menjaga hak-hak sesama dan tidak melanggarnya.
B. PANDANGAN ISLAM MENGENAI HUKUMAN MATI
Di dalam Alquran surat al-Mulk ayat 2 diingatkan bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Karena itu, Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia masih berada dalam kandungan ibu sampai sepanjang hidupnya. Islam sangat memuliakan keturunan anak Adam. Dan untuk melindungi keselamatan hidup manusia, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-sanksinya, baik di dunia seperti hukuman had, diyat (denda) dan termasuk hukuman mati (qisas), maupun hukuman di akhirat kelak.
Bentuk peraturan dalam ajaran Islam terdiri dari hudud dan ta’zir. Hudud adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggaran dan sanksinya sudah di atur secara pasti. Sedangkan ta’zir adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggarannya sudah di atur tetapi bentuk sanksinya di serahkan kepada Negara .
Dalam agama Islam dikenal apa yang dinamakan kisas. Kisas yaitu memberikan perlakuan yang sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukannya terhadap korban. Kisas diterapkan terhadap pelaku pembunuhan. Dasar berlakunya kisas ini adalah berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah, yakni surat kedua dari Al-Quran, ayat 178 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Dalam Kitab Suci umat Islam ini terdapat surat yang isinya sangat jelas menunjukan bahwa Islam sejalan dengan teori absolut, yakni surat Al-Maaidah ayat 45 yang artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan hak qishaashnya, maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”. Surat ini dan surat-surat sebelumnya menunjukan bahwa Allah SWT menetapkan bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal bagi tindak pidana pembunuhan karena begitu beratnya akibat dari pembunuhan tersebut.
Dalam pemberlakuan hukuman mati dalam islam tidaklah mudah, dalam islam sebelum menjatuhkan hukuman mati kepada si pelaku haruslah ada terlebih dahulu adanya proses pembuktian. Adapun untuk diberlakukannya kisas terdapat beberapa syarat, yaitu:
1. Pelaku seorang mukalaf, yaitu sudah cukup umur dan berakal.
2. Pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja.
3. Unsur kesengajaan dalam pembunuhan itu tidak diragukan lagi.
4. Pelaku pembunuhan tersebut melakukannya atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari orang lain.
Dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian pelakunya terjadi pada dua kasus. Pertama, pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Menurut Ibn Mundzir, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan (Kifayah:368). Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi harga diri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.
Kedua, pelaku pembunuhan berencana (disengaja) (QS. Al-Nisa": 93). Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga.
Dalam hal terjadi pembunuhan yang melibatkan pelaku dan korban yang memiliki hubungan keturunan, maka kisas tidak dapat diberlakukan.
Mengenai kisas ini banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para pemuka agama Islam itu sendiri, di antaranya mengenai cara pelaksanaan kisas. Pendapat pertama mengatakan bahwa kisas hanya bisa dilakukan dengan pedang atau senjata, terlepas dari pembunuhan yang telah dilakukan menggunakan pedang atau tidak. Pendapat kedua mengatakan bahwa kisas itu dilakukan sesuai dengan cara dan alat yang digunakan pembunuh pada saat melakukan pembunuhan. Namun terdapat kesepakatan di antara ahli agama Islam bahwa apabila ada alat lain yang dapat lebih cepat menghabisi nyawa terpidana, maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama.
Bagi penegak hukum dalam negara Islam terdapat prinsip “Lebih baik salah memaafkan dari pada salah menghukum”. Prinsip ini menunjukan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman, khususnya hukuman mati. Apabila seseorang mengakui kesalahan yang telah dilakukannya serta bertaubat dengan sungguh-sungguh, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 34, maka ia akan di ampuni atas perbuatannya oleh Allah. Penegak hukum Islam juga berpedoman pada ayat tersebut dalam menegakkan hukum Islam. Maka apabila seorang pelaku kejahatan menyerahkan diri lalu mengakui perbuatannya dan bertaubat, hendaknya menjadi suatu pertimbangan bagi para penegak hukum dalam proses penjatuhan hukuman.
Dari apa yang telah dilakukan islam mengenai hukuman mati dan sebagainya bukannya tanpa alasan, dalam islam terdapat tujuan pokok diterapkannya hukum Islam. Pertama, tujuan primer (al-dharury), yakni tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan ini tidak tercapai akan menimbulkan ketidakajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akherat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari "ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
Kedua, tujuan sekunder (al-haajiy), yakni terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder. Jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kesukaran bagi manusia, namun tidak sampai menimbulkan kerusakan. Ketiga, tujuan tertier (al-tahsiniyyat), yakni tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.

C. PRO DAN KONTRA HUKUMAN MATI DIPANDANG DARI HAK MANUSIA UNTUK HIDUP
Pidana mati (doodstraf) adalah pidana yang merampas satu kepentingan hukum, yakni jiwa atau manusia. Hukuman mati selalu menjadi perdebatan menarik setiap kali terpidana mati dieksekusi. Yang selalu menjadi pertanyaan sekarang Masih layakkah hukuman mati tetap dicantumkan dalam perundangundangan kita? Manusiawikah pidana mati tetap diterapkan di Indonesia?. Kalangan organisasi non-pemerintah atau Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati sudah kehilangan sukma konstitusi dan bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih.

mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan. Di lain pihak banyak yang setuju atas penerapan hukuman mati.
Berikut ini adalah beberapa alasan saya mengenai penghapusan hukuman mati :
1. Alasan Legal
Di Indonesia, hukuman mati bertentangan dengan Konstitusi RI (UUD 1945) pasal 28i ayat (1).
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi (diambil) dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun. Jika negara “dengan sengaja” mengambil hak hidup warganya, termasuk dgn hukuman mati, maka jelas melanggar UUD 1945. Ironisnya, Konstitusi kita sudah melarang hukuman mati, sedangkan UU dibawahnya (KUHP) masih melegalkan hukuman mati.
Negara juga tidak bisa menempatkan dirinya sebagai Tuhan. Logika bahwa korban dicabut hak hidupnya oleh pembunuh, dan kemudian si pembunuh dicabut hak hidupnya oleh negara (pengadilan) menempatkan kita dalam fatalisme sempit tentang kekuasaan negara atas hidup manusia. Selama konstitusi negara kita masih menempatkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun maka hukuman mati merupakan suatu tindakan yang melanggar konstitusi.

2. Alasan Penghargaan Terhadap Kehidupan

Penghargaan terhadap kehidupan adalah nilai utama yang berlaku universal. Hidup dan kehidupan adalah anugerah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, dan hanya Tuhan sendiri yang bisa mengambilnya. Dalam agama, konsep kesucian hidup (sanctity of life) adalah konsep yang diakui, bahwa hidup manusia adalah suatu hal yang suci dan merupakan anugerah dari Tuhan.
Di satu sisi agama sangat menghormati kehidupan, tetapi disisi yang lain agama juga masih memberlakukan hukuman mati. Pelaku kejahatan (narkoba, koruptor, pembunuh, dll) adalah manusia yang harus dihargai kehidupannya, walaupun mereka sendiri tidak menghormati kehidupan orang lain. Kita tidak bisa “membunuh” mereka karena akan menjadikan kita menjadi sama seperti mereka. Tidak akan ada yang berubah (korban bisa hidup kembali, uang korupsinya kembali, dll) jika pelakunya dihukum mati. Tidak ada yg berubah karenanya selain memuaskan keinginan manusia untuk membalaskan dendam kejahatan si pelaku.

3. Alasan Sebab-Akibat
Pelegalan hukuman mati dengan dasar pandangan bahwa hukuman mati itu bisa membuat orang lain menjadi JERA dan tidak mengulang kejahatan tersebut sudah lama tidak lagi menjadi pandangan utama dalam pemikiran filsafat hukum. Hal ini dikarenakan tidak adanya korelasi antara penjatuhan hukuman mati dengan menurunnya tingkat kriminalitas yang diancam dengan hukuman mati.
Selain itu negara juga tidak berusaha mencari jenis hukuman lain yang berdampak langsung terhadap masyarakat tanpa mengorbankan hidup. Konsep yang sering ada dibalik alasan hukuman mati adalah konsep dimana negara ingin menerapkan low-cost pada sistem hukumnya. Dengan menghukum mati, maka negara tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan yang dikeluarkan untuk mengedukasi dan mendidik warga negaranya. Dengan memberlakukan hukuman mati maka secara ekonomis negara diuntungkan karena biaya yang dikeluarkan untuk lembaga pemasyarakatan otomatis akan berkurang jika terdakwa dihukum seumur hidup, sebagai contoh. Dalam hal ini membandingkan antara nyawa dan hidup manusia dengan cost (biaya) adalah suatu pemikiran yang menyedihkan.

4. Alasan Pendidikan dan Pembelajaran
Pandangan yang sekarang ini dianut dalam filsafat hukum adalah suatu hukuman haruslah mempunyai suatu efek pembelajaran, khususnya bagi terdakwa. Seorang terdakwa dihukum agar dirinya dapat belajar dari tingkah lakunya dan tidak akan melakukan kejahatan itu nantinya. Semua orang mempunyai kapasitas untuk belajar dan berubah.

5. Alasan Fatalisme
Hukuman mati menutup kemungkinan seseorang untuk berubah (bertobat, insyaf, belajar). Dengan menjatuhkan hukuman mati, negara langsung memvonis bahwa seorang terhukum PASTI tidak akan berubah. Padahal setiap orang mempunyai kemungkinan untuk berubah. Pada kasus-kasus tertentu dimana hukuman tidak bisa dijatuhkan adalah pada terdakwa yang didiagnosis gila atau mempunyai keterbatasan mental.
Tujuan suatu hukuman adalah membuat si terhukum belajar dari perbuatannya dan membuktikan kepada masyarakat bahwa dia bisa berubah. Dan hukuman mati menghapus kesempatan itu.

6. Alasan Ketidaksempurnaan Hukum
Fakta sejarah menunjukkan bahwa hukum itu tidak sempurna. Banyak kita lihat, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, kasus terhukum yang diubah hukumannya setelah mendapat bukti-bukti baru. Yang saya ingat dengan jelas adalah kasus Pakde di tahun 80-an yang saat itu terbukti bersalah membunuh artis Suzana, yang kemudian dibebaskan bertahun-tahun kemudian, karena ada bukti-bukti baru dan terjadinya kesalahan proses peradilan masa itu, yang menunjukkan bahwa Pakde tidak bersalah. Pelaksanaan hukuman mati menyebabkan revisi terhadap fakta ini tidak bisa terjadi, karena sang terhukum sudah terlanjur mati (dan kenyataan ini pernah terjadi di Amerika, di mana ditemukan seseorang ternyata tidak bersalah terhadap suatu kasus, padahal orang tersebut sudah terlanjur dihukum mati).
Ada empat analisis utama dalam pemberian hukuman dalam yurisprudensi hukum di dunia, tiga diantaranya adalah : (1) analisis literal yang menganggap bahwa jenis hukuman yg harus dilarang adalah hukuman yg membawa penderitaan fisik yang parah, (2) anlisis historis yang menganggap hukuman yg harus dilarang adalah hukuman yg dianggap kejam dan tidak manusiawi, (3) analisis konsensus, bahwa jenis hukuman yg harus dilarang adalah yg bertentangan dgn kesadaran MORAL warga negara. Kalau kita menempatkan hukuman mati dalam analisis hukum yurisprudensi seperti diatas, maka hukuman mati selayaknya dilarang secara hukum.
Semua orang wajib menghargai hidup orang lain, tapi bertindak sebaliknya tidak otomatis menyebabkan dia tercabut hak hidupnya karena hak hidup diberikan oleh Tuhan, maka selayaknya dicabut oleh Tuhan. Tanggung jawab si pembunuh adalah pada Tuhan, dan kewajiban manusia yang lain yang maksimal adalah dengan membuat pembunuh ini tidak mengulangi perbuatannya pada manusia lain, tanpa berhak mencabut hak hidupnya.
Di Indonesia sebagai salah satu Negara yang masih menggunakan hukuman mati sebagai sarana penegakan hukum pidana, walaupun WVs (KUHP Negara Belanda) telah menghapuskan pidana mati itu sendiri.
Alasan-alasan Hindia Belanda (Indonesia) tidak mengikuti menghapuskan pidana mati ini dapat dilihat dalam alasan-alasan di bawah ini :
1. Keadaan khusus Hindia Belanda sebagai archipelago yang komunikasinya sukar.
2. Alat-alat keamanan Negara kurang
3. Penduduknya heterogen, sehingga mudah bentrok
Diantara para sarjana-sarjana yang setuju dengan tetap dipertahankannya pidana mati ini mengemukakan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :
1. Betul-betul untuk kepentingan umum, artinya hanya akan dijatuhkan apabila kepentingan umum sangat terancam
2. Hakim harus benar-benar yakin akan kesalahan yang bersangkutan dengan pembuktian yang selengkap-lengkapnya
3. Harus diancamkan secara alternative, agar hakim dapat memilih.
Sebagai catatan beberapa alasan pemikiran yang terkait dengan aliran yang pro terhadap pidana adalah:
Bichon van Ysselmonde, yang menyetujui tetap adanya pidana mati, mengatakan antara lain: “Saya masih selalu berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan dari pidana mati itu harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut kepatutan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya, Kedua-duanya jure divino et humano. Pedang pemidana, seperti juga pedang perang harus ada pada negara. Ini menjadi kewajiban dari negara. Hak dan kewajiban ini tidak boleh diserahkan begitu saja, tetapi haruslah dipertahankannya dan juga digunakan”
De Savornin Lohman, “ Dalam Kitab Undang-undang tidaklah boleh tidak ada pengakuan bahwa negara mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa dari penjahat yang tidak mengindahkan zedewet samasekali. Hukum pidana itu pada hakekatnya tidak lain dari hukum membalas dendam. Bila suatu kejahatan dilakukan, maka saya masih termasuk orang yang mau mengatakan: kejahatan itu menghendaki adanya pembalasan. Itu tidak hanya sekarang, tetapi seperti itulah selalu dan dimana-mana demikian. Bila seseorang menginjak-injak zedewet sedemikian rupa sehingga dengan perbuatannya itu dia menunjukkan tidak mengakui hukum lagi, maka negara berhak dan berkewajiban melenyapkannya dari masyarakat”.
Mr. Dr Rambonnet, “adalah tugas dari penguasa negara untuk mempertahankan ketertiban hukum. Mempertahankan ketertiban hukum itu diujudkan oleh pidana. Jadi dari sini kita berkesimpulan, bahwa penguasa negara mempunyai hak untuk memidana, artinya membalas kejahatan. Dan hak dari penguasa untuk memidana mati itu adalah akibat yang logis daripada haknya untuk membalas dengan pidana. Kalau karena kejahatan itu terganggulah ketertiban tersebut dalam satu bagian yang tertentu saja, maka hubungan yang baik akan dapat dipulihkan kembali dengan mengeluarkan atau tidak menurut sertakan penjahat itu dalam sebagian pula dari kesejahteraan umum. Ini secara umumnya dapat dilakukan dengan merampas kemerdekaannya, melukai hak miliknya dsb. Tetapi … jika kejahatan itu tidak mengganggu ketertiban itu hanya dalam satu bagian tertentu saja darinya, melainkan membuangkan dan merusakkan seluruh ketertiban, maka ketertiban yang terancam itu dapat dipulihkan kembali dengan benar-benar sama sekali melenyapkan seluruhnya dia ini dari turut sertanya dalam kesejahteraan umum itu dengan membunuh penjahat tersebut, sebab selagi dia masih hidup, maka dia masih turut serta dalam kesejahteraan umum itu maka negarapun akan mempunyai hak untuk melaksanakan pidana mati”.
Bapak kriminologi Lombroso dan Garofalo, “pidana mati adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Dan karenanya kedua sarjana inipun menjadi pembela pidana mati. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tak terperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang sedemikian besar biayanya. Begitu pula hilanglah ketakutan-ketakutan kita kalau-kalau orang-orang demikian melarikan diri dari penjara dan membikin kejahatan lagi dalam masyarakat”
Thomas R Eddlem dalam artikelnya “Ten Anti-Death Penalty Fallacies”, menyanggah keras tudingan kaum abolisionis yang menyatakan bahwa hukuman mati sebagai melestarikan suatu siklus kekerasan dan mempromosikan “sense of vengeance” (rasa dendam) dalam kultur umat manusia. Kaum abolisionis mengatakan bahwa kita tidak boleh mengajarkan bahwa kita pantas membunuh orang yang bersalah (lihat pendapat Rolling pada bagian yang kontra pidana mati).
Achmad Ali, “hukuman mati sangat dibutuhkan khususnya di Indonesia, tetapi harus diterapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik artinya hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius ("heinous") mencakupi korupsi, pengedar narkoba, teroris, pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana. Dan yang dimaksudkan dengan selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar yang telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan (“beyond reasonable doubt”) bahwa memang dialah sebagai pelakunya. Misalnya terdakwa sendiri secara gamblang mengakui perbuatannya, seluruh alat bukti memang “menyatakan” diri terdakwalah sebagai pelakunya. Masih menurut Achmat Ali, UUD 1945 hasil Amandemen, sama sekali tidak melarang hukuman mati. Memang benar ada Pasal 28 I (1), yang berbunyi
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

Tetapi Pasal 28 I (1) harus dilengkapi dengan juga memahami apa yang terkandung dalam pasal 28 J (2) yang berbunyi:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Jika hanya membaca Pasal 28 I (1) itu saja, maka memang terkesan seolah-olah konstitusi kita “melarang hukuman mati”, tetapi begitu kita membaca lengkap Pasal 28 I (1) maupun Pasal 28 J (2), maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan papun, tetapi pelaksanaan hak tersebut harus dibatasi bahwa pelaksanaan semua hak tersebut haruslah:
a. sesuai dengan undang-undang;
b. sesuai dengan pertimbangan moral;
c. sesuai dengan nilai agama;
d. sesuai dengan keamanan dan ketertiban umum.
Dengan kata lain, “dikecualikannya” jaminan hak yang ada dalam pasal 28 I (1) itu dimungkinkan jika berdasarkan undang-undang, pertimbangan moral, nilai agama, demi keamanan dan ketertiban umum.

Lebih penting lagi adalah hukuman mati tetap diperlukan karena tindakan dari pelaku sendiri yang tidak lagi memperhatikan aspek kehidupan yang berperikemanusiaan (Sila kedua dari Pancasila) dan kehidupan yang penuh dengan berkeadilan sosial (Sila kelima dari Pancasila).
Pemikir hukum pidana Islam Indonesia, Daud Rasyid, terkait dengan pidana mati menyatakan, untuk memahami sanksi-sanksi pidana dalam perspektif Islam, kita sebaiknya terlebih dahulu melihat Islam dalam acuan berfikir yang global. Hal ini penting, agar kita terhindar dari kekeliruan dalam memahami konsep Islam yang menganut sistem universal dan holistik. Memandang Islam dalam sudut ‘vonnis’ semata, tanpa mengaitkannya dengan aspek lain yang sesungguhnya tak boleh terpisah, dapat memberikan kesan yang tidak positif tentang agama Islam.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Eksistensi Pidana Mati Dalam Rancangan KUHP
Penggunaan sarana pidana mati di Indonesia memang tidak dapat dipisahkan jiwa hukum pidana Indonesia sebagai sarana penjatuhan pidana terhadap pelanggaran yang terjadi terlepas dari apa tujuan pidana mati itu sendiri.Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski diwarnai dengan discenting opinion dan lingkup putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas. Ya, masyarakat kita masih memandang pidana mati masih layak untuk dipertahankan. Beberapa tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal logging agaknya pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik bagi halayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan mayarakat. Maka sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia, putusan MK ini mendapat apresiasi yang representatif.
Dengan putusan MK tersebut semakin memperkuat posisi pidana mati sebagai sarana penjatuhan pidana. Dalam RKUHP nasional tahun 2004 diketahui bahwa hukuman mati tidaklah diposisikan sebagai hukumam pokok melainkan sebagai pidana alternatif, sebagaimana diatur dalam pasal 63 RKUHP yang menyatakan bahwa : Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Dengan adanya pengaturan pidana mati di dalam Pasal 63, jelas bahwa pidana mati masih diperlukan sebagai bagian dari sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim.
Pertama-tama patut dikemukakan, bahwa Konsep KUHP (sistem hukum pidana materiel) dilatarbelakangi oleh berbagai pokok pemikiran yang secara garis besar dapat disebut “ide keseimbangan”. Ide keseimbangan ini antara lain mencakup:
1. keseimbangan monodualistik antara “kepentingan umum/ masyarakat” dan “kepentingan individu/perorangan”.
2. keseimbangan antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana keseimbangan antara unsur/faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) dan “subjektif” (orang/batiniah/sikap batin); ide “daad-dader strafrecht”;
3. keseimbangan antara kriteria “formal” dan “materiel”;
4. keseimbangan antara “kepastian hukum”, “kelenturan/ elastisitas/ fleksibilitas”, dan “keadilan”;
5. keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/ internasional/universal;

Di samping pokok pemikiran di atas, dipertahankannya pidana mati juga didasarkan pada ide “menghindari tuntutan/reaksi masyarakat yang bersifat balas-dendam, emosional, sewenang-wenang, tak terkendali atau bersifat “extra-legal execution”. Artinya, disediakannya pidana mati dalam Undang-Undang dimaksudkan untuk memberikan saluran emosi/tuntutan masyarakat. Tidak tersedianya pidana mati dalam Undang-Undang, tidak merupakan jaminan tidak adanya pidana mati dalam kenyataan di masyarakat. Oleh karena itu, untuk menghindari emosi balas dendam pribadi/masyarakat yang tidak rasional, dipandang lebih bijaksana apabila pidana mati tetap tersedia dalam Undang-Undang. Dengan adanya pidana mati dalam Undang- Undang, diharapkan penerapannya oleh hakim akan lebih selektif dan berdasarkan pertimbangan yang rasional/terkendali. Jadi dimaksudkan juga untuk memberi perlindungan individu/warga masyarakat dari pembalasan yang sewenang-wenang dan emosional dari korban atau masyarakat apabila pidana mati tidak diatur dalam Undang-Undang. Pokok pemikiran di atas, didasarkan pada pandangan teoritik, bahwa salah satu tujuan pidana adalah untuk:
1. “to create a possibility for the release of emotions that are aroused by the crime” (Emile Durkheim);
2. “to provide a channel for the expression of retaliatory motives” (Schwartz & Skolnick);
Di samping itu juga didasarkan pada pertimbangan, bahwa extra-legal execution itu sangat dikutuk oleh masyarakat dunia. Tindakan sewenang-wenang di luar hukum secara tegas dikutuk oleh kongres PBB keenam tahun 1980.
Mengenai eksistensi pidana mati dilihat dari sudut pandang Pancasila apakah tidak bertentangan dengan Amandemen kedua UUD’45 dan UU-HAM (No. 39/1999) yang menyatakan, bahwa: “setiap orang berhak untuk hidup” (Pasal 28A jo. Pasal 28 I UUD’45 dan Pasal 9 ayat 1 jo. Pasal 4 UU-HAM); dan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa” (Pasal33 ayat 2 UU-HAM), pertanyaan itulah yang sering dijadikan alasan oleh orang-orang yang kontra terhadap pidana mati untuk menghapuskan pidana mati.
Dari pertanyaan diatas dapat diberikan alasan mengapa pidana mati masih tetap digunakan dalam system hukum pidana Indonesia :
1. Dilihat sebagai satu kesatuan, Pancasila mengandung nilai keseimbangan antara sila yang satu dengan sila lainnya. Namun apabila Pancasila dilihat secara parsial (menitikberatkan pada salah satu sila), maka ada pendapat yang menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan Pancasila dan ada pula yang menyatakan tidak bertentangan dengan Pancasila. Jadi pendapat yang menolak dan menerima pidana mati, sama-sama mendasarkan pada Pancasila. Hal ini terlihat dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Fakultas Hukum UNDIP bekerjasama dengan Kejaksaan Agung pada tahun 1981/1982. Dalam laporan penelitian itu dinyatakan, bahwa “ada kecenderungan di antara mereka yang pro dan kontra (terhadap pidana mati, pen.), untuk menjadikan Pancasila sebagai “justification”.
2. “Hak untuk hidup” (Pasal 28A jo. Pasal 28 I UUD’45 dan Pasal9 ayat 1 jo. Pasal 4 UU-HAM) dan “hak untuk bebas dari penghilangan nyawa” (Pasal 33 UU-HAM) tidak dapat dihadapkan secara diametral (samasekali bertentangan) dengan “pidana mati”. Hal ini sama dengan “hak kebebasan pribadi” (Pasal 4 UU-HAM) atau “hak atas kemerdekaan” (Pembukaan UUD’45) yang juga tidak dapat dihadapkan secara diametral dengan “pidana penjara” Apabila dihadapkan secara diametral, berarti pidana “penjara” pun bertentangan dengan UUD’45 dan UU-HAM karena pidana penjara pada hakikatnya adalah “perampasan kemerdekaan/kebebasan”.
3. Pernyataan dalam UUD’45 dan UU-HAM bahwa “setiap orang berhak untuk hidup”, identik dengan Pasal 6 (1) ICCPR yang menyatakan, bahwa “every human being has the right to life”. Namun di dalam Pasal 6 (1) ICCPR, pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat tegas, bahwa “No one shall be arbitrarily deprived of his life”. Jadi walaupun Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan, bahwa “setiap manusia mempunyai hak untuk hidup”, tetapi tidak berarti hak hidupnya itu tidak dapat dirampas. Yang tidak boleh adalah “perampasan hak hidupnya secara sewenangwenang” (“arbitrarily deprived of his life”). Bahkan dalam Pasal6 (2) dinyatakan, pidana mati tetap dimungkinkan untuk “the most serious crimes”. Selanjutnya bahkan diatur pula dalam berbagai dokumen internasional mengenai “pedoman pelaksanaan pidana mati” (Lihat Resolusi Ecosoc PBB 1984/50 jo. Resolusi 1989/64 dan Resolusi 1996/15 yang mengatur “the Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty”). Dalam Resolusi Commission on Human Rights (Komisi HAM PBB) 1999/61 juga masih ada penegasan, bahwa pidana mati jangan dijatuhkan kecuali untuk “the most serious crimes” (dengan pembatasan/rambu-rambu: “intentional crimes with lethal or extremely grave consequences”).
4. Demikian pula dalam UU-HAM ada pembatasan dalam Pasal73 yang menyatakan: “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa”. Pasal 73 UU-HAM ini identik dengan Pasal 28 J UUD’45 (Amandemen ke-2 tahun 2000).

B. Posisi /status Pidana Mati dalam Konsep RUU KUHP
Pidana mati dan pidana seumur hidup secara teoritik termasuk pidana
absolut (absolute punishment). Sifat pidana yang demikian didasarkan pada asumsi dasar yang absolut. Pada diri pelaku dipandang ada unsur/ sifat-sifat kemutlakan (absolut), yaitu: sudah melakukan kejahatan yang secara absolut sangat membahayakan/merugikan masyarakat; ada kesalahan absolut (maksimal) dan sipelaku itu dianggap secara absolut/mutlak sudah tidak dapat berubah/diperbaiki. Dilihat dari sudut kebijakan penal, pandangan/asumsi absolut yang demikian patut dipermasalahkan. Dalam kenyataannya, sulit menetapkan adanya kesalahan absolut pada diri seseorang, terlebih karena faktor “kausa dan kondisi” yang menyebabkan terjadinya kejahatan cukup banyak, sehingga tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada kesalahan sipelaku. Kenyataan lain menunjukkan bahwa tidak ada orang yang secara absolut tidak bisa berubah atau tidak bisa diperbaiki/ memperbaiki diri. Oleh karena itu adalah kurang bijaksana apabila kebijakan dianutnya pidana mati didasarkan pada pandangan/asumsi dasar/kebijakan yang absolut itu.
Dalam penyusunannya Rancangan KUHP nantinya akan tetap mempertahankan pidana mati sebagai konsepnya, namun Konsep nampaknya tidak berorientasi pada kebijakan/paradigma absolut seperti diuraikan di atas. Status pidana mati dalam Konsep tidak dimasukkan dalam kelompok pidana pokok, tetapi sebagai pidana khusus (eksepsional). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 61 Konsep2000. Namun dalam perkembangannya, Konsep 2004 (Pasal 63) dan Konsep 2005 & 2006 (Pasal 66) menyebutnya dengan istilah“pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”. Dikeluarkannya pidana mati dari komposisi/deretan pidana pokok dan dijadikan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus/eksepsional, dapat dimaklumi mengingat hal-hal sebagai berikut:
Dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu/masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir/perkecualian. Hal ini dapat diidentikkan dengan“amputasi/operasi” di bidang kedokteran, yang pada hakikatnya juga bukan sarana/obat utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/obat terakhir. Oleh karena itu ditegaskan dalam Konsep (Pasal 80/ 2000; Pasal 84/2004; Pasal87/2005-2006), bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Di beberapa negara lainpun ada yang menyatakan bahwa pidana mati merupakan pidana eksepsional (lihat misalnya Pasal 30 ayat2 KUHP Polandia dan Pasal 24 ayat 2 KUHP Yugoslavia).

BAB IV
KESIMPULAN

KESIMPULAN

Dari penjelasan yang ada diatas jelas bahwa pidana mati sebagai sebagai peninggalan sejarah masa lampau tampaknya masih akan tetap di pertahankan dalam rancangan KUHP setidak-tidaknya sampai rancangan tahun 2004. Namun penggunaan pidana mati dalam rancangan KUHP tidaklah sama dengan apa yang diatur dalam KUHP nasional yang ada sekarang. namun Konsep RUU KUHP nampaknya tidak berorientasi pada kebijakan/paradigma absolut.

Dalam RUU KUHP tahun 2004 bahwa dinyatakan dalam Bagian Kedua Pidana Paragraf I Jenis Pidana Pasal 62 (1) Pidana Pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial
dari pasal 62 ayat 1 diatas jelas bahwa pidana mati tidaklah lagi diatur sebagai hukuman pokok, namun bukan berarti hukuman mati tersebut dihapuskan dari rancangan KUHP akan tetapi untuk hukuman mati diatur didalam pasal lain yaitu diatur di dalam pasal tersendiri yaitu Pasal 63. Dimana didalam pasal 63 tersebut dijelaskan bahwa “Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”.

Dengan demikian jelas bahwa dalam Rancangan KUHP masih akan tetap mempertahankan pidana mati sebagai sarana penjatuhan pidana walaupun penggunaanya nanti bukan sebagai sarana pidana pokok dengan alasan bahwa Dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu/masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir/perkecualian. Hal ini dapat diidentikkan dengan“amputasi/operasi” di bidang kedokteran, yang pada hakikatnya juga bukan sarana/obat utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/obat terakhir. Oleh karena itu ditegaskan dalam Konsep (Pasal 80/ 2000; Pasal 84/2004; Pasal87/2005-2006), bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Di beberapa negara lainpun ada yang menyatakan bahwa pidana mati merupakan pidana eksepsional (lihat misalnya Pasal 30 ayat2 KUHP Polandia dan Pasal 24 ayat 2 KUHP Yugoslavia).


DAFTAR PUSTAKA

Fahmi Raghib S.H., MH, pengantar hukum penitensier, Universitas Sriwijaya, palembang, 2008

www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php , Jurnal legislasi Indonesia, diakses pada tanggal 5 desember 2008

http://abolishment.blogspot.com/2008/03/tinjauan-agama-islam-atas-hukuman-mati.html, diakses pada tanggal 25 nopember 2008

http://library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin.pdf, pidana mati menurut hukum pidana Indonesia

http://advokatku.blogspot.com/2006/10/pidana-mati-apa-dan-bagaimana.html, diakses pada tanggal 25 nopember 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati, diakses pada tanggal 25 nopember 2008

http://ligagame.com/lg_smf/index.php, sejarah hukuman mati, diakses pada tanggal 25 nopember 2008

http://fertobhades.wordpress.com/2007/01/06/hukuman-mati/, diakses pada tanggal 27 nopember 2008

http://www.komnasham.go.id/portal/files/Kajian%20Hukuman%20Mati%20-%20Final.pdf, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sif.ed.: UMUM
Sidang Paripurna Keputusan Sidang Tanggal Sidang 23-24 September 2008 Paripurna Komnas HAM Agenda Sidang No. 3 Nomor: 033/SP/IX/2008, Kajian
HUKUMAN MATI DALAM PANDANG AN HAK ASASI MANUSIA (Laporan Kajian Sekretaris Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, Roichatul Aswidah), diakses pada tanggal 25 nopember 2008

http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czozNjoiZD1zb3MrMSZmPVBlbWlkYW5hYW5fTWF0aV9SX0tVSFAuaHRtIjs=, R. KUHP MENGHINDARI PIDANA MATI (Rudy Satriyo Mukantardjo(staf pengajar hukum pidana FH-UI), diakses pada tanggal 27 nopember 2008

Tinjauan Agama Islam atas Hukuman Mati


oleh:
Adri Noor Rachman
Bentuk peraturan dalam ajaran Islam terdiri dari hudud dan ta’zir. Hudud adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggaran dan sanksinya sudah di atur secara pasti. Sedangkan ta’zir adalah suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggarannya sudah di atur tetapi bentuk sanksinya di serahkan kepada negara[1]. 

Dalam agama Islam dikenal apa yang dinamakan kisas. Kisas yaitu memberikan perlakuan yang sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukannya terhadap korban[2]. Kisas diterapkan terhadap pelaku pembunuhan. Dasar berlakunya kisas ini adalah berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah, yakni surat kedua dari Al-Quran, ayat 178 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”[3]. Dalam penjelasannya diterangkan bahwa diat adalah suatu ganti rugi yang dibayarkan kepada ahli waris korban. Dalam hukum Islam hukuman mati dapat diganti dengan pembayaran ganti rugi kepada ahli waris korban apabila sebelumnya ahli waris korban telah memaafkan pelaku kejahatan pembunuhan atas apa yang dilakukannya. Selanjutnya dalam ayat 179 Allah SWT berfirman: “Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”[4]. 

Dalam Kitab Suci umat Islam ini terdapat surat yang isinya sangat jelas menunjukan bahwa Islam sejalan dengan teori absolut, yakni surat Al-Maaidah ayat 45 yang artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan hak qishaashnya, maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”. Surat ini dan surat-surat sebelumnya menunjukan bahwa Allah SWT menetapkan bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal bagi tindak pidana pembunuhan karena begitu beratnya akibat dari pembunuhan tersebut[5].

Adapun untuk diberlakukannya kisas terdapat beberapa syarat, yaitu:[6]

a. Pelaku seorang mukalaf, yaitu sudah cukup umur dan berakal.

b. Pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja.

c. Unsur kesengajaan dalam pembunuhan itu tidak diragukan lagi.

d. Pelaku pembunuhan tersebut melakukannya atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari orang lain.

Dalam hal terjadi pembunuhan yang melibatkan pelaku dan korban yang memiliki hubungan keturunan, maka kisas tidak dapat diberlakukan.

Mengenai kisas ini banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para pemuka agama Islam itu sendiri, di antaranya mengenai cara pelaksanaan kisas. Pendapat pertama mengatakan bahwa kisas hanya bisa dilakukan dengan pedang atau senjata, terlepas dari pembunuhan yang telah dilakukan menggunakan pedang atau tidak. Pendapat kedua mengatakan bahwa kisas itu dilakukan sesuai dengan cara dan alat yang digunakan pembunuh pada saat melakukan pembunuhan. Namun terdapat kesepakatan di antara ahli agama Islam bahwa apabila ada alat lain yang dapat lebih cepat menghabisi nyawa terpidana, maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama[7].

Bagi penegak hukum dalam negara Islam terdapat prinsip “Lebih baik salah memaafkan dari pada salah menghukum.”[8]. Prinsip ini menunjukan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman, khususnya hukuman mati. Apabila seseorang mengakui kesalahan yang telah dilakukannya serta bertaubat dengan sungguh-sungguh, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 34, maka ia akan di ampuni atas perbuatannya oleh Allah[9]. Penegak hukum Islam juga berpedoman pada ayat tersebut dalam menegakkan hukum Islam. Maka apabila seorang pelaku kejahatan menyerahkan diri lalu mengakui perbuatannya dan bertaubat, hendaknya menjadi suatu pertimbangan bagi para penegak hukum dalam proses penjatuhan hukuman.


[1] Miftah Faridl, “Pokok-pokok Ajaran Islam”, Pustaka, Bandung, 1996, hal. 156.

[2] Ensiklopedi Hukum Islam No.4, hal 1381.

[3] T.M. Hasbi Ashshiddiqi, dkk., “Al-Quran dan Terjemahannya”, Mujamma’ Khadim Al-Haramain Asy-Syarifain, Madinah, 1971, hal. 43.

[4] Ibid, hal. 44.

[5] Ahmad Wardi Muslich, “Hukum Pidana Islam”, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 136.

[6] Ensiklopedi Hukum Islam No. 4, op cit, hal. 1382.

[7] Ibid, hal. 1383.

[8] Miftah Faridl, op cit, hal. 157. 

[9] T.M. Hasbi Ashshiddiqi, dkk, op cit, hal. 164-165.

Contoh Gugatan Cidera Janji (Wanprestasi)


26 09 2007 
Jakarta,…………………………
Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Jl. Raya Ampera No.11
Jakarta Selatan
Perihal: Gugatan Wanprestasi
Dengan hormat,
Perkenankanlah Kami……………….. dan Rekan, Advokat pada Kantor Hukum…………………….. beralamat di ………………………………………….. Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No………………………, tertanggal …………………… (terlampir) dari dan oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama ………………………., yang beralamat di ………………………………………………………………..  
Selanjutnya disebut……….………………………………………..………………….…..PENGGUGAT.
Dengan ini mengajukan gugatan Wanprestasi terhadap:
PT…………………………………….., yang beralamat di ………………………………………………………………., Indonesia……………..selaku TERGUGAT.
Adapun alasan-alasan dan keadaan hukum yang menjadi dasar gugatan ini adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat adalah Pemegang Polis yang sah dari Asuransi Jiwa …………………………….yang dikeluarkan oleh ………………………………. (Tergugat), yang mana Penggugat menjadi nasabah asuransi tersebut untuk mengasuransikan orang tua (mertua)-nya yang bernama ………….. sebagai Tertanggung sebagaimana tertera dalam Polis Asuransi tertanggal 28 Agustus 2003 No. …………………………………… dengan uang pertanggungan sejumlah Rp. 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah) dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), dengan uang pertanggungan sejumlah Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) (Bukti P-1);
2. Bahwa sebelum diterbitkannya Polis Asuransi tersebut, Penggugat dan Tertanggung telah mengisi formulir dan persyaratan yang diisyaratkan Tergugat antara lain mengisi formulir Surat Permintaan Asuransi Jiwa Perorangan (Bukti P-2), Pernyataan dan Surat Kuasa (Bukti P-3), memeriksa kesehatan Tertanggung (General Medical check up) dirumah sakit Pemerintah sehingga diterbitkan Sertifikat Kesehatan yang ditandatangani oleh dr.………………….. dari Rumah Sakit Umum ……………….. (Bukti P-4), serta dokumen lain sebagai persyaratan penerbitan Polis;
3. Bahwa setelah semua persyaratan di penuhi oleh Penggugat, selanjutnya Penggugat menyerahkan persyaratan tersebut kepada Tergugat untuk di analisa;
4. Bahwa pada tanggal 19 Agustus 2003, Tergugat mengirim surat kepada Penggugat perihal: penawaran extra premi permohonan asuransi jiwa, yang pada pokoknya Tergugat menerima permohonan Penggugat dengan perhitungan premi sebagai berikut: Premi Asuransi sebesar Rp. 18.876.000,- dan Premi Tambahan (extra Premi) Kesehatan Rp. 2.200.320,- sehingga Total Premi adalah Rp. 21.076.320,-
(Bukti P-5)
5. Bahwa setelah Penggugat menyetujui Penawaran sebagaimana dimaksud dalam butir 4 diatas, pada tanggal 27 Agustus 2003, Penggugat melakukan pelunasan pembayaran premi sejumlah Rp. 21.082.320,- (dua puluh satu juta delapan puluh dua ribu tiga ratus dua puluh rupiah); (Bukti P-6).
6. Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2003, Tergugat mengirim surat kepada Penggugat perihal pemberitahuan Akseptasi Asuransi Jiwa Perorangan, dan menyampaikan bahwa dalam waktu 14 hari Tergugat akan mengirim Polis Asli kepada Penggugat (Bukti P-7), demikian pula pada tanggal dan hari yang sama, Tergugat juga mengirim surat kepada Penggugat yang berisi ucapan terimakasih karena telah bergabung dengan Tergugat; (Bukti P-8). 
7. Bahwa dengan demikian dengan diterbitkannya Polis Asuransi oleh Tergugat maka segala ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Penggugat adalah telah sah dan lengkap;
8. Bahwa karena antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi kesepakatan tentang Asuransi / pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 246 KUHD Jo. Pasal 247 KUHD yang tertuang dalam Polis No. 000002074331/1409 dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena Kecelakaan (Accident Death And Disablement Rider), kesepakatan mana telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata sehinga sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, Perjanjian antara Penggugat dan Tergugat berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak dan perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;
9. Bahwa pada tanggal 26 September 2003 jam 15.00 WIB mertua Penggugat yang bernama …………….. (Tertanggung), mengalami kecelakaan jatuh dari tangga serta mendapat perawatan dr. ………………., dan mulai saat itu kondisi tubuh Tertanggung terus-menerus menurun;
10. Bahwa selanjutnya pada tanggal 16 Oktober 2003, mertua Penggugat (Tertanggung) meninggal dunia sesuai dengan Akta Kematian No. 09/CS/2003, tertanggal 4 Nopember 2003, yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Penduduk…………………; (Bukti P-10). 
11. Bahwa sesuai dengan dengan Surat Keterangan Kematian yang dikeluarkan oleh dr………………………., penyebab kematian tertanggung adalah karena kecelakaan jatuh dari tangga ;(Bukti P- 11a dan Bukti 11b).
12. Dalam pasal 15 polis No. ………………………….. ditentukan bahwa “ Pertanggungan atas resiko meninggalnya tertanggung berlaku dalam keadaan dan oleh sebab apapun, kecuali meninggal dunia sebagai akibat dari :
1. Bunuh diri, dihukum mati oleh pengadilan, apabila peristiwa itu terjadi dalam waktu 2 (dua) tahun sejak berlaku atau dipulihkannya perjanjian asuransi ini.
2. Perbuatan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja, oleh mereka yang berkepentingan dalam asuransi.
Demikian pula dalam pasal 2 butir 1 Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena Kecelakaan (Accident Death And Disablement Rider) ditentukan bahwa:
1. Jika tertanggung mengalami kecelakaan dan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak kecelakaan terjadi , Tertanggung : 
1. Meninggal dunia, 100 %(seratus persen) dari uang pertanggungan akan dibayarkan seperti dinyatakan dalam polis;
13. Bahwa karena penyebab kematian Tertanggung tidak termasuk dalam hal-hal yang dikecualikan dalam pertanggungan (pasal ……. Polis…………………………….. ), maka Tergugat berkewajiban untuk membayar Pertanggungan atas resiko meninggalnya Tertanggung kepada Penggugat selaku Pemegang Polis;
14. Bahwa pada tanggal 11 Nopember 2003, Penggugat mengajukan klaim kepada Tergugat dengan melampirkan semua dokumen yang dipersyaratkan, serta menyerahkan Polis Asli dan Kwitansi Premi Pertama, sesuai dengan tanda terima tertanggal 11 November 2003; (Bukti P- 12).
15. Bahwa selanjutnya Tergugat meminta kepada Penggugat untuk memberikan Nomor Rekening Penggugat di salah satu Bank di ……………, dan karena menurut Penggugat klaim yang diajukan tersebut akan di bayar, maka Penggugat mengirimkan nomor rekeningnya di Bank …………………….. Cabang Jl. …………………………;(Bukti P-13).
16. Bahwa pada tanggal 18 Februari 2004 Tergugat mengirim surat dengan No. Ref: 009/ALI-Claim/II/2004 yang pada pokoknya menyatakan Tergugat tidak bersedia melaksanakan kewajiban untuk membayar klaim atas meninggalnya ……………….. sebagai Tertanggung, dan secara sepihak Tergugat membatalkan Polis dengan alasan adanya keterangan yang ditutup-tutupi tentang kondisi kesehatan pada saat pengisian formulir permohonan asuransi, yaitu menurut data yang Tergugat dapatkan, Tertanggung pernah menderita penyakit Adeno Carsinoma Lambung (Kanker Lambung); (Bukti P-14).
17. Bahwa alasan yang diberikan oleh Tergugat tersebut adalah sangat mengada-ada dan tidak berdasarkan pada fakta-fakta karena senyatanya Tertanggung tidak pernah menderita penyakit Adeno Carsinoma Lambung (Kanker Lambung) sebagaimana didalilkan Tergugat. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil general check up tertanggung sehingga terbitnya Sertifikat Kesehatan atas nama Kartina yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Umum ……………………… yang ditandatangani oleh dr…………….; (vide Bukti P-4).
18. Bahwa seandainya Tertanggung menderita penyakit yang dituduhkan oleh Penanggung, maka tentu saja dr. …………………….. tidak akan menerbitkan Sertifikat Kesehatan. Dan oleh karena pada faktanya setelah melalui pemeriksaan medis yang sah kondisi Tertanggung dalam keadaan sehat baik jasmani ataupun rohani maka dr. …………….. kemudian mengeluarkan Sertifikat Kesehatan sehingga dengan demikian Sertifikat Kesehatan yang telah dikeluarkannya itu adalah sah menurut hukum; 
19. Bahwa selain dari pada itu dalil Tergugat yang menyatakan Penggugat atau Tertanggung tidak memberikan informasi yang benar atas kondisi kesehatan dan juga menyatakan Tertanggung menderita Kanker Lambung adalah tidak didasarkan pada fakta-fakta yang benar atau tidak didasarkan pada hasil pemeriksaan medis yang sah, karenanya senyatanya hingga saat ini Tergugat tidak pernah memberikan fakta-fakta yang menjadi dasar ditolaknya klaim Penggugat; 
Bahwa sehingga dengan demikian “Sertifikat Kesehatan yang dikeluarkan oleh dokter resmi pemerintah adalah lebih kuat dan akurat keabsahannya dari pada keterangan-keterangan yang diperoleh Tergugat karena telah dikeluarkan berdasarkan prosedur pemeriksaan medis yang benar. “
20. Bahwa senyatanya terbukti bahwa Tergugat hanya mengada-ada dan mencari-cari alasan untuk tidak membayar klaim yang diajukan oleh Penggugat, fakta mana dapat dilihat dari usaha Tergugat untuk menutupi perbuatannya Tergugat telah bertindak diluar prosedur asuransi yang wajar yaitu dengan cara mengembalikan premi yang telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat sebesar Rp.21.076.320,- melalui transfer ke rekening Penggugat tanpa sepengetahuan dan persetujuan Penggugat, padahal lazimnya dalam dunia asuransi, sebelum penanggung mentransfer dana kepada pemegang polis, harus ada konfirmasi dan persetujuan dari pemegang polis terlebih dahulu. Dengan demikian terbukti bahwa permintaan nomor rekening Penggugat oleh Tergugat sebagaimana dimaksud dalam butir 15 diatas, adalah suatu jebakan dari Tergugat; 
21. Bahwa Penggugat telah beberapa kali memperingatkan (mensomasi) Tergugat untuk melaksanakan kewajibannya, akan tetapi Tergugat tetap tidak melaksanakannya dengan berbagai alasan; (Bukti P-15a dan P 15-b)
22. Bahwa sesuai dengan uraian-uraian tersebut diatas, terbukti bahwa Tergugat telah Cidera Janji (wanprestasi) atas apa yang telah disepakati dalam Polis Program Asuransi …………… No. ………………………….. dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), sehingga sesuai dengan ketentuan pasal 1243 KUHPerdata, Tergugat berkewajiban mengganti biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya perikatan tersebut.
23. Bahwa adapun kerugian Penggugat akibat perbuatan Tergugat adalah sebagai berikut:
Kerugian Materil :
a. Uang pertanggungan akibat meningal dunia berdasarkan Polis Program Asuransi Smart Executive No. ……………………….. sejumlah Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah).
b. Uang pertanggungan meninggal dunia akibat kecelakaan berdasarkan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), sejumlah Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
c. Bunga sebesar 10% per bulan terhitung Penggugat mengajukan Klaim kepada tergugat yaitu sejak tanggal 11 Nopember 2003, sampai dengan Tergugat melaksanakan kewajibannya secara keseluruhan.
Kerugian Immaterill :
Bahwa karena perbuatan Tergugat tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang dimaksud, maka jelas sangat mengganggu Tergugat baik fikiran dan bathin, serta menyita waktu dimana Penggugat harus bolak-balik ke ………….. dan ……………….. untuk mengurus Klaim yang diajukan Penggugat dengan meninggalkan usahanya, kerugian mana tidak dapat dinilai dengan uang, akan tetapi patut dan wajar apabila Penggugat menuntut ganti kerugian Immateriil sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
24. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan putusan di kemudian hari tidak menjadi sia-sia (illusioir), maka sangatlah beralasan apabila terhadap harta benda milik Tergugat baik benda tetap maupun benda tidak tetap, terlebih dahulu diletakkan sita jaminan (conservatoir Beslag), yaitu:
Alat-alat perlengkapan kantor berupa komputer-komputer, meja-meja, alat-alat tulis kantor, kendaraan bermotor dan semua benda-benda bergerak yang berada di lingkungan tetapi tidak terbatas pada benda yang berada di ……………………………………………………………………………
25. Bahwa karena gugatan ini diajukan dan didukung oleh bukti-bukti otentik yang cukup dan dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya, maka Penggugat Mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk dapat memberikan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada verzet, Banding, Kasasi maupun upaya-upaya hukum lainnya (Uit Veortbaar Bij Voorrad);
Bahwa berdasarkan fakta-fakta dan alasan-alasan yang telah Penggugat uraikan tersebut diatas, maka Penggugat mohon kiranya Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutuskan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan bahwa Perjanjian Asuransi Jiwa yang tertuang dalam Polis Program Asuransi Smart Executive No. ……………….. dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER) adalah sah dan mengikat menurut hukum.
3. Menyatakan Tergugat telah cidera janji (wanprestasi) untuk melaksanakan kewajiban sesuai yang tercantum dalam Polis.
4. Menghukum Tergugat I untuk membayar kerugian Penggugat yaitu :
Kerugian Materil :
a. Uang pertanggungan akibat meningal dunia berdasarkan Polis Program Asuransi Smart Executive No. …………………………. sejumlah Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah)
b. Uang pertanggungan meninggal dunia akibat kecelakaan berdasarkan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), sejumlah Rp. 300.000.000. (tiga ratus juta rupiah)
c. Bunga sebesar 10% per bulan terhitung Penggugat mengajukan Klaim kepada tergugat yaitu sejak tanggal 11 Nopember 2003, sampai dengan Tergugat melaksanakan kewajibannya secara keseluruhan.
Kerugian Immaterill sejumlah Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
5. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari, setiap kali Tergugat lalai melaksanakan Putusan ini.
6. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Consevatoir Beslag) yang telah diletakkan diatas harta benda dan milik Tergugat berupa:
Alat-alat perlengkapan kantor berupa komputer-komputer, meja-meja, alat-alat tulis kantor, kendaraan bermotor dan semua benda-benda bergerak lainnya yang berada di lingkungan tetapi tidak terbatas pada benda yang berada di ………………………………………………………………….
7. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum Verzet, Banding maupun Kasasi (Uit Voerbaar Bij Voorrad).
8. Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini.
 Namun demikian :
Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Ex Aeque Et Bono)
Hormat kami,
Kuasa Hukum Penggugat,
Thursday, March 20, 2008
Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa 
 
Pelaksanaan Akad dan Akibat Hukum Perjanjian : 
Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa
A. Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu: 
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu :
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. 
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah: 
1) Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
B. Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu :
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
C. Ganti Kerugian
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving). 
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu: 
a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A
b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);
b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
D. Keadaan Memaksa (overmach)
Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. 
Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu: 
a) Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;
b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;
c) Resiko tidak beralih kepada debitor;
d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.
Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif:
Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.
Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah. 
Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.
E. Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa dalam Perspektif Fiqh Muamalah
Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran salah satu ahli fiqh muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A.  
Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah gantirugi dari pihak yang lalai.
Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang tersebut harus diganti.
Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.
Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam pembayaran hutang.
Daftar Pustaka
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
Pramono, Nindyo, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003 
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1985 
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Purta Abadin, 1999
 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), cet. 1, hal. 2.21 
 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra Abadin, 1999), cet. 6, hal.18 
 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1985) 
 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2005), cet. 36, 
hal. 323
 Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.22
 Ibid, hal. 2.22-2.25
 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), cet. 32, hal. 148
 Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.23
 R. Setiawan, Op. Cit. 27-28
 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. 1, hal. 120-121
Diposting oleh Yogi Ikhwan, S.T. di Thursday, March 20, 2008  
[06/09/01] 
Bagi yang pernah kuliah di fakultas hukum, tentunya tidak asing dengan putusan Arrest Hooge Raad tanggal 31 Januari 1919 pada perkara Lindenbaum vs. Cohen. Tahukah Anda bahwa Arrest tersebut menjadi salah satu isi pasal dalam BW yang mulai berlaku di Belanda pada 1992 yang merumuskan perbuatan melawan hukum. Kenapa gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sering dicampuradukan?

Sekadar menyegarkan ingatan, perkara Lindenbaum vs. Cohen adalah suatu tonggak penting yang memperluas pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perkara tersebut melibatkan dua kantor percetakan yang saling bersaing, satu milik Lindenbaum dan satu lagi milik Cohen.
Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum dibujuk oleh Cohen agar memberitahukan nama-nama pelanggannya berikut penawaran yang diberikan kepada mereka. Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan data-data tersebut untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat orang-orang akan memilih kantor percetakannya daripada kantor Lindenbaum.
Untungnya, perbuatan Cohen cepat diketahui oleh Lindenbaum. Akibatnya, Lindenbaum langsung mengajukan gugatan terhadap Cohen di muka pengadilan Amsterdam. Selain mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen, Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen tersebut.
Di tingkat pertama Cohen kalah, tetapi sebaliknya di tingkat banding justru Lindenbaum yang kalah. Di tingkat banding, dikatakan bahwa tindakan Cohen tidak dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum karena tidak dapat ditunjukkan suatu pasal dari Undang-Undang yang telah dilanggar oleh Cohen.
Perbuatan melawan hukum
Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-nya Belanda) tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang dinyatakan sebagai pemenang. Hoge Raad menyatakan bahwa pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW, termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan kesusilaan. 
Sebelum adanya Arrest tersebut, pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit. Yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig). 
Orang tidak bisa mengajukan perbuatan melawan hukum dan meminta ganti kerugian apabila tidak disebutkan secara jelas pasal berapa dan undang-undang mana yang telah dilanggar.
Sebagai contoh, di kota Zutphen, Belanda, seorang pemilik rumah yang tinggal di bagian bawah rumah bertingkat pernah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap pemilik rumah yang tinggal di bagian atas. Penyebabnya, barang-barang yang berada ruangan di bagian bawah menjadi rusak karena pemilik rumah di bagian atas menolak untuk menutup kerannya.
Akibat musim dingin, pipa saluran air di bagian bawah pecah, sehingga ketika pemilik rumah yang di atas menyalakan keran, justru yang dibagian bawah menjadi kebanjiran. Ketika itu, gugatan perbuatan melawan hukum tersebut ditolak karena tiada pasal dari suatu Undang-Undang yang mengharuskan pemilik rumah bagian atas untuk mematikan kerannya.
Yang pasti, KUHPerdata memang tidak mendefinisikan dan merumuskan perbuatan melawan hukum. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya.
Belanda yang telah memasukkan Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 menjadi salah satu pasal dalam BW-nya. Perumusan dan batasan perbuatan melawan hukum sudah sedemikian luas di 'negeri kincir angin' ini.
Wanprestasi
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pkar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur.
Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga. Pengertian bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi.
Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada saat dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang disampaikan oleh kreditur ke debitur (pasal 1238 jo Pasal 1243 KUHPerdata). 
Untuk menghindari celah yang mungkin bisa dimanfaatkan debitur, ada baiknya kreditur membuat secara tertulis pernyataan lalai tersebut atau bila perlu melalui suatu peringatan resmi yang dibuat oleh juru sita pengadilan.
Perbedaan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi
Orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan, sebenarnya lebih tepat kalau diajukan gugatan wanprestasi. Ini akan menjadi celah yang akan dimanfaatkan tergugat dalam tangkisannya.
Membedakan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi sebenarnya gampang-gampang susah. Sepintas lalu, kita bisa melihat persamaan dan perbedaanya dengan gampang. Baik perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, sama-sama dapat diajukan tuntutan ganti rugi.
Sementara perbedaannya, seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain. Tiada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya.
Sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.
Beberapa sarjana hukum bahkan berani menyamakan perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi dengan batasan-batasan tertentu. Asser Ruten, sarjana hukum Belanda, berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang hakiki antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Menurutnya, wanprestasi bukan hanya pelanggaran atas hak orang lain, melainkan juga merupakan gangguan terhadap hak kebendaan.
Senada dengan Rutten, Yahya Harahap berpandapat bahwa dengan tindakan debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang tidak tepat waktu atau tak layak, jelas itu merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Dikatakan pula, wanprestasi adalah species, sedangkan genusnya adalah perbuatan melawan hukum.
Selain itu, bisa saja perbuatan seseorang dikatakan wanprestasi sekaligus perbuatan melawan hukum. Misalnya A yang sedang mengontrak rumah B, tidak membayar uang sewa yang telah disepakati. Selain belum membayar uang sewa, ternyata A juga merusak pintu rumah B 
Namun apabila kita cermati lagi, ada suatu perbedaan hakiki antara sifat perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Bahkan, Pitlo menegaskan bahwa baik dilihat dari sejarahnya maupun dari sistematik undang-undang, wanprestasi tidak dapat digolongkan pada pengertian perbuatan melawan hukum.
M.A. Moegni Djojodirdjo dalam bukunya yang berjudul "Perbuatan Melawan Hukum", berpendapat bahwa amat penting untuk mempertimbangkan apakah seseorang akan mengajukan tuntutan ganti rugi karena wanprestasi atau karena perbuatan melawan hukum. 
Menurut Moegni, akan ada perbedaan dalam pembebanan pembuktian, perhitungan kerugian, dan bentuk ganti ruginya antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.
Dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat harus membuktikan semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum selain harus mampu membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat debitur. Sedangkan dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar.
Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat dapat menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum). Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang diajukan dasarnya adalah wanprestasi.
Masalah simpel
Setiawan, mantan hakim tinggi yang sekarang menjadi arbiter di BANI melihat perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sederhana sekali. "Bedanya Undang-Undang dengan perjanjian apa sih? Undang-Undang tertulis, perjanjian bisa tertulis bisa tidak tertulis. Cuma Undang-Undang berlaku untuk umum, perjanjian berlaku untuk para pihak," ujarnya kepada hukumonline. 
Menurut Setiawan, kita berbicara perbuatan melawan hukum kalau melanggar Undang-Undang yang berlaku untuk umum. Sedangkan kita berbicara wanprestasi kalau kita berbicara tentang perjanjian yang berlaku untuk para pihak. "Simpel sekali masalahnya," ungkapnya.
Setiawan berpendapat bahwa perbedaan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang terus dibesar-besarkan seakan-akan menjadi perdebatan klasik yang tidak pernah usai. Hal ini sebenarnya tidak lebih dari upaya salah satu pihak untuk menghindar memenuhi kewajibannya. 
Setiawan mengemukakan bahwa sekarang ini orang lebih berprinsip kalau bisa tidak bayar atau kalau bisa memperlambat, buat apa bayar sekarang. "Sebenarnya hukum itu kaedahnya cuma dua: sopo sing salah kudu dihukum, sopo sing ngutang kudu bayar (siapa yang salah harus dihukum, siapa yang berhutang harus membayar, red), tidak ada lain. Pada akhirnya semua bermuara ke sana," cetus Setiawan.
Dari uraian di atas, sebelum mengajukan gugatan, ada baiknya calon penggugat mempertimbangkan terlebih dahulu apakah akan mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap lawannya. Seandainya mengajukan gugatan wanprestasi, ia cukup menunjukkan perjanjian yang dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian untuk menyatakan tidak terjadi wanprestasi.
Namun kalau akan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat harus siap-siap untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa bukan hanya ada suatu perbuatan melawan hukum, tetapi ada juga unsur kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh Tergugat.
Mengenai tuntutan ganti rugi yang diminta, untuk wanprestasi jumlahnya tentu bisa diperkirakan karena ada dalam perjanjian. Sedangkan untuk perbuatan melawan hukum, diserahkan kepada hakim untuk menilai besarnya ganti rugi. Jadi, mau mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum?

Himbali Minta Awasi Prosedur Hukum Lelang
 
Jakarta, Sinar Harapan
Himpunan Balai Lelang Indonesia (Himbali) meminta Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) dan Direktur Lelang untuk mengawasi penerapan prosedur hukum lelang di semua balai lelang. Sekaligus untuk mencegah adanya kerugian negara akibat kemungkinan wanprestasi atau tidak sesuai dengan perjanjian hukum semula atas lelang. 
Permintaan ini muncul akibat adanya dugaan wanprestasi atas lelang yang dilakukan bank nasional beberapa waktu lalu dan bertendensi merugikan negara sebesar Rp 52 miliar. Ketua Himbali, Hardiyanto Hoesodo mengatakan hal ini kepada wartawan di Jakarta, Senin (15/9). 
”Kami sudah konfirmasi kepada Pak Dirjen (DJPLN) dan Direktur Lelang. Prosedur lelang dan pengawasan atas wanprestasi lelang bisa timbulkan kerugian negara. Seharusnya semua uang wanprestasi masuk ke kas negara. Kita yakin mereka akan tegakkan prosedur itu. Kalau tidak, citra balai lelang akan rusak dan itu merupakan pelanggaran perdata dan pidana, ” ujarnya.
Hardiyanto menjelaskan, pihaknya menduga terjadinya wanprestasi atas lelang yang dilakukan Senin (8/9) atas aset berupa tanah kosong di Jl Hayam Wuruk No 127, Jakarta Barat. 
Aset itu terjual dengan harga limit Rp 218,27 miliar atau Rp 8.389 per meter persegi. Padahal, menurut perkiraan, nilai jual aset itu bisa lebih tinggi sekitar 230 - 240 miliar ru[iah dengan perkiraan harga tanah Rp 8.700 per meter persegi. 

Penyimpangan
Sementara, diduga ada penyimpangan pada proses tender pemilihan balai lelang yang tidak memenuhi kriteria. Untuk nilai jual aset tersebut, seharusnya yang bisa menjadi pelelang adalah yang memiliki pengalaman melakukan penjualan aset dengan nilai di atas Rp 50 miliar.
Wanprestasi yang dimaksud itu adalah pembayaran terhadap nilai pembayaran keseriusan Rp 2 miliar dan jaminan lelang Rp 50 miliar. Namun dari nilai itu pihaknya menduga telah terjadi wanprestasi karena pihak pembeli tidak mampu melakukan pelunasan setelah waktu tiga hari kerja sesuai kewajiban hukum yang mengikat. 
Seharusnya, sesuai peraturan lelang dari keputusan Dirjen Piutang dan Lelang Negara No 35/PL/2002 tanggal 27 September 2002 dan kesepakatan antara balai lelang pelaksana dan pemilik barang, maka akibat wanprestasi itu, uang deposit dan keseriusan sebesar Rp 52 miliar diperuntukkan bagi pemilik dan balai lelang. 
Pemerintah seharusnya menerima miliaran rupiah yang merupakan pendapatan non pajak sebesar 0,3 persen sebagai biaya lelang. Ditengarai, pemenang tender yang merupakan suatu konsorsium itu sendiri telah mengajukan surat penundaan pelunasan lelang tersebut, namun ditolak oleh DJPLN. (rik) 


Copyright © Sinar Harapan 2003 
Posita dan Petitum Bertentangan, Conoco Lolos dari Gugatan
[7/12/06]
ConocoPhilips Indonesia untuk sementara bisa bernafas lega. Pengadilan menyatakan gugatan yang diajukan terhadap perusahaan ini tidak dapat diterima.
Dalam sidang yang berlangsung Rabu (6/12) siang, majelis hakim Pengadilan negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa gugatan yang diajukan kurator PT Saptasarana Personaprima kabur (obscuur libel), sehingga dinyatakan tidak dapat diterima. Sidang pembacaan putusan itu sendiri tidak dihadiri oleh penggugat.
 
Majelis hakim yang diketuai Lief Sofijullah menjelaskan bahwa posita dan petitum gugatan saling bertentangan. Pada bagian posita, penggugat mendalilkan telah terjadi perbuatan melawan hukum, tetapi dalam petitum terjadi wanprestasi. Bagi majelis, kedua hal itu berbeda dan saling bertentangan. Namun, majelis tak menjelaskan secara rinci dan konseptual apa perbedaan keduanya. 
 
Meskipun tak merinci perbedaan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi (ingkar janji), putusan majelis sudah cukup menggembirakan pihak Conoco. “Putusan majelis membuktikan bahwa pengadilan tak bisa diintervensi, dan ini menjadi kabar baik bagi investor,“ ujar Todung Mulya Lubis, kuasa hukum Conoco. 
 
Tetapi bagi Saptasarana, hal itu menjadi pertanyaan. Rico Pandeirot, kuasa hukum perusahaan itu, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap putusan majelis. Pertimbangan majelis hakim dinilainya terlalu sederhana. “Perlu dirinci, bagian mana dari posita dan petitum yang tidak sinkron,” ujarnya ketika dihubungi via telepon.
 
Menurut Rico, majelis hakim kurang jeli dalam memahami hubungan antara perbuatan melawan hukum (PMH) dan wanprestasi. Rico berpendapat bahwa wanprestasi itu bagian dari PMH walaupun wanprestasi itu memang lebih spesifik. “Wanprestasi itu adalah akibat dari PMH. Karena itu, petitumnya yang kita minta adalah ganti kerugian akibat dari PMH,” tegasnya.
 
Rico mengaku masih mempertimbangkan dua alternatif untuk menindaklanjuti putusan ini. Yang pertama adalah mengajukan gugatan baru dengan memfokuskan gugatan kepada perbuatan melawan hukum. Atau, yang kedua, menempuh upaya banding. “Tapi semua masih menunggu apa kata klien,” lanjutnya.
 
Gugatan kurator Saptasarana Personaprima sudah berjalan setahun. Anggota majelisnya pun sudah ada yang berganti. Sengketa ini bermula ketika Sapta dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga PN Jakarta Pusat. Randy Rizaldi selaku kurator yang ditunjuk mengurus boedel pailit, merasa ada yang tak beres dalam pelaksanaan Kontrak No. TE 10707/RD antara Sapta dengan Conoco mengenai jasa pengelolaan alat-alat pengeboran (rig management services).
 
Pada bulan Agustus tahun lalu, Randy kemudian melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Conoco. Melalui kuasa hukumnya dari OC Kaligis & Associates, Randy menyatakan bahwa ConocoPhilips Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum karena memutuskan kontrak secara sepihak, sebelum masa kontrak itu berakhir.
 
Pihak conoco berdalih bahwa rig-rig yang disediakan Sapta tidak datang sesuai waktu yang dijanjikan (16 April 2002). Bahkan setelah sampai ke lokasi, rig-rig tersebut ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dalam kontrak.
(CRH)hukum online.com