KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

oleh :
citra dewi saputra

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana.1 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351-358.2 Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama kekerasan dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam UU No. 23 tahun 2004.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.


mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan Untuk rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya da-pat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak-adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai Hidden crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melak-sanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap marta-bat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum sangat diperlukan, khusus-nya tentang perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekera-san, terutama kekerasan dalam rumah tangga.Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya;
UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
UU 1/1974 tentang Perkawinan;
UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan
UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saat-nya dibentuk Undang-Undang tentang Peng-hapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidi-kan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.

1.2.Permasalahan
Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan yang saya angkat dalam makalah ini yaitu :
1. Apakah Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT sudah bisa melindungi korban akibat kekerasan dalam rumah tangga ?
2. Apakah Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan bahan acuan dalam memutuskan perkara di pengadilan dalam tindakan KDRT atau mengacu pada KUHP Bab XX tentang penganiayaan pasal 351-358 ?
3. Faktor apa yang menyebabkan seorang suami tega melekukan tindak kekerasan dalam rumah tangga ?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga
Secara ringkas, definisi kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan.1
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).

Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.3
Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:
1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.
4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.

Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga."5
Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP.
Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
5. proyek penyuluhan hukum agama, UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan UU tentang pengadilan agama, jakarta:departemen agama, 1995/1996,hal 15
Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu:
“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

2.2. Bentuk dan Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu:6
1. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.
2. Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab.
6.Ratna batara munti(ed), advokasi legislatif untuk perempuan: sosialisasi masalah dan Draft RKUHP tentang KDRT, Jakarta: LBH APIK ,2000, hal 36
3. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.
4. Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun ekonomis.
Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.7
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:8
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
7.Pangemaran diana ribka,tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga,jakarta:program studi kajian wanita program pasca sarjana UI,1998, hal 78
8.istiadah pembagian kerja dalam rumah tanggaislam, jakarta: hal 18
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang
a. Belum siap kawin
b. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.
c. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

2.3. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya.9 Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.10

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya.
Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.11
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan
11.Tim kalyanamitra,menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, jakarta:kalyanamitra,pusat komunikasi dan informasi perempuan, 1999, hal 27
2. Tidak perlu menghormati perempuan
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar
4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja
Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:12
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan
2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua
Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.
12. Farha ciciek, ikhtiar mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, belajar dari kehidupan Rasulullah SAW,Jakarta:lembaga kajian agama dan jender dengan perserikatan solidaritas perempuan, 1999, hal 37
2.4. Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekerasan (Fisik) Terhadap Istri- Dalam Rumah Tangga
1. Menurut Hukum Pidana
Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban.13
Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan yaitu "tiada pidana tanpa kesalahan" atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.14
Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa).
13.Aruan sakidjo dan bambang poernomo, hukum pidana,dasar aturan umum hukum pidana dalam kodifikasi,jakarta:Ghalia Indonesia,1990, hal 61
14.D.scaffmeister, N keijzer,dan E.PH.Sutorius,hukum pidana, yogyakarta:liberti, 1995 hal 82-86
Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.
Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: "Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun". Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: "Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”15
Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang berbunyi: "Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”

15. Moeldjatno, op.cit,hal 151,153
Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.
Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri, dan anaknya.16
Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.
Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis kelamin.
16.Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 150
2. Menurut UU No. 23 Tahun 2004
UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal.[19] Secara garis besar dapat penulis uraikan sebagai berikut:
Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).
Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:
a. Penghormatan hak asasi manusia
b. Keadilan dan kesetaraan jender
c. Anti diskriminasi, dan
d. Perlindungan korban
Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.
Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
e. Pelayanan bimbingan rohani
Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender
Adapun yang dimaksud dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15, yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
b. Memberikan perlindungan kepada korban
c. Memberikan pertolongan darurat, dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait
Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25.
Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:

a. tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal 40)
b. Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)
Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:
a. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
b. Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-
c. Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-
d. Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-
Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).


BAB III
KESIMPULAN

Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentangt KDRT sudah bisa melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 bab II, juga terdapat dalam bab IV pasal 10 yaitu: Cara melindungi korban dapat dilakukan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, advokad, lembaga sosial atau pihak lainnya.apabila dalam hal ini ada warga yang mendengar, melihat atau mengetahui telah terjadinya kekerasan terhadap rumah tangga di dalam lingkungannya maka wajib melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana; memberikan perlindungan terhadap korban; memberikan pertolongan darurat; membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan acuan dalam merumuskan perkara dalam tindakan kekerasan dalam rumah tangga karena undang-undang ini sudah disahkan, tetapi masih ada yang menggunakan KUHP Bab XX tentang penganiayaan dalam memutuskan perkara ini sesuai dengan kekerasan yang dilakukan si pelaku. KUHP pada dasarnya tidak mengenal kekerasan yang berbasis jender, itulah sebabnya dikeluarkan UU No.23 tahun 2004 yang mengatur secara khusus tentang kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam rumah tangga.


Banyak sekali faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, seorang suami dapat melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri jadi suami disini merasa dirinya yang berkuasa dan bebas melakukan apapun terhadap istrinya, ketergantungan ekonomi juga menyebabkan faktor kekerasan dalam rumah tangga karena disini hanya seorang suami yang mencari nafka sedangkan istri hanya bergantung pada suami maka hanya suami yang merasa berhak mengendalikan semuanya, menurut para suami dengan melakukan tindak kekerasan maka istrinya bisa menuruti semua kehendak dari suami maka kekerasan dijadikan alat untuk menyelesaikan konflik, frustasi seorang suami karena beberapa faktor seperti belum siap kawin, belum kerja menyebakan suami menjadi stes dan bisa melakukan kekerasan terhadap istri, persaingan antara suami dan istri dalam hal pendidikan, jabatan, pergaulan dapat menjadi faktor kerasan dalam rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Sakidjo, Aruan, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Panca Usaha, 2004.
Heise Lori L. Wits Jacquline Pitanguy and Adrianne Germain, Violence Againts Women, Washington DC.: World Bank Discussion Paper, 1994.
M.Rasyid Ariman,SH.,MH, Fahmi Raghib,SH.,MH, dan Syarifuddin Petanasse,SH.,MH.Hukum Pidana Dalam Kodifikasi.2007.
Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan, Whasington DC., 2000.
Maggi Humm, The Dictionary Of Feminist Theory, London: Harvester Wheatsheaf, 1989.
Proyek Penyuluhan Hukum Agama, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Dep. Agama, Dirjen Binbaga DEPAG., 1995/1996.
Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000.
Pangemaran Diana Ribka, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas Indonesia, 1998.
Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP.
Majalah Psikologi Empathy, KDRT Membuat Anakku Tak Sempat Lahir, No. 10/II/Juni 2005.
Ratna Batara Munti, loc. cit.
Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999.
Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW., Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999.
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, 1995.
Moeldjatno, op.cit.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

BAB I

PENDAHULUAN


 

  1. LATAR BELAKANG

    Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan.

    Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat).

    Indonesia dari waktu ke waktu kian akrab dengan berbagai permasalahan sosial, hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya salah satu fenomena yang menjadi topik perbincangan terkini di masyarakat, yaitu masalah tentang pernikahan atau perkawinan anak di bawah umur. Bagaimana tidak ? Perkawinan tersebut telah memicu munculnya kontroversi yang hebat. Adapun 'tokoh' yang terlibat dalam problema tersebut adalah pelaku perkawinan di bawah umur beserta para pengikut atau pembela yang bertindak sebagai pihak yang pro, sedangkan masyarakat maupun pemerintah duduk sebagai pihak yang kontra

    Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal dengan Syekh puji, seorang pria setengah baya yang menikahi gadis belia yang belum genap berumur 12 tahun, menilai pernikahannya dengan anak tersebut benar dan sah di mata agama Islam. Ia mengungkapkan bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan sunnah Rasul dan tidak perlu diributkan khalayak ramai.

    Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis.

    Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah sebagai berikut :

    "Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

    Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.

    Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun". Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

        
     


     


     

  2. Permasalahan

    Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dalam makalah ini penulis ingin mengankat permasalahan:

  3. Bagaimana hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam ?
  4. Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
  5. Bagaimana hokum perkawinan anak di bawah umur berdasarkan pandangan hokum adat ?
  6. Bagaimana upaya menyikapi atau mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur ?


     

  7. Tujuan

Tujuan dari ini adalah untuk :

  1. Menganalisis hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan berdasarkan Hukum adat.
  2. Menciptakan upaya untuk menyikapi atau mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur.


 


 


 


 


 


 

BAB II

TINJAUAN UMUM

    

  1. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN
    1. Pengertian Perkawinan

  • Pengertian perkawinan menurut peraturan perundang- undangan

            Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

        Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Tetapi menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu 'perikatan' (verbindtenis). Dalam hal ini marilah kita lihat kemabali dalam pada pada 26 KUH Perdata. Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
    Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.

    • Pengertian perkawinan menurut Hukum Islam

      Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatanantara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar berkehidupan keluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi, perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.

      Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

    • Pengertian perkawinan menurut Hukum Adat

      Perkawinan menurut huku adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan berarti sebagai "perikatan perdata" tetapi juga merupakan "perikatan adat" dan sekaligus merupakan "perikatan kekerabatan dan ketetanggaan". Jadi, terjadinya perikatan perkawinan buakn saja semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harat bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juuga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggan, serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan dengan manusia dengan Tuhannya(ibadah) maupun hubungan sesama manusia (mu'amalah) dalam pergaulan hidupagar selamat dunia dan akhirat.


       


       

  1. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
  2. Hakikat Perkawinan    

        Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.

        Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.

        Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.


     

    b. Asas Perkawinan

        Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).


     

    c. Syarat Sahnya Perkawinan

        Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI,
    dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

        Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.

        Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.

        Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.


     

    d. Tujuan Perkawinan

        Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.

        Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

        Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.


     

    C. Perkawinan Campuran

            Dalam pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena beda warga negara dan salah satu warga negaranya adalah warga negara Indonesia.

            Jadi unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia dan masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan, yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia.

            Dan syarat-syarat perkawinan campuran pada pasal pasal 59 ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan prinsip Lex loci actus yaitu menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut dilangsungkan. Hal ini berarti perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut hukum perkawinan Indonesia.


     

    D.
    Perkawinan di Luar Negeri

             Menurut pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan warga negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (pasal 84 KUHPerdata).

    Pada pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar UU ini.

            Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.


     

    E. Perkawinan Menurut Hukum Agama

         Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan. Kedua pasangan suami isteri tersebut menganut agama yang sama. Jika antara keduanya menganut agama yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya menganut agama calon lainnya tersebut.


     


     


     


     

    BAB III

    PEMBAHASAN


     

  3. Hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam

    Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk sumber utama dari ajaran Islam, yakni Al Qur'an. Apakah Al Qur'an mengijinkan atau justru melarang pernikahan dari gadis ingusan di bawah umur? Yang jelas, tidak ada satu ayatpun yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang dapat dijadikan inspirasi untuk menjawab persoalan di atas, meski substansi dasarnya adalah tuntunan bagi muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Meski demikian, petunjuk Al Qur'an mengenai perlakuan anak yatim itu dapat juga kita terapkan pada anak kandung kita sendiri. Ayat tersebut adalah : "Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (mampu mengelola harta), maka serahkan kepada mereka harta bendanya." (Q.S. An Nisa' : 6).

    Dalam kasus anak yang ditinggal wafat orang tuanya, seorang bapak asuh diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji kedewasaan mereka "sampai usia menikah" sebelum mempercayakan pengelolaan keuangan sepenuhnya. Di sini ayat Al Qur'an mempersyaratkan perlunya tes dan bukti obyektif perihal kematangan fisik dan kedewasaan intelektual anak asuh sebelum memasuki usia nikah sekaligus mempercayakan pengelolaan harta benda kepadanya. Logikanya, jika bapak asuh tidak diperbolehkan sembarang mengalihkan pengelolaan keuangan kepada anak asuh yang masih kanak-kanak, tentunya bocah ingusan tersebut juga tidak layak, baik secara fisik dan intelektual untuk menikah. Oleh karena itu, sulit dipercaya, Abu Bakar As Shiddiq, seorang pemuka sahabat, menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun, untuk kemudian menikahkannya pada usia 9 tahun dengan sahabatnya yang telah berusia setengah abad. Demikian pula halnya, sungguh sulit dibayangkan bahwa Nabi SAW menikai gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun. Ringkasnya, pernikahan 'Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun itu bisa bertentangan dengan prasyarat kedewasaan fisik dan kematangan intelektual yang ditetapkan Al Qur'an. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa cerita pernikahan 'Aisyah gadis belia berusia 7 atau 9 tahun dengan Nabi SAW, itu adalah mitos yang perlu diuji kesahihannya.

    Di samping persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di atas, seorang wanita sebelum dinikahkan harus ditanya dan dimintai persetujuan agar pernikahan yang dilakukannya itu menjadi sah. Dengan berpegang pada prinsip ini, persetujuan yang diberikan gadis belum dewasa (berusia 7 atau 9 tahun) tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun intelektual. Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakar meminta persetujuan puterinya yang masih kanak-kanak. Buktinya, menurut hadis riwayat Ibn Hanbal, 'Aisyah masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika mulai berumah tangga dengan Nabi SAW. Nabi SAW sebagai utusan Allah yang maha suci juga tidak akan menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun, karena hal itu tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan Islam tentang klausa persetujuan dari pihak istri. Besar kemungkinan pada saat Nabi SAW menikahi 'Aisyah, puteri Abu Bakar As Shiddiq itu adalah seorang wanita yang telah dewasa secara fisik dan matang secara intelektual.

    Sebetulnya, dalam masyarakat Arab tidak ada tradisi menikahkan anak perempuan yang baru berusia 7 atau 9 tahun. Demikian juga tak pernah terjadi pernikahan Nabi SAW dengan 'Aisyah yang masih berusia kanak-kanak. Masyarakat Arab tak pernah keberatan dengan pernikahan seperti itu, karena kasusnya tak pernah terjadi. Menurut hemat kami, riwayat pernikahan 'Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun tak bisa dianggap valid dan reliable mengingat sederet kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain dalam catatan sejarah Islam klasik. Lebih ekstrim, dapat dikatakan bahwa informasi usia 'Aisyah yang masih kanak-kanak saat dinikahi Nabi SAW hanyalah mitos semata.

    Nabi adalah seorang gentleman. Beliau takkan menikahi bocah ingusan yang masih kanak-kanak. Umur 'Aisyah telah dicatat secara kontradiktif dalam literatur hadis dan sejarah islam klasik. Karenanya, klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah Nabi SAW itu adalah bermasalah, baik dari sisi normatif (agama) maupun secara sosiologis (masyarakat). Jikalau riwayat-riwayat seputar pernikahan Nabi SAW dengan 'Aisyah yang masih kanak-kanak itu valid, itu juga tidak bisa serta merta dijadikan sandaran untuk mencontohnya. Tidakkah Nabi SAW itu memiliki previlige (hak istimewa) yang hanya diperuntukkan secara khusus untuknya, tapi tidak untuk umatnya? Contoh yang paling gamblang adalah kebolehan Nabi SAW menikahi lebih dari 4 orang istri.


     


     

  4. Hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

    Berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan, menurut UU no.1 tahun 1974 Pasal 6 ayat 1 : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat 2 : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 : perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

    Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.

        Selain itu juga Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 mencegah adanya perkawinan pasa usia anak-anak yaitu dimana dalam Pasal 1 tentang perlindungan anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam UU No. 23 tahun 2002 Pasal 4 : setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, Pasal 9 ayat 1 : Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, Pasal 11 : setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri, Pasal 13 ayat 1 : setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan (a) diskriminasi (b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual (c) penelantaran (d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan (e) ketidakadilan (f) perlakuan salah lainnya. Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak seperti yang tertulis di UU no. 23 tahun 2002 Pasal 26 ayat 1 : orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya (d) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.


     

  5. Hukum perkawinan anak di bawah umur berdasarkan pandangan hukum adat

    hukum adat tidak menentukan batasan umur tertentu bagi orang untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat membolehkan perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam Hukum Adat perkawinan bukan saja merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di bawah umur atau perkawinan kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam Hukum Adat karena kedua suami isteri itu akan tetap dibimbing oleh keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua keluarga, sehingga Hukum Adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak.


 


 


 


 

  1. Upaya menyikapi atau mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur

    Pernikahan anak di bawah umur merupakan suatu fenomena sosial yang kerap terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit di permukaan atau yang terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini bisa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan 'Aisyah r.a. . Selain itu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur.

    Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan UU terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko-resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya diharapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak-anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.


     


     


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB IV

PENUTUP


 

  1. KESIMPULAN DAN SARAN

    Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya pernikahan tersebut.

    Pernikahan anak di bawah umur masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pandangan diantara pihak-pihak terkait dalam hal menyikapi pernikahan anak di bawah umur. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara Indonesia diharapkan bisa menjadi penengah diantara pihak-pihak yang berselisih dan mampu menegakkan regulasi terkait pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara dua belah pihak yaitu pemerintah dan masyarakat merupakan jalan keluar terbaik yang bisa diambil sementara ini agar pernikahan anak di bawah umur bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin keberadaannya di tengah masyarakat.


     


     


     


     


     


 

DAFTAR PUSTAKA


 

H. Hilman Hadikusuma, Prof. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju. 2003.

Islamlib.com

Kompas.com

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


 


 

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

oleh :
citra dewi saputra

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana.1 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351-358.2 Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama kekerasan dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam UU No. 23 tahun 2004.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.


mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan Untuk rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya da-pat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak-adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai Hidden crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melak-sanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap marta-bat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum sangat diperlukan, khusus-nya tentang perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekera-san, terutama kekerasan dalam rumah tangga.Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya;
UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
UU 1/1974 tentang Perkawinan;
UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan
UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saat-nya dibentuk Undang-Undang tentang Peng-hapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidi-kan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.

1.2.Permasalahan
Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan yang saya angkat dalam makalah ini yaitu :
1. Apakah Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT sudah bisa melindungi korban akibat kekerasan dalam rumah tangga ?
2. Apakah Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan bahan acuan dalam memutuskan perkara di pengadilan dalam tindakan KDRT atau mengacu pada KUHP Bab XX tentang penganiayaan pasal 351-358 ?
3. Faktor apa yang menyebabkan seorang suami tega melekukan tindak kekerasan dalam rumah tangga ?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga
Secara ringkas, definisi kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan.1
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).

Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.3
Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:
1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.
4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.

Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga."5
Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP.
Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
5. proyek penyuluhan hukum agama, UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan UU tentang pengadilan agama, jakarta:departemen agama, 1995/1996,hal 15
Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu:
“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

2.2. Bentuk dan Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu:6
1. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.
2. Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab.
6.Ratna batara munti(ed), advokasi legislatif untuk perempuan: sosialisasi masalah dan Draft RKUHP tentang KDRT, Jakarta: LBH APIK ,2000, hal 36
3. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.
4. Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun ekonomis.
Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.7
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:8
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
7.Pangemaran diana ribka,tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga,jakarta:program studi kajian wanita program pasca sarjana UI,1998, hal 78
8.istiadah pembagian kerja dalam rumah tanggaislam, jakarta: hal 18
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang
a. Belum siap kawin
b. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.
c. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

2.3. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya.9 Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.10

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya.
Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.11
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan
11.Tim kalyanamitra,menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, jakarta:kalyanamitra,pusat komunikasi dan informasi perempuan, 1999, hal 27
2. Tidak perlu menghormati perempuan
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar
4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja
Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:12
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan
2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua
Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.
12. Farha ciciek, ikhtiar mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, belajar dari kehidupan Rasulullah SAW,Jakarta:lembaga kajian agama dan jender dengan perserikatan solidaritas perempuan, 1999, hal 37
2.4. Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekerasan (Fisik) Terhadap Istri- Dalam Rumah Tangga
1. Menurut Hukum Pidana
Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban.13
Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan yaitu "tiada pidana tanpa kesalahan" atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.14
Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa).
13.Aruan sakidjo dan bambang poernomo, hukum pidana,dasar aturan umum hukum pidana dalam kodifikasi,jakarta:Ghalia Indonesia,1990, hal 61
14.D.scaffmeister, N keijzer,dan E.PH.Sutorius,hukum pidana, yogyakarta:liberti, 1995 hal 82-86
Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.
Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: "Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun". Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: "Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”15
Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang berbunyi: "Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”

15. Moeldjatno, op.cit,hal 151,153
Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.
Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri, dan anaknya.16
Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.
Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis kelamin.
16.Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 150
2. Menurut UU No. 23 Tahun 2004
UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal.[19] Secara garis besar dapat penulis uraikan sebagai berikut:
Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).
Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:
a. Penghormatan hak asasi manusia
b. Keadilan dan kesetaraan jender
c. Anti diskriminasi, dan
d. Perlindungan korban
Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.
Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
e. Pelayanan bimbingan rohani
Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender
Adapun yang dimaksud dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15, yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
b. Memberikan perlindungan kepada korban
c. Memberikan pertolongan darurat, dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait
Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25.
Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:

a. tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal 40)
b. Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)
Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:
a. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
b. Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-
c. Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-
d. Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-
Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).


BAB III
KESIMPULAN

Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentangt KDRT sudah bisa melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 bab II, juga terdapat dalam bab IV pasal 10 yaitu: Cara melindungi korban dapat dilakukan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, advokad, lembaga sosial atau pihak lainnya.apabila dalam hal ini ada warga yang mendengar, melihat atau mengetahui telah terjadinya kekerasan terhadap rumah tangga di dalam lingkungannya maka wajib melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana; memberikan perlindungan terhadap korban; memberikan pertolongan darurat; membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan acuan dalam merumuskan perkara dalam tindakan kekerasan dalam rumah tangga karena undang-undang ini sudah disahkan, tetapi masih ada yang menggunakan KUHP Bab XX tentang penganiayaan dalam memutuskan perkara ini sesuai dengan kekerasan yang dilakukan si pelaku. KUHP pada dasarnya tidak mengenal kekerasan yang berbasis jender, itulah sebabnya dikeluarkan UU No.23 tahun 2004 yang mengatur secara khusus tentang kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam rumah tangga.


Banyak sekali faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, seorang suami dapat melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri jadi suami disini merasa dirinya yang berkuasa dan bebas melakukan apapun terhadap istrinya, ketergantungan ekonomi juga menyebabkan faktor kekerasan dalam rumah tangga karena disini hanya seorang suami yang mencari nafka sedangkan istri hanya bergantung pada suami maka hanya suami yang merasa berhak mengendalikan semuanya, menurut para suami dengan melakukan tindak kekerasan maka istrinya bisa menuruti semua kehendak dari suami maka kekerasan dijadikan alat untuk menyelesaikan konflik, frustasi seorang suami karena beberapa faktor seperti belum siap kawin, belum kerja menyebakan suami menjadi stes dan bisa melakukan kekerasan terhadap istri, persaingan antara suami dan istri dalam hal pendidikan, jabatan, pergaulan dapat menjadi faktor kerasan dalam rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Sakidjo, Aruan, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Panca Usaha, 2004.
Heise Lori L. Wits Jacquline Pitanguy and Adrianne Germain, Violence Againts Women, Washington DC.: World Bank Discussion Paper, 1994.
M.Rasyid Ariman,SH.,MH, Fahmi Raghib,SH.,MH, dan Syarifuddin Petanasse,SH.,MH.Hukum Pidana Dalam Kodifikasi.2007.
Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan, Whasington DC., 2000.
Maggi Humm, The Dictionary Of Feminist Theory, London: Harvester Wheatsheaf, 1989.
Proyek Penyuluhan Hukum Agama, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Dep. Agama, Dirjen Binbaga DEPAG., 1995/1996.
Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000.
Pangemaran Diana Ribka, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas Indonesia, 1998.
Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP.
Majalah Psikologi Empathy, KDRT Membuat Anakku Tak Sempat Lahir, No. 10/II/Juni 2005.
Ratna Batara Munti, loc. cit.
Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999.
Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW., Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999.
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, 1995.
Moeldjatno, op.cit.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.