BAB I

PENDAHULUAN


 

  1. LATAR BELAKANG

    Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan.

    Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat).

    Indonesia dari waktu ke waktu kian akrab dengan berbagai permasalahan sosial, hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya salah satu fenomena yang menjadi topik perbincangan terkini di masyarakat, yaitu masalah tentang pernikahan atau perkawinan anak di bawah umur. Bagaimana tidak ? Perkawinan tersebut telah memicu munculnya kontroversi yang hebat. Adapun 'tokoh' yang terlibat dalam problema tersebut adalah pelaku perkawinan di bawah umur beserta para pengikut atau pembela yang bertindak sebagai pihak yang pro, sedangkan masyarakat maupun pemerintah duduk sebagai pihak yang kontra

    Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal dengan Syekh puji, seorang pria setengah baya yang menikahi gadis belia yang belum genap berumur 12 tahun, menilai pernikahannya dengan anak tersebut benar dan sah di mata agama Islam. Ia mengungkapkan bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan sunnah Rasul dan tidak perlu diributkan khalayak ramai.

    Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis.

    Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah sebagai berikut :

    "Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

    Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.

    Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun". Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

        
     


     


     

  2. Permasalahan

    Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dalam makalah ini penulis ingin mengankat permasalahan:

  3. Bagaimana hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam ?
  4. Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
  5. Bagaimana hokum perkawinan anak di bawah umur berdasarkan pandangan hokum adat ?
  6. Bagaimana upaya menyikapi atau mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur ?


     

  7. Tujuan

Tujuan dari ini adalah untuk :

  1. Menganalisis hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan berdasarkan Hukum adat.
  2. Menciptakan upaya untuk menyikapi atau mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur.


 


 


 


 


 


 

BAB II

TINJAUAN UMUM

    

  1. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN
    1. Pengertian Perkawinan

  • Pengertian perkawinan menurut peraturan perundang- undangan

            Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

        Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Tetapi menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu 'perikatan' (verbindtenis). Dalam hal ini marilah kita lihat kemabali dalam pada pada 26 KUH Perdata. Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
    Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.

    • Pengertian perkawinan menurut Hukum Islam

      Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatanantara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar berkehidupan keluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi, perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.

      Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

    • Pengertian perkawinan menurut Hukum Adat

      Perkawinan menurut huku adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan berarti sebagai "perikatan perdata" tetapi juga merupakan "perikatan adat" dan sekaligus merupakan "perikatan kekerabatan dan ketetanggaan". Jadi, terjadinya perikatan perkawinan buakn saja semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harat bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juuga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggan, serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan dengan manusia dengan Tuhannya(ibadah) maupun hubungan sesama manusia (mu'amalah) dalam pergaulan hidupagar selamat dunia dan akhirat.


       


       

  1. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
  2. Hakikat Perkawinan    

        Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.

        Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.

        Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.


     

    b. Asas Perkawinan

        Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).


     

    c. Syarat Sahnya Perkawinan

        Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI,
    dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

        Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.

        Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.

        Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.


     

    d. Tujuan Perkawinan

        Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.

        Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

        Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.


     

    C. Perkawinan Campuran

            Dalam pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena beda warga negara dan salah satu warga negaranya adalah warga negara Indonesia.

            Jadi unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia dan masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan, yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia.

            Dan syarat-syarat perkawinan campuran pada pasal pasal 59 ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan prinsip Lex loci actus yaitu menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut dilangsungkan. Hal ini berarti perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut hukum perkawinan Indonesia.


     

    D.
    Perkawinan di Luar Negeri

             Menurut pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan warga negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (pasal 84 KUHPerdata).

    Pada pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar UU ini.

            Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.


     

    E. Perkawinan Menurut Hukum Agama

         Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan. Kedua pasangan suami isteri tersebut menganut agama yang sama. Jika antara keduanya menganut agama yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya menganut agama calon lainnya tersebut.


     


     


     


     

    BAB III

    PEMBAHASAN


     

  3. Hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam

    Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk sumber utama dari ajaran Islam, yakni Al Qur'an. Apakah Al Qur'an mengijinkan atau justru melarang pernikahan dari gadis ingusan di bawah umur? Yang jelas, tidak ada satu ayatpun yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang dapat dijadikan inspirasi untuk menjawab persoalan di atas, meski substansi dasarnya adalah tuntunan bagi muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Meski demikian, petunjuk Al Qur'an mengenai perlakuan anak yatim itu dapat juga kita terapkan pada anak kandung kita sendiri. Ayat tersebut adalah : "Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (mampu mengelola harta), maka serahkan kepada mereka harta bendanya." (Q.S. An Nisa' : 6).

    Dalam kasus anak yang ditinggal wafat orang tuanya, seorang bapak asuh diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji kedewasaan mereka "sampai usia menikah" sebelum mempercayakan pengelolaan keuangan sepenuhnya. Di sini ayat Al Qur'an mempersyaratkan perlunya tes dan bukti obyektif perihal kematangan fisik dan kedewasaan intelektual anak asuh sebelum memasuki usia nikah sekaligus mempercayakan pengelolaan harta benda kepadanya. Logikanya, jika bapak asuh tidak diperbolehkan sembarang mengalihkan pengelolaan keuangan kepada anak asuh yang masih kanak-kanak, tentunya bocah ingusan tersebut juga tidak layak, baik secara fisik dan intelektual untuk menikah. Oleh karena itu, sulit dipercaya, Abu Bakar As Shiddiq, seorang pemuka sahabat, menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun, untuk kemudian menikahkannya pada usia 9 tahun dengan sahabatnya yang telah berusia setengah abad. Demikian pula halnya, sungguh sulit dibayangkan bahwa Nabi SAW menikai gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun. Ringkasnya, pernikahan 'Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun itu bisa bertentangan dengan prasyarat kedewasaan fisik dan kematangan intelektual yang ditetapkan Al Qur'an. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa cerita pernikahan 'Aisyah gadis belia berusia 7 atau 9 tahun dengan Nabi SAW, itu adalah mitos yang perlu diuji kesahihannya.

    Di samping persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di atas, seorang wanita sebelum dinikahkan harus ditanya dan dimintai persetujuan agar pernikahan yang dilakukannya itu menjadi sah. Dengan berpegang pada prinsip ini, persetujuan yang diberikan gadis belum dewasa (berusia 7 atau 9 tahun) tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun intelektual. Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakar meminta persetujuan puterinya yang masih kanak-kanak. Buktinya, menurut hadis riwayat Ibn Hanbal, 'Aisyah masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika mulai berumah tangga dengan Nabi SAW. Nabi SAW sebagai utusan Allah yang maha suci juga tidak akan menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun, karena hal itu tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan Islam tentang klausa persetujuan dari pihak istri. Besar kemungkinan pada saat Nabi SAW menikahi 'Aisyah, puteri Abu Bakar As Shiddiq itu adalah seorang wanita yang telah dewasa secara fisik dan matang secara intelektual.

    Sebetulnya, dalam masyarakat Arab tidak ada tradisi menikahkan anak perempuan yang baru berusia 7 atau 9 tahun. Demikian juga tak pernah terjadi pernikahan Nabi SAW dengan 'Aisyah yang masih berusia kanak-kanak. Masyarakat Arab tak pernah keberatan dengan pernikahan seperti itu, karena kasusnya tak pernah terjadi. Menurut hemat kami, riwayat pernikahan 'Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun tak bisa dianggap valid dan reliable mengingat sederet kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain dalam catatan sejarah Islam klasik. Lebih ekstrim, dapat dikatakan bahwa informasi usia 'Aisyah yang masih kanak-kanak saat dinikahi Nabi SAW hanyalah mitos semata.

    Nabi adalah seorang gentleman. Beliau takkan menikahi bocah ingusan yang masih kanak-kanak. Umur 'Aisyah telah dicatat secara kontradiktif dalam literatur hadis dan sejarah islam klasik. Karenanya, klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah Nabi SAW itu adalah bermasalah, baik dari sisi normatif (agama) maupun secara sosiologis (masyarakat). Jikalau riwayat-riwayat seputar pernikahan Nabi SAW dengan 'Aisyah yang masih kanak-kanak itu valid, itu juga tidak bisa serta merta dijadikan sandaran untuk mencontohnya. Tidakkah Nabi SAW itu memiliki previlige (hak istimewa) yang hanya diperuntukkan secara khusus untuknya, tapi tidak untuk umatnya? Contoh yang paling gamblang adalah kebolehan Nabi SAW menikahi lebih dari 4 orang istri.


     


     

  4. Hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

    Berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan, menurut UU no.1 tahun 1974 Pasal 6 ayat 1 : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat 2 : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 : perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

    Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.

        Selain itu juga Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 mencegah adanya perkawinan pasa usia anak-anak yaitu dimana dalam Pasal 1 tentang perlindungan anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam UU No. 23 tahun 2002 Pasal 4 : setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, Pasal 9 ayat 1 : Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, Pasal 11 : setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri, Pasal 13 ayat 1 : setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan (a) diskriminasi (b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual (c) penelantaran (d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan (e) ketidakadilan (f) perlakuan salah lainnya. Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak seperti yang tertulis di UU no. 23 tahun 2002 Pasal 26 ayat 1 : orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya (d) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.


     

  5. Hukum perkawinan anak di bawah umur berdasarkan pandangan hukum adat

    hukum adat tidak menentukan batasan umur tertentu bagi orang untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat membolehkan perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam Hukum Adat perkawinan bukan saja merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di bawah umur atau perkawinan kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam Hukum Adat karena kedua suami isteri itu akan tetap dibimbing oleh keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua keluarga, sehingga Hukum Adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak.


 


 


 


 

  1. Upaya menyikapi atau mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur

    Pernikahan anak di bawah umur merupakan suatu fenomena sosial yang kerap terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit di permukaan atau yang terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini bisa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan 'Aisyah r.a. . Selain itu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur.

    Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan UU terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko-resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya diharapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak-anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.


     


     


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB IV

PENUTUP


 

  1. KESIMPULAN DAN SARAN

    Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya pernikahan tersebut.

    Pernikahan anak di bawah umur masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pandangan diantara pihak-pihak terkait dalam hal menyikapi pernikahan anak di bawah umur. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara Indonesia diharapkan bisa menjadi penengah diantara pihak-pihak yang berselisih dan mampu menegakkan regulasi terkait pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara dua belah pihak yaitu pemerintah dan masyarakat merupakan jalan keluar terbaik yang bisa diambil sementara ini agar pernikahan anak di bawah umur bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin keberadaannya di tengah masyarakat.


     


     


     


     


     


 

DAFTAR PUSTAKA


 

H. Hilman Hadikusuma, Prof. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju. 2003.

Islamlib.com

Kompas.com

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak