UPAYA PERLINDUNGAN BAGI KORBAN KEJAHATAN HUMAN TRAFFICKING

oleh :

oktarinaz maulidi

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi banyak perhatian baik tingkat Asia maupun tingkat dunia. Perdagangan orang di Indonesia, terjadi tidak hanya menyangkut di dalam Negara Indonesia saja yaitu misalnya perdagangan orang antar pulau tetapi perdagangan orang antar Negara, yaitu Indonesia dengan Negara-negara lain. Maraknya issue perdagangan orang diawali dengan meningkatnya pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak untuk bermigrasi ke luar daerah sampai ke luar negeri.
maka faktor penyebab yang mendorong terjadinya perdagangan orang adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi. Perdagangan orang tidak hanya terjadi di Indonesia saja sebagai Negara berkembang, melainkan juga di alami oleh negara berkembang lainnya seperti Vietnam, Srilangka, Thailand dan Philipina. Pada tingkat dunia, perdagangan perempuan terkait erat dengan kriminalitas transnasional dan dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan merendahkan martabat bangsa dan Negara serta merupakan kejahatan kemanusiaan karena memperlakukan korban semata sebagai komoditi yang dibeli, dijual, dikirim dan dijual kembali1. 

Selain faktor yang disebutkan diatas faktor lain yang menyebabkan terjadinya perdagangan orang adalah faktor pendidikan dan keterbatasan informasi yang dimiliki sehingga menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang. Korban perdagangan orang pada umumnya terjadi pada perempuan dan anak-anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. 
Mengenai kejahatan perdagangan manusia sebelum lahirnya UU No.21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (PTPPO), diatur secara tegas dalam KUHP pasal 297 namun pasal tersebut ancamannya terlalu ringan sehingga tidak mencerinkan adanya suatu pemebrian efek jera kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang2.


B. PERMASALAHAN

Melihat uraian diatas jelas terlihat bahwa kasus kejahatan perdagangan manusia bukanlah kasus pidana yang umum seperti yang diatur dalam KUHP, karena kejahatan perdagangan orang disini sindikat perdagangannya tidak hanya dalam lingkup nasional tetapi juga sampai transnasional. Sehingga untuk kasus kejahatan perdagangan orang disini haruslah dirumuskan dalam suatu peraturan hukum yang tersendiri diluar KUHP nasional kita.
Sekarang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana upaya perlindungan yang harus diberikan kepada korban kejahatan perdagangan orang, agar korban kejahatan perdagangan orang di Indonesia dapat diminimalisir sedemikian hingga sehingga korban mendapatkan haknya untuk dilindungi.

 

C. KERANGKA BERPIKIR
Terminologi istilah perdangan orang (perdagangan perempuan) termasuk hal yang baru di Indonesia. Fenomena tentang perdagangan orang telah ada sejak tahun 1949 yaitu sejak ditandatangani Convention on Traffic in Person. Hal ini kemudian berkembang ketika banyak laporan tentang terjadinya tindakan perdagangan perempuan pada Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan dengan Convention on Elimination of All Form of Descrimination Agains Women CEDAW) dan telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang (No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk Deskriminasi terhadap Perempuan. Kemudian dipertegas dalam agenda Global Alliance Agains Traffic in Women (GAATW) di Thailand tahun 1994.
Mengenai pengertian perdagangan orang (human trafficking) banyak sekali pengertian yang diberikan para serjana maupun dalam UU itu sendiri. Perdagangan orang (human trafficking) adalah “the recruitment, transportation, harbouring, or receipt of people for the purposes of slavery, forced labor (including bonded labor or debt bondage) and servitude”. Sedagankan dalam UU No.21 tahun 2007, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
PBB dalam siding umum tahun 1994 menyetujui resolusi menentang perdagangan perempuan dan anak perempuan, memberikan definisi sebagai berikut :
 “Permindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari Negara berkembang dan dari Negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindakan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan manusia seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrutan, perdagangan dan sindikat kejahatan”.
Definisi lain yang secara substansial lebih terperinci dan operasional dikeluarkan oleh PBB dalam protokol yaitu Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan anak-anak. Tambahan untuk konvensi PBB menentang Kejahatan Teroganisasi Transnasional tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang paling diterima secara umum dan digunakan secara luas. Pasal 3 protokol ini menyatakan sebagai berikut :
Perdagangan Manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi retan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki control atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktekpraktek yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.

 Pengertian perdagangang orang dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang itu tidak jauh berbeda dengan pengertian dalam protokol yang dikeluarkan oleh PBB. 
Masalah perdagangan orang erat hubungannya dengan apa yang namanya perlindungan dan korban. Dibawah ini akan di uraikan satu persatu mengenai hal itu.
Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak terlepas dari korban. Korban tidak saja dipahami sebagai objek dari suatu kejahatan, akan tetapi dipahami sebagai subjek yang perlu mendapat perlindungan baik secara sosial dan hukum. Pada dasarnya korban adalah orang, baik sebagai individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai sasaran dari kejahatan. 
Adapun pengertian korban kejahatan berdasarkan deklarasi PBB dalam “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power 1985” pada angka 1 disebutkan bahwa korban kejahatan adalah: “Victims means person who, individually or collectively, heve suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member state, including those laws proscribing criminal abuse of power”. 
Sejalan dengan pengertian di atas, (Arif Gosita, 1993) memberikan pengertian korban adalah : “Mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan3”.

3 Farhana Mimin Mintarsih, UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN (TRAFFICKING) DI INDONESIA, hal 7.


Sedangkan (Muladi, 1992) mengatakan bahwa : “Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan4.”
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat: Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak manapun. 
Kata perlindungan merupakan upaya menempatkan seseorang diberikan kedudukan istimewa. Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik pleh masyarakat maupun pemerintah, seperti pemberian perlindungan/ pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia dan instrument penyeimbang. Hal inilah yang menjadi dasar filosofis dibalik pentingnya korban kejahatan (keluarga) dalam memperoleh perlindungan5.

 
4 Sayrifuddin pettanasse, SH., MH, kebijakan criminal, korban dan kejahatan, agustus 2007,hal 67
5 ibid, hal 85.


Secara konstitusional Negara wajib menyelenggarakan perlindungan bagi warga negaranya. Sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perlunya diberikan perlindungan hukum bagi korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and The treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985. Salah satu rekomendasinya yaitu bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan tidak hanya ditujukan bagi korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dalam memberikan perlindungan bagi korban, hal ini tidak lepas dari masalah keadilan dan hak asasi manusia, di mana banyak peristiwa yang ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, oleh karena itu perlu perhatian dari pemerintah secara serius, dan memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan dalam upaya menegakan hukum. 

Oleh karena itu perlindungan terhadap korban amat sangat penting karena manusia sebagai makhluk sosial baik perorangan maupun kelompok dapat menjadi korban. Dalam mewujudkan perlindungan terhadap korban kejahatan dapat melalui cara-cara seperti pemeberian restitusi dan kompensasi, konseling, pelayanan/ bantuan medis, bantuan hukum, pemberian informasi.


BAB II
PEMBAHASAN

A. PELAKU KEJAHATAN PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
Perdagangan orang (human trafficking) dalam prakteknya dijalankan oleh suatu kelompok tertentu yang terorganisir serta professional. Berikut adalah pelaku-pelaku yang biasa melakukan kejahatan perdagangan orang :
a. Para perantara pengerah tenaga kerja dan pengirim;
b. Teman, saudara, tetangga, dan orang tua yang mendorong atau yang memaksa kepada anak-anaknya untuk mencari pekerjaan diluar negeri;
c. Perantara internasional;
d. Negara yang gagal melindungi hak-hak warga negaranya;
e. Agen perjalanan;
f. Pejabat yang korupsi (pejabat yang terkait dengan pengiriman tenaga kerja, termasuk penegak hukumnya;
g. Sindikat tindak pidana yang terorganisasi;
h. Pencari pekerja dan pebisnis, termasuk pemilik klub dan yang memperkerjakan pekerja domestik;
i. Pelanggan (yang memanfaatkan orang yang diperdagangkan)
j. Mantan korban tindak pidana perdagangan orang.

Dan beberapa yang terlibat di atas, ada pula orang-orang yang terlibat, namun tidak ada niat jahat. Misalnya, salah satu keluarga yang membantu mengirim orang ke luar negeri dengan niat yang tulus dengan harapan bahwa yang bersangkutan bisa bekerja dan memperoleh penghasilan. Juga nakhoda kapal yang mengirim orang dan tidak mengetahui bahwa orang tersebut diperdagangkan.

C. UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)
Melihat data yang ada diatas terlihat jelas bahwa perlindungan yang diberikan oleh pemerintah sebelum di undangkannya UU No. 21 tahun 2007 sangatlah buruk. Karena dari data yang ada sejak tahun 1993 sampai dengan 2002 banyak sekali kasus-kasus perdagangan orang yang tidak dapat di cegah bahkan sampai diselesaikan, karena aturan yang dipakai untuk menjerat pelaku kejahatan perdagangan orang yaitu pasal 297 KUHP cenderung tidak mampu menjerat para pelaku perdagangan orang (human trafickking), karena cakupannya terlalu sempit dan rancu.
Setelah lahirnya UU No.21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (PTPPO), pemerintah telah lebih memfokuskan diri untuk memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan orang. Sebagaimana yang termuat dalam BAB V tentang perlindungan saksi dan korban dari pasal 43 sampai dengan pasal 55, yang mana dalam pasal-pasal tersebut menguraikan tentang hak-hak dari korban dan juga model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban kejahatan perdagangan orang.
Pada dasarnya bentuk-bentuk atau model perlindungan terhadap korban kejahatan dapat juga diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang, untuk lebih mendalami bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan orang, maka terdapat beberapa bentuk atau model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu :
a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi
Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti rugi terkandung dua manfaat yaitu untuk memenuhi kerugian materil dan segala biaya yang telah dikeluatkan dan merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai suatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Menurut Gelaway yang merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian yaitu7: 
1. meringankan penderitaan korban;
2. sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan;
3. sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana;
4. mempermudah proses peradilan;
5. dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam;
Pengertian restitusi menurut Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau immateril yang diderita korban atau ahli warisnya. Pembebanan Restitusi kepada pelaku adalah lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban.  

7Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004
Di Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang hanya menjelaskan bahwa restitusi adalah hak korban atau ahli warisnya dan restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, tidak menentukan dan merumuskan secara tegas mengenai ukuran besar atau indikator jumlah restitusi dan layak tidaknya ganti rugi yang diberikan.
Selain restitusi, kompensasi dapat digunakan sebagai bentuk lain perlindungan korban tindak pidana sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara. Ganti kerugian oleh negara tersebut merupakan suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena negara bertanggung jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi masyarakatnya. Menurut Stephen Schafer, antara restitusi dan kompensasi memliki perbedaan tersebut di lihat dari sudut sifat dan juga siapa yang akan membayarnya8.
Rehabilitasi adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikhis.dan sosial.





8Menurut Stephen Schafer, perbedaan antara restitusi dan kompensasi adalah restitusi lebih bersifat pidana yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku atau merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku, sedangkan kompensasi lebih bersifat keperdataan, yang timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara. 




b. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis

Pada umumnya perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai akibat dari tindak pidana perdagangan orang dapat bersifat fisik maupun psikis. Akibat yang bersifat psikis lebih lama untuk memulihkan daripada akibat yang bersifat fisik. Pengaruh akibat tindak pidana perdagangan orang dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Untuk sebagian korban pengaruh akibat itu tidak sampai mencapai situasi yang stabil dimana ingatan akan kejadian dapat diterima dengan satu cara atau cara lain. Bagi sejumlah korban pengaruh akibat itu tidak mendapat jalan keluar yang baik seperti tenggelam dalam penderitaan yang disebut Psikotrauma. Oleh karena itu diperlukan pendampingan atau konseling untuk membantu korban dalam rangka memulihkan kondisi psikologisnya seperti semula. Sebagai pendamping korban harus bisa mengusahakan agar dirinya tetap berpihak kepada korban dan tidak menghakiminya. Prinsip-prinsip dalam pendampingan korban harus benar-benar dikuasai pada saat mendampingi korban. Korban dalam keadaan trauma diperlukan seseorang yang dipercaya dan dapat menimbulkan rasa aman terhadap dirinya. Di beberapa negara bantuan yang berbentuk konseling disediakan oleh negara atau lembaga independen yang mempunyai kegiatan khusus dalam menangani korban kejahatan. Konseling bagi korban di Indonesia dikembangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pelayanan medis diberikan kepada korban yang menderita secara akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan laporan tertulis atau visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti. Keterangan medis ini di perlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang dialaminya ke aparat kepolisian untuk ditindak lanjuti.
c. Bantuan Hukum
 Korban tindak pidana termasuk tindak pidana perdagangan orang hendaknya diberikan bantuan hukum Ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan kasusnya melalui jalur hukum, maka negara wajib menfasilitasinya. Negara dalam hal ini mewakili korban untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Lembaga Swadaya Masyarakat juga mempunyai peran dalam pendampingan hukum terhadap korban tindak pidana termasuk korban tindak pidana perdagangan orang. Hal ini disebabkan banyak dari korban yang tidak mengetahui hak-haknya dan langkah-langkah hukum apa saja yang bisa mereka tempuh untuk menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Prosedur pelaporan ke pihak POLRI kemudian bagaimana mendapatkan visum agar dapat dijadikan sebagai barang bukti serta langkah-langkah hukum lain yang tidak diketahui oleh korban karena tidak mempunyai pengetahui khusus untuk itu. Dengan demikian pemberian bantuan hukum terhadap korban diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban karena masih banyak korban yang rendah tingkat kesadaran hukum. Membiarkan korban tindak pidana tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat berakibat semakin terpuruknya kondisi korban tindak pidana termasuk tindak pidana perdagangan orang.


d. Pemberian Informasi
 Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami korban. Pemberian informasi ini memegang peranan dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. Salah satu uapaya yang dilakukan oleh kepolisia dalam memberikan informasi kepada korban atau keluarganya melalui web sites dibeberapa kantor kepolisian, baik yang sifatnya kebajikan maupun operasional.
Selain perlindungan yang dimaksud dalam UU No.21 tahun 2007, undang-undang tersebut juga memberikan hak-hak kepada korban kejahatan perdagangan orang yang berupa :
a. Hak kerahasiaan identitas korban tindak pidana perdagangan orang dan keluarganya sampai derajat kedua. (Pasal 44)
 Kerahasiaan identitas merupakan perlindungan keamanan pribadi korban dan ancaman fisik maupun psikologis dari oranglain . Dengan kerahasiaan identitas korban ini menghindari penggunaan identitas korban seperti tentang sejarah pribadi, pekerjaan sekarang dan masa lalu, sebagai alasan untuk menggugurkan tuntutan korban atau untuk memutuskan tidak dituntut para pelaku kejahatan. Selain itu juga kerahasiaan identitas dan sejarah korban tidak boleh menjadi catatan publik secara terbuka sehingga dapat mempersulit yang bersangkutan untuk melaksanakan dan memenuhi hak-haknya sebagai manusia, perempuan atau anak kecuali jika diizinkan identitasnya dipublikasikan oleh korban.
b. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya (Pasal 47)

Perlindungan keamanan dari ancaman terhadap diri, jiwa dan/atau harta sangat diperlukan oleh korban, karena kerentanan korban yang diperlukan kesaksiannya, dapat diteror dan diintimidasi dan lain-lain telah membuat korban tidak berminat untuk melaporkan informasi penting yang diketahuinya. Jika perlu korban ditempatkan dalam suatu tempat yang dirahasiakan atau disebut rumah aman. Perlindungan terhadap korban diberikan baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
c. Hak untuk mendapat restitusi (Pasal 48)
Setiap korban atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi berupa ganti kerugian atas 1) kehilangan kekayaan atau penghasilan, 2) penderitaan, 3) biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau 4) kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Kerugian lain dimaksud ketentuan ini adalah kehilangan harta milik; biaya transportasi dasar; biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pemberian restitusi dilaksanakan dilaksanakan dalam 14 hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal pemberian restitusi berupa ganti kerugian dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama satu tahun.
d. Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah. (Pasal 51)
Dalam penjelasan undang-undang tersebut bahwa rehabilitasi kesehatan maksudnya adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikhis. Rehabilitasi sosial maksudnya adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Reintegrasi sosial maksudnya adalah penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau penggantian keluarga yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Adapun hak atas pemulangan harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban benar-benar menginginkan pulang dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut. Pemerintah dalam ketentuan ini adalah instansi yang bertanggungjawab dalam bidang kesehatan, dan/atau penanggulangan masalah-masalah sosial dan dapat dilaksanakan secara bersama-sama antar penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat tinggal. Untuk mendapatkan hak memperoleh rehabilitasi dapay dimintakan oleh korban atau kuasa hukum dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada kepolisian

e. Korban yang berada di luar negeri berhak dilindungi dan dipulangkan ke Indonesia atas biaya negara. (Pasal 54)
Korban yang berada di luar negeri akan diberikan bantuan untuk dipulangkan melalui perwakilan di luar negeri yaitu kedutaan besar, konsulat jenderal, kantor penghubung, kantor dagang atau semua kantor diplomatik atau kekonsuleran lainnya dengan biaya negara. Secara garis besar aturan-aturan tentang tindak pidana perdagangan orang sudah sesuai dengan kovensi yang sudah diratifikasi walaupun belum sempurna.


BAB III
KESIMPULAN

 Berdasarkan uraian diatas mengenai human trafficking (perdagangan orang) khususnya mengenai perlindungan korban kejahatan perdagangan orang bahwa :
Perdagangan orang bukan merupakan suatu kejahatan baru yang ada di Indonesia itu terlihat dari jumlah kasus yang terjadi di Indonesia mengenai kejahatan perdagangan orang yang jumlahnya hampir 30 kasus sejak tahun 1993 sampai dengan 2002 yang kemungkinan kasus lain yang sejenis masih ada walaupun tidak diketahui oleh masyarakat umum.
Faktor yang menyebabkan perdagangan perempuan terjadi dan berkembang adalah : ekologis, ekonomi, budaya dan penegakan hukum, dan berkembangnya atau meningkatnya tindak pidana perdagangan orang karena unsur-unsur pola serta jaringan kejahatan sehingga dapat menunjukkan bahwa system hukum tidak mampu untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut. 
Upaya perlindungan korban terhadap perdagangan perempuan ada beberapa bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu pemberian restitusi, kompensasi, rehabilitasi, layanan konseling, bantuan hukum dan pemberian informasi.
Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan pengaturannya di dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang meliputi kerahasian identitas korban dan keluarganya, disediakan ruangan pelayanan khusus pada kantor kepolisian guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan, dibentuk pusat pelayanan terpadu. 

DAFTAR PUSTAKA

http://www.legalitas.org/aspek-hukum-anti-perdagangan-manusia-human-trafficking

http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking

http://www.ajrc-aceh.org/file/Copy of Trafickking Perempuan dan anak jurnal_.pdf

http://lfip.org/report/trafficking data in Indonesia_table_.pdf

http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking

Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang pemeberantasan tindak pidana perdagangan orang

http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_tentang_Pemberantasan_Tindak_Pidana_Perdagangan_Orang

Ariman, M. Rasyid, Pettanasse. Syarifuddin, dkk, kebijakan kriminal, UNSRI, Palembang 2007












0 komentar: