KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

oleh :
citra dewi saputra

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana.1 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351-358.2 Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama kekerasan dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam UU No. 23 tahun 2004.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.


mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan Untuk rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya da-pat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak-adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai Hidden crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melak-sanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap marta-bat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum sangat diperlukan, khusus-nya tentang perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekera-san, terutama kekerasan dalam rumah tangga.Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya;
UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
UU 1/1974 tentang Perkawinan;
UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan
UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saat-nya dibentuk Undang-Undang tentang Peng-hapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidi-kan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.

1.2.Permasalahan
Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan yang saya angkat dalam makalah ini yaitu :
1. Apakah Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT sudah bisa melindungi korban akibat kekerasan dalam rumah tangga ?
2. Apakah Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan bahan acuan dalam memutuskan perkara di pengadilan dalam tindakan KDRT atau mengacu pada KUHP Bab XX tentang penganiayaan pasal 351-358 ?
3. Faktor apa yang menyebabkan seorang suami tega melekukan tindak kekerasan dalam rumah tangga ?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga
Secara ringkas, definisi kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan.1
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).

Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.3
Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:
1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.
4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.

Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga."5
Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP.
Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
5. proyek penyuluhan hukum agama, UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan UU tentang pengadilan agama, jakarta:departemen agama, 1995/1996,hal 15
Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu:
“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

2.2. Bentuk dan Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu:6
1. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.
2. Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab.
6.Ratna batara munti(ed), advokasi legislatif untuk perempuan: sosialisasi masalah dan Draft RKUHP tentang KDRT, Jakarta: LBH APIK ,2000, hal 36
3. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.
4. Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun ekonomis.
Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.7
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:8
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
7.Pangemaran diana ribka,tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga,jakarta:program studi kajian wanita program pasca sarjana UI,1998, hal 78
8.istiadah pembagian kerja dalam rumah tanggaislam, jakarta: hal 18
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang
a. Belum siap kawin
b. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.
c. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

2.3. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya.9 Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.10

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya.
Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.11
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan
11.Tim kalyanamitra,menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, jakarta:kalyanamitra,pusat komunikasi dan informasi perempuan, 1999, hal 27
2. Tidak perlu menghormati perempuan
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar
4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja
Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:12
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan
2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua
Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.
12. Farha ciciek, ikhtiar mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, belajar dari kehidupan Rasulullah SAW,Jakarta:lembaga kajian agama dan jender dengan perserikatan solidaritas perempuan, 1999, hal 37
2.4. Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekerasan (Fisik) Terhadap Istri- Dalam Rumah Tangga
1. Menurut Hukum Pidana
Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban.13
Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan yaitu "tiada pidana tanpa kesalahan" atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.14
Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa).
13.Aruan sakidjo dan bambang poernomo, hukum pidana,dasar aturan umum hukum pidana dalam kodifikasi,jakarta:Ghalia Indonesia,1990, hal 61
14.D.scaffmeister, N keijzer,dan E.PH.Sutorius,hukum pidana, yogyakarta:liberti, 1995 hal 82-86
Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.
Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: "Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun". Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: "Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”15
Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang berbunyi: "Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”

15. Moeldjatno, op.cit,hal 151,153
Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.
Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri, dan anaknya.16
Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.
Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis kelamin.
16.Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 150
2. Menurut UU No. 23 Tahun 2004
UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal.[19] Secara garis besar dapat penulis uraikan sebagai berikut:
Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).
Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:
a. Penghormatan hak asasi manusia
b. Keadilan dan kesetaraan jender
c. Anti diskriminasi, dan
d. Perlindungan korban
Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.
Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
e. Pelayanan bimbingan rohani
Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender
Adapun yang dimaksud dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15, yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
b. Memberikan perlindungan kepada korban
c. Memberikan pertolongan darurat, dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait
Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25.
Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:

a. tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal 40)
b. Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)
Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:
a. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
b. Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-
c. Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-
d. Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-
Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).


BAB III
KESIMPULAN

Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentangt KDRT sudah bisa melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 bab II, juga terdapat dalam bab IV pasal 10 yaitu: Cara melindungi korban dapat dilakukan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, advokad, lembaga sosial atau pihak lainnya.apabila dalam hal ini ada warga yang mendengar, melihat atau mengetahui telah terjadinya kekerasan terhadap rumah tangga di dalam lingkungannya maka wajib melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana; memberikan perlindungan terhadap korban; memberikan pertolongan darurat; membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan acuan dalam merumuskan perkara dalam tindakan kekerasan dalam rumah tangga karena undang-undang ini sudah disahkan, tetapi masih ada yang menggunakan KUHP Bab XX tentang penganiayaan dalam memutuskan perkara ini sesuai dengan kekerasan yang dilakukan si pelaku. KUHP pada dasarnya tidak mengenal kekerasan yang berbasis jender, itulah sebabnya dikeluarkan UU No.23 tahun 2004 yang mengatur secara khusus tentang kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam rumah tangga.


Banyak sekali faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, seorang suami dapat melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri jadi suami disini merasa dirinya yang berkuasa dan bebas melakukan apapun terhadap istrinya, ketergantungan ekonomi juga menyebabkan faktor kekerasan dalam rumah tangga karena disini hanya seorang suami yang mencari nafka sedangkan istri hanya bergantung pada suami maka hanya suami yang merasa berhak mengendalikan semuanya, menurut para suami dengan melakukan tindak kekerasan maka istrinya bisa menuruti semua kehendak dari suami maka kekerasan dijadikan alat untuk menyelesaikan konflik, frustasi seorang suami karena beberapa faktor seperti belum siap kawin, belum kerja menyebakan suami menjadi stes dan bisa melakukan kekerasan terhadap istri, persaingan antara suami dan istri dalam hal pendidikan, jabatan, pergaulan dapat menjadi faktor kerasan dalam rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Sakidjo, Aruan, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Panca Usaha, 2004.
Heise Lori L. Wits Jacquline Pitanguy and Adrianne Germain, Violence Againts Women, Washington DC.: World Bank Discussion Paper, 1994.
M.Rasyid Ariman,SH.,MH, Fahmi Raghib,SH.,MH, dan Syarifuddin Petanasse,SH.,MH.Hukum Pidana Dalam Kodifikasi.2007.
Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan, Whasington DC., 2000.
Maggi Humm, The Dictionary Of Feminist Theory, London: Harvester Wheatsheaf, 1989.
Proyek Penyuluhan Hukum Agama, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Dep. Agama, Dirjen Binbaga DEPAG., 1995/1996.
Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000.
Pangemaran Diana Ribka, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas Indonesia, 1998.
Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP.
Majalah Psikologi Empathy, KDRT Membuat Anakku Tak Sempat Lahir, No. 10/II/Juni 2005.
Ratna Batara Munti, loc. cit.
Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999.
Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW., Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999.
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, 1995.
Moeldjatno, op.cit.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN “Pembangunan Seribu Menara di Jakarta”

1. PENJELASAN
Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, yang tingkat kesejahteraan masih rendah, pembangunan menjadi sangat penting untuk dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tanpa pembangunan akan terjadi kerusakan lingkungan yang akan menjadi semakin parah dengan berjalanya waktu. Namun di lain pihak pembangunan juga mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan apabila tidak dilakukan secara terencana dan tidak memperhatikan aspek lingkungan.
Pembangunan yang baik adalah pembangunan itu haruslah berwawasan lingkungan yaitu lingkungan diperhatikan sejak mulai pembangunan itu direncanakan sampai pada waktu operasi pembangunan itu dilaksanakan. Dengan adanya pembangunan berwawasan lingkungan itu, pembangunan tersebut dapat dikatakan sebagai pembangunan yang berkelanjutan.
Mengenai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan UU No.23 tahun 1997 memberikan definisi tersendiri mengenai itu. Yang dikatakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam proses pembagunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Adapun pembangunan yang merupakan pembangunan berkelanjutan (sustinable development) haruslah memiliki konsep dalam melaksanakan kegiatan pembagunanya tersebut, yaitu :
a. Konsep pembangunan
b. Konsep lingkungan
c. Konsep sosial budaya.


2. MASALAH
Permasalahan yang akan diangkat dalam paper ini adalah mengenai pembangunan seribu menara yang berlokasi di Jakarta dan Tanggerang. Pembangunan seribu menara adalah suatu proyek pemerintah pusat dan pemerintah daerah Jakarta dalam pembagunan rumah susun yang bertujuan untuk menekan pembangunan yang semakin meningkat, khususnya pembangunan perumahan. Pembagunan yang ditargetkan tahun 2011 selesai terbagi menjadi rumah susun sewa (rusunwa) dan rumah susun milik (rusunami). Adapun lokasi pembagunan rusun tersebut tidak akan banyak mengunakan lahan warga/tanah rakyat. Adapun yang menjadi sasaran pasar dalam pembagunan ini diharapkan adalah warga yang berasal dari kalangan menengah kebawah. Sehingga kelak di Jakarta antara pembangunan rumah dengan pembanguan ruang terbuka hijau dapat berimbang, yang berdampak pada berkurangnya pembangunan liar yang tidak berwawasan lingkungan yang terdapat di Jakarta dan Tanggerang.
2.1 ANALISIS
Analisis pertama, mengenai konsep pembangunan yang merupakan salah satu konsep yang terdapat dalam pembangunan berkelanjutan. pada pembangunan diatas konsep tersebut haruslah merujuk pada UU No. 26 tahun 2007 mengenai tata ruang, yang berarti bahwa setiap pembangunan haruslah mengadakan perencanaan tata ruang dan memanfaatkan ruang dengan sebaik-baiknya. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam pasal 19 UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang menyebutkan bahwa dalam menerbitkan izin melakukan usaha adanya hal-hal yang wajib diperhatikan salah satunya adalah rencana tata ruang. Dengan melihat kedua aturan yang menyebutkan bahwa setiap pembangunan harus dengan melakukan rencana tata ruang, maka pembangunan rumah susun sebagaimana disebutkan diatas telah memenuhi salah satu dari konsep pembangunan berkelanjutan yaitu konsep pembagunan. itu dapat dilihat dari perencanaan pembangunan yang tidak menggunakan banyak lahan dan pembangunan rusun tersebut tidak terlalu banyak menggunakan tanah warga sebagai lahan untuk pembangunan rusun tersebut. Dengan demikian semakin sedikitnya lahan yang digunakan dalam pembangunan tersebut berdampak pada semakin luasnya ruang terbuka hijau didaerah Jakarta.
Analisis kedua, mengenai konsep lingkungan yang menjadi salah satu bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan. sesuai dengan konsep tersebut pembangunan rusun di Jakarta tersebut telah mengimplementasikannya, itu terlihat dari pembangunan rusun yang dibangun tanpa banyak menggunakan lahan dan adanya pembangunan rusun tersebut ini jelas akan memperbanyak ruang terbuka hijau yang ada di Jakarta. Bukan itu saja dengan adanya pembangunan rusun tersebut berarti pemerintah serius dalam menekan musibah banjir karena dengan adanya pembangunan rusun tersebut maka warga Jakarta yang berpenghasilan di bawah rata-rata sanggup untuk memiliki atau menyewa rusun tersebut. Sehingga pemerintah dapat menekan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan seperti pembangunan rumah kumuh dibantaran sungai. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan pada pasal 4 UU No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang menyatakan bahwa yang menjadi sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah salah statunya tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal tersebut dipertegas melalui pasal 3 sub c UU No.26 tahun 2007 tentang tata ruang yang menyatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang salah satu tujuanya adalah terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif dari terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dengan demikian pembangunan diatas apabila merujuk kepada dua aturan tersebut jelas bahwa konsep lingkungan sangatlah diperhatikan, itu terlihat jelas pada pembangunan rusun yang dibuat dengan seminimal mungkin memanfaatkan ruang yang bertujuan semakin luasnya ruang terbuka hijau dan mengembalikan fungsi lingkungan / ruang sebagaimana mestinya.
Analisis ketiga, mengenai konsep sosial-budaya konsep adalah sangat vital apabila dalam setiap pembangunan tidak diperhatikan. Sebagai contoh kesenjangan sosial. Namun melihat permasalahan diatas mengenai pembagunan rusun itu, konsep sosial budaya sangatlah diperhatikan betul, hal tersebut tercerrmin dari perencanaan pembangunan yang tidak akan banyak menggunakan tanah warga sebagai lahan pembangunan rusun tersebut. Selain itu masalah kesenjangan sosial yang merupakan masalah yang paling mungkin terjadi pada setiap pembangunan,hal tersebut tidak akan terjadi karena pembangunan rusun yang menjadi proyek pemerintah Jakarta tersebut, yang menjadi sasaran pasar adalah warga yang memiliki penghasilan rata-rata/menengah kebawah sehingga dengan adanya pembagunan rusun tersebut akan berdampak pada berkurangnya masyarakat miskin yang berarti kesenjangan sosial yang diakibatkan karena adanya pembangunan tersebut sebisa mungkin ditekan atau kalau mungkin dihilangkan.
Oleh karena itu dengan terpenuhinya ketiga konsep tersebut maka baru dapat dikatakan bahwa pembangunan tersebut berwawasan lingkungan.


SURAT BERHARGA

(Arfianna Novera)

A. Pengertian

1. HMN. Poerwosutjipto : Surat berharga adalah surat bukti tuntutan utang, pembawa hak dan mudah dijualbelikan


2. A.Kadir Muhammad : Surat berharga adalah suatu surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain. Alat bayar itu berupa surat yang di dalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ketiga atau pernyataan sanggup untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut. Dengan perkataan lain surat berharga adalah surat berisi perintah kepada pihak ketiga untuk menyerahkan suatu hak yang tercantum di dalamnya kepada orang yang berhak atas surat berharga tersebut.



3. CST. Kansil : Surat berharga atau surat perniagaan adalah surat yang dapat diperdagangkan dalam dunia perniagaan untuk memudahkan pemakaian uang yang akan diterima dari pihak ketiga dan untuk mempermudah penagihan piutang dari pihak ketiga.




4. H. Burhanuddin S.B : Surat berharga adalah suatu alat bukti dari suatu tagihan atas orang yang menandatangani surat itu, tagihan mana dipindahtangankan dengan penyerahan surat itu dan akan dilunasi sesudah surat itu diunjukkan.




5. Pasal 1 angka 10 UU No.10 thn 1998 : Surat berharga adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit atau setiap derivatifnya, atau kepentingan dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.

B. Pengaturan

1. Dalam KUH Dagang : tentang wesel, cek, surat sanggup dan promes.

2. Di luar KUH dagang atau dalam ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) antara lain bilyet giro, sertifikat deposito Sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat berharga komersil, dan lain-lain.




C. Penggunaan Surat Berharga dalam praktek

1. Untuk aspek lalu lintas bisnis, penggunaan surat berharga lebih praktis aman dan lancar sistem pembayaran.




2. Untuk aspek usaha perbankan yaitu kegiataan pembelian, penjualan, penyimpanan (custodian) memberikan jaminan surat berharga dan warkat-warkat perbankan, merupakan produk bisnis perbankan dewasa ini, hal ini berkaitan dengan usaha menghimpun dana, baik untuk kepentingan masyarakat maupun untuk kepentingan pembangunan.




D. Perbedaan Surat Berharga dan Surat Yang

Mempunyai Harga

Surat berharga diterbitkan untuk memenuhi prestasi, maka surat yang mempunyai harga diterbitkan hanya untuk menjadi bukti bahwa pemiliknya berhak atasa sesuatu, dengan demikian surat yang mempunyai harga adalah surat yang diterbitkan bukanlah sebagai pemenuhan prestasi dan tidak diperjualbelikan melainkan sebagai alat bukti diri bagi pemegangnya sebagai pihak yang berhak atas apa yang disebutkan atau untuk menikmati hak yang disebutkan dalam surat itu.



SURAT BERHARGA
SURAT YANG MEMPUNYAI HARGA

Haknya bersifat objektif

Dapat diperdagangkan

Menganut legitimasi formal

Kreditur berganti-ganti




Misalnya : wesel, cek, dll
Haknya bersifat subjektif

Tidak dapat diperdagangkan

Legitimasi material

Krediturnya hanya satu orang (yang nama nya tercantum di dalam surat




Misalnya : SIM, KTP, dll


E. Penggolongan Surat Berharga

1. Surat-surat yang mempunyai sifat kebendaan : yang di dalamnya terkandung hak atas pemilikan barang-barang tertentu yang tercantum dalam surat berharga tersebut. Adapun prikatan dasar surat ini adalah penyerahan barang-barang tersebut. Yang termasuk kedalam golongan surat ini adalah :

a. Konosemen (bill of lading) adalah dokumen pengangkutan barang di laut yang diserahkan oleh pengangkut kepada pengirim




b. Ceel adalah dokumen penitipan barang di gudang pelabuhan (veem) sebelum diangkut ke atas kapal




2. Surat tanda keanggotaan suatu persekutuan adalah surat berharga yang berisi hak-hak keanggotaan suatu persekutuan. Adapun perikatan dasarnya adalah hak-hak tertentu yang diberikan oleh persekutuan kepada pemegangnya, misalnya hak untuk mendapatkan deviden, hak suara dalam rapat dan sebagainya. Yang termasuk ke dalam golongan surat berharga ini adalah :

a. Surat saham dalam Perseroan Terbatas

b. Surat saham dalam CV

c. Surat keanggotaan Koperasi




3. Surat-surat tagihan utang adalah surat berharga yang bersisi hak untuk menagih sejumlah uang yang tercantum dalam surat berharga tersebut. Adapun perikatan dasarnya adalah untuk pemenuhan suatu prestasi. Yang termasuk dalam surat berharga ini adalah wesel, cek, aksep/ prosmes dan bilyat giro




F. Klausula Dalam Surat Berharga

1. Atas tunjuk (aan toonder, to bearer)

2. Atas pengganti (aan order, to order)

3. Atas nama (aan naam)

EKSISTENSI KUHP DALAM MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR

BAB I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) terbagi dalam 3 bagian, buku I berisi tentang ketentuan-ketentuan umum, buku II membahas mengenai kejahatan dan buku III membahas mengenai pelanggaran. Dalam makalah ini saya akan mencoba membahas salah satu pasal yang terdapat dalam buku II yaitu tentang tindak pidana perbuatan cabul yang dilakukan terahadap orang sesama kelamin (homo seksual).

Di dalam KUHP tindak pidana cabul terhadap orang belum dewasa diatur dalam pasal 290 ayat 1-3, pasal 291 ayat 1-2 dan juga dalam pasal 292 kesemua aturan tersebut masing-masing memiliki aturan yang berbeda mengenai tindak pidana cabul juga memiliki sanksi yang berbeda pula satu sama lain.


Mengenai tindak pidana perbuatan cabul terhadap orang sesama kelamin dan belum dewasa, dirumuskan dalam pasal 292 KUHP sebagai berikut:

Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:

"orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa1".

Kemudian mengenai tindak pidana perbuatan cabul terhadap orang belum dewasa dan sesama kelamin yang dirumuskan dalam RKUHP terdapat dalam pasal 495 RKUHP.

Diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 7 tahun

"setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sejenis kelaminnya yang diketahui atau sepatutnya diduga belum berumur 18 tahun2".

Dari kedua rumusan mengenai tindak pidana cabul yang diatur dalam KUHP dan RKUHP Indonesia masing-masing memiliki perbedaan dalam merumuskan tindak pidan cabul tersebut. Dalam pasal 292 KUHP

Unsur-unsur objektifnya:

a. perbuatannya : perbuatan cabul

b. si pembuatnya : oleh orang dewasa

c. objeknya :pada orang sesama jenis kelamin yang belum dewasa :

Unsur subjektifnya

d. diketahuinya atau sepatutnya harus diduga belum dewasa

e. yang diketahuinya belum dewasa


Sedangkan dalam pasal 495 RKUHP unsur-unsurnya adalah:

Unsur objektifnya

a. perbuatanya : perbuatan cabul

b. objeknya : pada orang sesama jenis dan belum berumur 18 tahun

c. si pembuat : setiap orang

Unsur subjektifnya

d. diketahui atau sepatutnya harus diduga belum berumur 18 tahun.

selain itu pula terdapat perbedaan mengenai ancaman pidana yang diatur dalam kedua pasal tersebut. Dalam KUHP tindak pidana perbuatan cabul tersebut daincam dengan pidana penjara paling lama lima tahun penjara sedangkan dalam RKUHP tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, paling singkat 1 tahun dan paling lama 7 tahun.
PERMASALAHAN

Sejalan dengan perkembangannya didalam masyarakat, pasal 292 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana cabul terhadap orang sesama kelamin dan belum dewasa. Menjadi suatu ancaman bagi para pelaku tindak pidana pencabulan di Indonesia, tetapi dipihak lain pasal tersebut terdapat banyak kelemahan-kelemahan dalam hal melindungi para korban tindak pidana pencabulan. Sehingga dalam kenyataannya pasal tersebut seharusnya di revisi sehingga tidak akan banyak anak-anak Indonesia yang akan mengalami pelecehan seksual.




oleh karena itu timbullah suatu permasalah dalam hal :
sejauh mana eksistensi pasal 292 KUHP tersebut dalam memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pencabulan
apakah dalam pasal 292 KUHP tentang tindak pidana cabul terhadap orang sesama kelamin (homo seksual) telah dapat dikatakan melindungi hak-hak korban tindak pidana tersebut.




Dengan tujuan bahwa dengan diterpakannya pasal 292 ayat 2 KUHP tersebut, telah mampu mengantisipasi tindak pidana pencabulan terhadap anak dan juga bagi para korban tindak pidana tersebut mampu untuk kembali hidup seperti biasa tanpa mengalami suatu trauma akibat apa yang pernah dialaminya di waktu ia belum dewasa. Dan juga dapat memberikan efek jera kepda para pelaku pencabulan tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN
DEFINISI

Mengenai definisi tindak pidana cabul terhadap orang sesama kelamin dan belum dewasa, KUHP tidak memberikan secara konkrit pengertian mengenai tindak pidana cabul tersebut. Namun KUHP hanya merumuskan bahwa:

Tindak pidana perbuatan cabul terhadap orang sesama kelamin dan belum dewasa adalah sebagai berikut, "orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun" .

Sedangkan dalam UU No.23 tahun 20024 tentang perlindungan anak, Bab XII mengenai ketentuan pidana, dalam pasal 82 UU perlindungan anak tersebut dirumuskan bahwa perbuatan cabul adalah, "setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, mamaksa, melakukan tipu muslihat,serangkain kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 dan paling sedikit Rp 60.000.000.


Dari kedua rumusan tersebut tidak memberikan suatu perincian yang konkrit dan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana pencabulan tersebut, di dalam KUHP dan pasal 82 UU No.23 th 2002 hanya menjelaskan mengenai unsur-unsur tindak pidana tersebut dan tidak memberikan secara pasti mengenai perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai pencabulan.

Mengenai perbuatan cabul5 (ontuchtige handelingen) adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun yang dilakukan pada orang lain mengenai dan berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seseorang dan sebagainya.

Dari semua perumusan tindak pidana cabul tesrsebut baik itu di dalam KUHP maupun di dalam UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana tersebut pastilah anak-anak.


EKSISTENSI PASAL 292 KUHP

Dalam perkembanganya dalam masyarakat pasal 292 KUHP memang sudah cukup mampu menjerat para pelaku tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak-anak. Itu jelas terlihat dalam perumusan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, "orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun" .

Namun selanjutnya dalam perkembangannya di dalam masyarakat pasal 292 tersebut apabila menjadi acuan tunggal dalam setiap putusan hakim pengadilan, maka akan banyak sekali kasus-kasus cabul yang tidak dapat dijangkau oleh pasal tersebut, oleh karena itu UU NO.23 tahun 2002 bisa dijadikan acuan bagi para hakim untuk memutuskan perkara yang tidak dapat dijangkau dengan hanya mengandalkan pasal 292 KUHP.

Dalam contoh kasus dibawah ini PN amalpura tidak hanya mengacu kepada pasal 292 tetapi juga mengacu pada UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.


Contoh kasusnya adala seperti dibawah ini :

Brown William Stuart alias Tony, 52, terpidana kasus pedofilia (pelecehan seks terhadap anak-anak), pada waktu yang lalu, tewas gantung diri setelah divonis 13 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Amlapura. Itulah kasus pertama pedofilia yang diputus menggunakan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak6.

Seperti ditulis dalam harian Jawa Pos, Kasus Tony, mantan diplomat Australia, boleh dikata merupakan kasus pedofilia kedua yang paling menggegerkan di Indonesia. Kasus Tony itu hampir menyamai "kebesaran" Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Hanya, kelebihan pada kasus Robot Gedek, sejumlah korban, yakni anak-anak usia belasan tahun tewas dibunuhnya. Dalam kasus pedofolia ini yang menjadi korban pelecehan seksual adalah dua bocah bali, IBA 15 tahun dan IMS 14 tahun.
Setelah mencuak kasus tersebut di amalpura, banyak para aktivis yang concern terhadap kasus tersebut sebut saja CASA7 aktivis yang bergerak dibibidang perlindungan anak ini mendesak PN alamapura untuk segera memutuskan perkara ini dengan menggunakan acuan UU perlindungan anak. Bukan lagi, hanya sekedar pasal-pasal pencabulan sebgaimana termaktub di pasal 292 jo pasal 64 KUHP.

Pasal 292 jo pasal 64 KUHP soal pencabulan dengan tuntutan maksimal 5 tahun penjara. Dipandang aktivis anak bali tidak relevan8 dalam untuk memberi efek jera bagi para pelaku tindak pidana pencabulan, bahkan dengan hukuman yang ringan, setelah keluar dari penjara, ada kecenderungan pelaku berhasrat mengulangi perbuatannya kembali.

Kelemahan dari pasal 292 jo. Pasal 64 KUHP terlihat dari contoh kasus fedopolia yang terjadi di singaraja, Prof Dr LK Suryani SpKj mencontohkan soal kasus serupa di PN Singaraja pada 2002. Menurut dia, lemahnya hukuman yang dijatuhkan kepada Mario Manara9, terpidana 8 bulan penjara dalam kasus sodomi terhadap puluhan anak di Pantai Lovina, Singaraja, menyebabkan ada kecenderungan pelaku-pelaku yang belum tertangkap dan terungkap melakukan hal serupa.


Oleh karena itu dalam penerapanya di pengadilan dalam memberikan putusan-putusan mengenai tindak pidana pencabulan maka para hakim seharusnya tidak hanya terpaku kepada KUHP saja melainkan UU lain yang sesuai dengan kasus yang sedang di sidangkan, seperti UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Sehingga eksistensi pasal 292 KUHP menjadi tidak diragukan lagi dalam memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pencabulan tersebut.


PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TP PENCABULAN

Setelah kita sama-sama melihat kasus pedofolia yang terjadi di Amlapura, kita dapat melihat lemahnya KUHP kita dalam melindung para anak dari kejahatan pencabulan oleh orng dewasa. Karena di dalam KUHP kita hanya mengacu pada sanksi apa yang akan dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut,tanpa melihat bagaimana memberi perlindungan terhadapat anak korban TP pencabulan.

Dalam pasal 292 KUHP maupun dalam pasal 495 RKUHP yang menjadi korban tindak pidana tersebut adalah anak-anak. Oleh karena itu UU NO 23/2002 tentang perlindungan anak memebrikan sebuah pengertian mengenai anak disebutkan bahwa anak adalah seseoranng yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan9.

Oleh karena itu sebagimana diatur dalam UU perlindungan anak pemerintah dan lembaga Negara berkewajiban dan bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan khusus terhadap korban tindak pidana pencabulan. Dan semua itu berlaku bagi setiap anak Indonesia tanpa adanya diskriminasi





Maraknya aksi kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi pada anak, baik berupa kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, tidak mendapatkan perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang memadai sehingga anak berulang kali menjadi korban.

Anak memang merupakan manusia paling lemah. Pada umumnya anak sangat bergantung kepada orang dewasa, sangat rentan terhadap tindak kekerasan yang dilakukan orang dewasa, dan secara psikologis masih labil

. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban memberiakn perlindungan terhadap anak korban tindak pidana. Sebagiama diatur dalam pasal 59 bagian perlindungan khusus, UU Perlindungan anak adalah "Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran10".


Dalam memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan psikis. Pemerintah memeberikan perlindungan melalui upaya, sebagaiman diatur dalam pasal 69 UU perlindungan anak:
penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan
pemantauan, pelaporan, dan pemberian saksi.

Namun dalam perakteknya, , perlindungan khusus yang seharusnya diberikan bagi anak yang berhadapan dengan hukum tampaknya belum memadai. Dibandingkan dengan negara tetangga, yaitu Thailand, Indonesia sudah cukup tertinggal. Sejak tahun 1996 Thailand telah memiliki Subkomite untuk Reformasi Hukum, yang antara lain terdiri dari perwakilan dari Mahkamah Agung, Pengadilan Anak dan Pengadilan Keluarga, polisi, Komnas Perempuan, Biro Pemuda, LSM, Asosiasi Pengacara Perempuan, dan Unicef Thailand11.



Sehingga dengan adanya UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka hak-hak anak sebagai warga Negara dijamin oleh pemerintah, tanpa adanya diskriminasi satu sama lain. Sehingga bagi anak-anak korban tindak pidana pelecehan seksual seperti yang terjadi di amalpura akan mendapat perlindungan selama mereka menjalani terapi untuk menghilangkan trauma akibat dari pelecehan seksual yang mereka alami sebelumnya.


BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN

Setelah kita semuanya melihat perkembangan pasal 292 KUHP, kita dapat menyimpulkan bahwa pasal 292 KUHP sudah tidak relevan lagi dalam membuat efek jera terhadap para pelaku tindak pidana cabul, karena dalam pasal tersebut hukumannya terlalu ringan sehingga sering kali para pelaku yang telah keluar dari penjara akan kembali mengulangi perbuatanya tersebut.

Dengan adanya UU No. 23 tahun 2002 maka bagi para korban tindak pidana pelecehan seksual,telah diberikan suatu perlindungan oleh pemerintah dalam hal ini pepemrintah berkewajiban memberikan perlindungan kepada siapa saja korban tindak pidana tersebut, tanpa terkecuali. Sehingga tidak menimbulkan adanya pandangan dari masyarakat bahwa pemerintah berlaku diskriminatif terhadap korban tindak pidana pelecehan seksual.
SARAN

Dengan berlakunya UU perlindungan anak, maka seharusnya pemerintah lebih selektif dalam memberikan putusan kepada para pelaku tindak pidana pelecehan seksual, bukan hanya mengacu kepada KUHP tetapi juga kepada UU lain yang terkait dengan kasus yang terjadi. Sehingga dalam memeberikan putusan dipengadilan hakim dapat memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pelecehan seksual.




DAFTAR PUSTAKA




KUHAP dan KUHP, dilengkapi dengan UU no 27 th 1999 tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan keamanan Negara, Jakarta, 2007.




www.kompas.com, forum perlindungan khusus bagi korban anak, Jabar, 2007




Ariman M. Rasyid, hukum pidana dalam kodifikasi, kejahatan tertentu dalam KUHP, Palembang, 2007



www.solusihukum.com, kasus pedofilia: UU perlindungan anak jadi acuan tunggal dalam putusan PN Amlapura, Amlapura, 2004.


Raghib M. Fahmi, naskah rancangan kitab KUHP nasional (draf II edisi th.2005), Palembang, 2007.


Undang-Undang Republik Indonesia No.23 tahun 2002, tentang perlindungan anak.

TINJAUAN FILSAFAT ILMU TERHADAP MISTIK DALAM HUBUNGANNYA DENGAN BUDAYA HUKUM INDONESIA

Oleh :
Dian Istiaty, SH.,M.Hum
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya


Abstrak : Kebudayaan mempengaruhi hukum dalam masyarakat. Mistik sebagai pengetahuan yang mempengaruhi pola fikir manusia pada akhirnya akan muncul dalam bentuk budaya. Proses kebudayaan mempengaruhi hukum menjadi budaya hukum. Secara filosofis, keberadaan misitk dalam budaya hukum dapat dilihat dari 3 aspek yaitu, aspek ontologis aspek epistemologis, dan aspek aksiologis. Persoalannya menjadi pelik, apabila mistik budaya hukum, terlalu dominan sehingga mempengaruhi pola fikir masyarakat, seperti dalam menentukan pilihan hukumnya pada pemilihan umum, atau wakil rakyat dalam menentukan ketentuan hukum apa yang perlu diatur. Hal ini dapat menjadi penghambat perkembangan hukum dalam beradaptasi pada perubahan dan kemajuan dunia. Oleh karenanya, keberadaan mistik sebagai suatu budaya hukum, harus ditempatkan pada posisi yang tepat serta harus disertai dengan upaya pembuktian hukum yang tepat jika akan menjadi bagian ketentuan tertulis, seperti pengaturan mengenai santet dalam KUHPidana.
Kata Kunci : Filsafat Ilmu, Mistik, Budaya Hukum.






Pendahuluan.
Prof. Kuntowijoyo telah membagi tiga tingkat evolusi pemikiran manusia yaitu mitos, ideologI dan ilmu. Beliau menjelaskan bahwa periode mitos berlangsung sebelum dan pada abad ke 19 serta awal abad ke-20. Bahkan hingga saat inipun sebetulnya, mitos maupun mistik ternyata masih terus mempengaruhi pemikiran manusia Indonesia.
Bahkan, dapat diasumsikan bahwa sebetulnya mistik tersebut tetap mempengaruhi pemikiran manusia Indonesia, hingga menjadi bagian dari suatu budaya dan pada akhirnya mempengaruhi aturan hidup manusia Indonesia. Terdapat beberapa contoh yang menunjukkan masih adanya pengaruh mistik terhadap budaya ataupun pola prilaku manusia, seperti diketahui saat ini terdapat sikap yang diyakini oleh beberapa orang yang menghendaki agar santet dikriminalisasi dan dimasukkan aturannya dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang hingga kini masih menjadi pembicaraan kontroversial.
Pada politik hukum sebagai hal yang mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan, juga terdapat unsur keyakinan yang cenderung bersifat mistik. Sebagai contoh, adalah cara orang Indonesia dalam menentukan calon legislatif, calon presiden ataupun partai yang akan dipilih dalam Pemilihan Umum.
Meskipun slogan dengan hati nurani atau melihat visi dan misi suatu partai atau seseorang, namun tetap ada unsur yang tidak terjangkau oleh akal manusia biasa, seperti pengkultusan seseorang, kharisma seseorang atau partai, aliran yang dianut suatu partai, bahkan tidak jarang berdasarkan pula angka yang digunakan oleh seseorang atau partai tersebut.
Apabila diperhatikan, jumlah pasal dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 (yang telah mengalami 4 kali amandemen), tidak mengalami perubahan. Tetap berjumlah 37 pasal, dan hanya mengalami penambahan huruf–huruf dibelakang angka pasal untuk penambahannya. Seolah-olah para anggota MPR tidak berani untuk menambah angka tersebut ataupun memiliki keyakinan terhadap angka 37 tersebut. Hal ini juga terlihat dari dirombaknya batang tubuh UUD 1945 namun tidak menyentuh sama sekali Pembukaan UUD 1945.
Tulisan ini bukan untuk menyarankan adanya perubahan tersebut, namun justru memikirkan hal yang terdapat dibalik itu semua. Beberapa contoh yang telah dipaparkan mengindikasikan terdapatnya suatu unsur keyakinan, yang selanjutnya akan disebut mistik dalam nilai-nilai atau ide ataupun sikap masyarakat Indonesia yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan apapun sehingga pada akhirnya menjadi suatu budaya hukum.
Sebagaimana diketahui bahwa, budaya hukum merupakan iklim pikiran masyarakat dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagaimana suatu hukum itu digunakan, dihindarkan atau disalah gunakan. Budaya hukum juga merupakan budaya non material ataupun spiritual.
Adapun inti budaya hukum sebagai budaya non material atau spiritual adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehingga harus dianuti) dan apa yang buruh (sehingga harus dihindari). Nilai-nilai tersebut merupakan dasar dari etika (mengenai apa yang benar dan yang salah), norma atau kaidah (yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan) dan pola prilaku manusia. Artinya ada unsur spiritual yang dekat dengan keyakinan atau kepercayaan, seperti halnya mistik yang muncul karena keyakinan seseorang.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Prof.Soerjono Soekanto bahwa nilai-nilai tersebut paling sedikit mempunyai 3 aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Aspek kognitif adalah aspek yang berkaitan dengan rasio atau pemikiran, aspek afektif adalah aspek yang berkaitan dengan perasaan, sedangkan aspek konatif adalah aspek yang berkaitan dengan kehendak untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai-nilai ini (terutama nilai afektif) juga berkaitan dengan keberadaan mistik dalam budaya hukum, karena nilai afektif (perasaan, emosional dan keyakinan) turun berperan dalam diri manusia Indonesia.
Meskipun demikian, asumsi mengenai keberadaan mistik dikaitkan dengan suatu budaya hukum tetap akan menimbulkan suatu pro kontra di kalangan masyarakat umum maupun akademisi, mengingat budaya hukum harusnya menempati bentuk lanjutan dari suatu kesadaran hukum. Oleh karenanya tidak setiap pihak menerima adanya suatu mistik sebagai bagian dari budaya hukum di Indonesia.
Setelah diasumsikan bahwa mistik juga merupakan budaya hukum, maka untuk memahami mengenai mistik tersebut dari aspek filsafat ilmu, maka dilakukan pendekatan sebagaimana karakteristik filsafat ilmu yaitu secara mendasar, menyeluruh dan spekulatif yakni dengan mencoba memahami mistik melalui aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Meskipun diketahui bahwa secara ontologis, ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia dan secara epistemologi, ilmu merupakan metode ilmiah yakni cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar, sehingga sempat diragukan untuk membicarakan mistik (yang berada diluar pengalaman manusia atau akal sehat manusia) tersebut apakah dapat ditinjau secara persfektif filsafat ilmu atau hanya melalui persfektif filsafat saja.
Meskipun demikian, ilmu adalah bagian dari pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Maka terdapat suatu benang merah disini, yakni mistik sebagai budaya hukum yang berakar dari suatu kebudayaan suatu masyarakat. Artinya mistik dapat dilihat dengan persfektif keilmuan, dalam hal ini, ditinjau melalui filsafat ilmu.
Keadaan ini justru menjadi menarik untuk ditelaah lebih jauh, terutama dari aspek filsafat ilmu, dimana diketahui bahwa mistik juga merupakan bagian dari obyek kajian filsafat yakni dalam cabang metafisik karena dalam metafisik dipelajari pembicaraan-pembicaraan tentang prinsip yang paling universal dan sesuatu yang diluar kebiasaan (beyond nature). Mistik sendiri merupakan suatu yang universal (hampir dipastikan di negara manapun mempunyai keyakinan dalam bentuk mistik ataupun mitos) dan sering kali merupakan suatu hal diluar kebiasaan manusia umumnya atau sebaliknya kemudian justru menjadi kebiasaan manusia.
Dijelaskan bahwa "metafisik berusaha untuk menyajikan pandangan yang komprehensif tentang segala yang ada : ia membicarakan problema seperti hubungan antara akal dan benda, hakikat perubahan, arti kemerdekaan, kemauan, wujud tuhan dan percaya kepada kehidupan sesudah mati bagi setiap orang" Dengan demikian, metafisik pun mampu untuk mempelajari hal-hal terkait dengan mistik.
Filsafat kontemporer dengan tekanannya terhadap persepsi rasa dan pengetahuan ilmiah yang obyektif bersikap skeptis terhadap kemungkinan pengetahuan metafisik serta terhadap berartinya soal "metafisik". Namun hanya filosof dari timur atau barat yang percaya bahwa problem nilai dan agama atau problem metafisik adalah erat hubungannya dengan konsepsi seseorang tentang watak yang fundamentarl dari alam. Banyak filosof percaya bahwa dalam diri manusia ada sesuatu yang lebih tinggi dari alam empiris.
Artinya keberadaan dan fungsi metafisik sendiri juga menimbulkan banyak perdebatan dikalangan filosof. Meskipun demikian, kajian ini tetap diyakini dapat dilakukan melalui filsafat karena terdapat juga sebagai filosof yang percaya akan metafisik tersebut.
Oleh karenanya, dengan harapan melalui kajian filsafaat Ilmu ini, maka akan ditemukan penjelasan mengenai hakekat (aspek ontologis), cara (aspek epistemologis) dan kegunaan (aspek aksiologis) dari telaah mengenai mistik dalam budaya hukum ini.
Hakekat mistik dikaitkan dengan budaya hukum
Terdapat banyak pengertian mengenai mistik, baik berdasarkan kamus bahasa Indonesia, ilmu antropologi dan filsafat sendiri. Berikut beberapa pengertian mengenai mistik tersebut :
• merupakan hal gaib yang sangat diyakini hingga tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa.
• merupakan sub sistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan tuhan.
• merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam dan sistem keagamaan ini sendiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan.
• merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio.
• Perkataan mitos atau mythical sebagai pertimbangan nilai yang negatif tentang suatu kepercayaan atau riwayat. Walaupun begitu, kata tersebut dapat dipakai sebagai deskriptif semata-mata tanpa konotatif negatif. Mitos dapat menunjukkan kepada (1) dongengan-dongengan (2) bentuk-bentuk sastra yang membentangkan soal-soal spritual dalam istilah sehari-hari (3) cara berpikir tentang ketenaran-ketenaran yang tertinggi (ultimate). Bentuk pertama merupakan dongengan dengan binatang-binatang sebagai pelaku, tujuannya adalah memberi moral atau prinsip tindakan dan bukan untuk meriwayatkan suatu kejadian dalam sejarah secara terperinci. Bentuk kedua dalam arti sesungguhnya sangat bergantung pada konteks keagamaan. Bentuk ketiga merupakan bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak.
• merupakan pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spritual, bebas dari ketergantungan pada indera dan rasio.


Apabila dikaitkan dengan budaya hukum, maka pada hakekatnya mistik merupakan merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak di dalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya.
Kemudian, buah pikiran atas ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini menjadi sesuatu yang keadaanya tidak statis melainkan berubah mengikuti perubahan dalam masyarakat dan diyakini menjadi budaya hukum.Dengan demikian, dapat diartikan bahwa meskipun mistik tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa, namun memiliki pengaruh bagi masyarakat yang menyakininya.
Sebagai contoh mengenai mistik yang ada dalam masyarakat, diantaranya terdapat dalam beberapa peristiwa berikut ini :
• Pengkultusan seseorang yang mudah menggiring para pengikutnya kepada tindakan antisosial yang berbahaya, seperti tindakan bunuh diri massal yang dilakukan kelompok Heaven's Gate di Amerika Serikat dan usaha pembunuhan massal oleh Sekte Aum Shinrikyo di Jepang. Sikap mengkultuskan ini merupakan sikap fanatik terhadap seseorang yang tidak dapat dimengerti secara rasio dan sulit dijelaskan oleh akal.
• Contoh lain yang berkaitan dengan budaya dan berpengaruh pada politik adalah aliran kelompok meditasi Falun Gong, yaitu pemrotes dengan cara diam, yang dianggap sekte sesat oleh pemerintah komunis Cina. Tudingan pemerintah Beijing adalah gerakan Falun Gong merupakan gerakan makar berbau mistik. Hal ini dilatar belakangi sejarah politik Cina yang dipenuhi sederet contoh gerakan arus bawah yang kebanyakan direkat oleh kohesi kepercayaan dan mistisisme yang tumbuh menjadi kekuatan politik dan menggulingkan dinasti. Kelompok meditasi yang dianggap berbau mistik ini juga sulit dijelaskan oleh akal, namun meditasi yang dilakukan tersebut diyakini oleh masyarakat dapat mengubah politik negara mereka.
• Munculnya aliran kebatinan di Indonesia, dimana ulama sufi (mistik) menerjemahkan teks suci Alqur'an secara ta'wil tidak secara lahiriayah sehingga menimbulkan kontroversial. Dalam ajaran dan perkembangannya mereka "menafikan" dan "menolak" syariah dan lebih mengedepankan hubungan pribadi dengan tuhan tanpa penuntun yang jelas. Aliran ini banyak diikuti masyarakat di Jawa dan menjadi bagian budaya hukum, sehingga sewaktu itu pemilihan umum ataupun melakukan kegiatan politik yang berkaitan dengan hukum, didasarkan pada "eling" kepada tuhan sekaligus meminta petunjuk dan meyakini hal-hal mistis disekitar mereka, seperti karisma pemimpin, jumlah angka dan hal lainnya.
• Contoh mistik lainnya yang terkait erat dengan budaya hukum di Indonesia adalah mengenai kesaktian (kasakten) dalam konsep kekuasaan Jawa, yaitu memilih pemimpin karena karisma. Karisma adalah kemampuan seseorang pemimpin dalam ilmu gaib atau hal-hal yang bersifa keramat untuk memperbesar pengaruh sehingga keabsahannya sebagai pemimpin diakui dan didukung. Rakyat yang menyakini hal demikian akan memilih seorang pemimpin bukan karena kinerja atau komitmennya terhadap bangsa. Yang paling menonjol di masa orde baru adalah istilah Pandito Ratu, yang menegaskan bahwa seorang pemimpin tidak dapat disalahkan. Budaya hukum demikian jelas terbukti berpengaruh pada hasil politik hukum di Indonesia pada masa tersebut.
• Adanya "partai-partai mitikal" dapat dilacak dari keberpegangan partai terhadap masa lalu, dogma parsial yang kemudian dijadikan semacam mitos. Sebagai misal, beberapa tokoh dimasa lalu yang pernah berjasa kepada negeri Indonesia dicoba dilepaskan dari sifat-sifat kemanusiaanya yang lekat dengan keterbatasan dan kekurangan. Para tokoh tersebut dimitoskan oleh masing-masing pendukungnya sebagai manusia paripurna yang nyaris tidak memiliki kekurangan. Mereka dipuji dan diagungkan sebagai sosok demokrat sejati, pembela humanisme atau bapak pembangunan yang tiada tara. Mereka pun digambarkan – implisit atau eksplisit - sebagai pembawa misi profetik yang kehadiran mereka untuk pembebasan bangsa atau untuk mengantarkan bangsa ini menuju kesejahteraan yang hakiki. Padahal, terlepas dari kelebihan yang dimiliki masing-masing, mereka adalah manusia biasa yang punya kekurangan, yaitu dari yang sangat otoriter hingga yang totaliter dan korup. Mereka memilih partai bukan karena program kongkret yang ditawarkan, melainkan lebih bersifat karena kekaguman dan tarikan aura mitikal yang dimiliki sang figur partai, bukan berdasarkan rasionalitas tentang kemampuan si figur atau kehebatan partai memperjuangkan kepentingan rakyat.


Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hakekat mistik sendiri merupakan suatu hal gaib yang tidak dapat dijelaskan secara rasio, pada tingkat supra rasional dan mempunyai pengaruh besar kepada keyakinan orang yang menyakininya sehingga menjadi bagian dari kultur atau budaya hukum mereka. Adapun bentuk-bentuk dari mistik tersebut dapat berupa pengkultusan, meditasi, karisma, aliran kebatinan dan lainnya.
Budaya hukum merupakan sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, pandangan-pandangan, pikiran-pikiran, sikap-sikap dan harapan-harapan (bagian dari budaya umum yang berhubungan dengan sistem hukum).
Budaya hukum sendiri menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Apabila masyarakat hukum tersebut sederhana, maka kehidupan masyarakatnya terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis. Dengan demikian, budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan budaya, posisi ataupun kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan. Termasuk nantinya keyakinan ataupun kepercayaan anggota masyarakat tersebut.
Secara sempit, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai tradisi hukum yang dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum Indnesia. Sedangkan secara luas, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai keseluruhan endapan dari kegiatan dan karya hukum masyarakat Indonesia.
Perlu untuk diketahui, bahwa budaya hukum juga tidak terlepas dari budaya yang kemudian menjadi kebudayaan suatu masyarakat. Budaya berarti Pikiran ; akal budi ; hasil atau Sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Budaya Indonesia pada hakikatnya : satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa seluruhnya dengan tidak menolak nilai-nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa yang hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa.
Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan secara sempit adalah pikiran, karya dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Secara luas, kebudayaan berarti seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Perlu ditekankan bahwa kebudayaan berbeda dengan agama, karena kebudayaan merupakan sesuatu yang spesifik insani (manusiawi), realisasi dari bawah, bukan seperti agama yang merupakan rahmat dari Atas.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan tersebut paling sedikit memiliki 3 (tiga) wujud, yaitu :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.


Berdasarkan 3 (tiga) wujud tersebut, yang patut disoroti adalah wujud kebudayaan yang pertama. Pada wujud pertama ini, adat merupakaan wujud ideel dari kebudayaan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakukan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat ialah : (1) tingkat nilai-budaya, (2) tingkat norma-norma, (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan khusus.
Hal ini berarti ada keterkaitan antara kebudayaan dengan nilai budaya, norma dan hukum (disini tentunya juga termasuk sistem hukum yang memuat mengenai budaya hukum).
Selanjutnya, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks idee-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, karena berkaitan dengan budaya hukum, yakni merupakan konsep abstrak dari manusia yang berkaitan dengan sistem hukum, maka perlu untuk diperhatikan bahwa budaya hukum tersebut memberi pengaruh kepada perubahan nilai-nilai, ide-ide dan sikap dalam masyarakat. Artinya untuk mengubah kesadaran hukum dan kepastian hukum dalam masyarakat, maka harus mengubah nilai-nilai, ide-ide dan sikap-sikap dalam diri masyarakat.
Pada kutipan lain dijelaskan bahwa budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan prilaku hukum. Jadi budaya hukum menunjukkan tentang pola prilaku individu sebagai anggota masy yg menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat yang bersangkutan.
Kemudian, budaya hukum tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku dan pemikiran yang sah terlepas, akan tetapi diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum, berikut sikapyang mempengaruhi hukum. Termasuk sikap meyakini mistik sebagai bagian dari budaya yang menjadi bagian dari budaya hukum.
Keterkaitan budaya hukum dengan mistik menjadi jelas, karena mistik juga merupakan ide-ide , nilai-nilai yang sangat diyakini (hal gaib) hingga tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa. Biasanya keyakinan ini mempengaruhi sikap-sikap yang ada dalam diri masyarakat, sebagaimana dicontohkan pada bagian latar belakang. Hal inilah yang menunjukkan adanya hubungan antara budaya hukum dengan suatu keyakinan yang bersifat mistis. Namun disisi lain mistik sebenarnya merupakan sub sistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan tuhan. Tapi, fakta di Indonesia, kecenderungan mistik lebih bersifat keyakinan irrasional dan menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat tersebut.
Apabila dikaitkan dengan karakteristik budaya hukum, yaitu tidak tertulis, hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kemudian merupakan ide, nilai dan sikap yang diyakini oleh masyarakat yang berkaitan dengan sistem hukum, maka mistik sebagai suatu nilai dan sikap yang sangat diyakini masyarakat meski sulit dijangkau oleh akal sehat dan hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dapat dianalisis sebagai bagian atau merupakan suatu budaya hukum dalam masyarakat Indonesia.


Proses munculnya mistik dikaitkan dengan budaya hukum
Membahas mengenai epistemologi mistik, berarti berusaha mencari tahu bagaimana sejarah munculnya mistik dan bagaimana memperoleh keyakinan mistik tersebut. Sebagaimana dijelaskan mengenai hakekat mistik yang gaib, maka alat yang dapat digunakan untuk mengeahui mistik ini diantaranya adalah rasa, hati dan keyakinan seseorang. Jadi tidak melalui indera atau pun rasio atau akal manusia.
Adapun yang menjadi obyek dari mistik tersebut merupakan obyek yang gaib, kasat mata dan supra rasional, maka cara memperolehnya pun sering kali tidak menggunakan akal rasional. Mistik dapat diperkenalkan sebagai suatu bentuk dari intuisi Dijelaskan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam pejabaran-penjabaran mistik memungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung yang mengatasi pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indra. Pengetahuan mistik telah diberi definisi sebagai kondisi orang yang amat sadar tentang kehadiran yang Maha riil. (Hubungan aku dengan tuhan / Kesadaran Kosmis).
Berikut ini beberapa cara yang dimungkinkan masuknya keyakinan mistik kepada seseorang :
• Apabila seseorang mengalami guncangan psikis, seperti perasaan tersingkir, hilangannya pegangan hidup maupun teringkari, maka dapat secara mudah gerakan kultus yang fanatik, eksklusif dan tak jarang anti sosial dapat masuk. Artinya tanpa adanya pegangan hidup, maka mistik dalam bentuk kultus dapat masuk ke diri seseorang.
• Dapat juga dengan melakukan meditasi dan pendalaman suatu aliran kebatinan yang hanya menyatakan diri berhubungan langsung dengan tuhan tanpa memiliki syarat atau aturan tertentu.
• Perbedaan oritantasi politik atau aliran dipercaya menjadi sebab dari munculnya perbedaan partai politik dan konflik diantara masyarakat, khususnya Jawa. Aliran yang berbeda bersaing terutama dalam endefinisikan apa itu Indonesia. Atas dasar apa Republik Indonesia harus dibangun sehingga menjadi negara yang kuat dan punya pemerintahan yang baik ? Kalau disederhanakan, ada dua aliran politik yang mempengaruhi apa jawaban elite politik atas pertanyaan tersebut ; santri dan abangan. Santri adalah kelompok muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Bagi santri pada tahun 1950-an, taat terhadap agama berarti mengupayakan agar islam menjadi landasan atau asas bagi pengelompokan politik, seperti parpol dan negara. Karena itu mereka mendirikan parpol berasas islam. Dan pada tahun 1950-an mereka juga mengupayakan agar RI berasakan Islam. Hanya dengan demikian Indonesia menjadi kuat. Sebaliknya, abangan adalah kelompok muslim yang tidak taat menjalankan kewajiban agam islam, apalagi memperjuangkan agar negara berasaskan islam. Islam tidak penting dalam kehidupan sosial politik kelompok abangan. Tidak heran kemudian ia lebih terbuka terhadap ideologi politik lain yang dominan di dunia pada waktu itu yakni komunisme. PKI lahir dari elite dan massa yang berorientasi abangan seperti ini. Sementara itu, abangan yang berada pada posisi kelas atas mewujudkan nilai politik mereka dalam PNI. Perbedaan PNI dengan PKI secara kultural terlaetak pada sopistikasi kepercayaan mereka dan pada perbedan kelas konstiuen mereka. Meski demikian, ketika dihadapkan dengan islam dan partai islam, mereka merupakan kekuatan yang relatif homogen. Keyakinan tanpa diimbangi dengan rasional terhadap aliran politik yang dianut ini juga mempermudah masukkan unsur mistik dan menjadi budaya hukum.
• Munculnya aliran kebatinan atau islam mistik di Jawa melalui cara damai, yakni dimulai dari Syekh Siti Jenar memaklumkan dirinya sebagai pengembang aliran manunggaling kawula-gusti (widhatul wujud) yang melambangkan ajaran perkembangan dan percaturan filsafat serta tasawuf pada masa peralihan kekuasaan di jawa, dari majapatit (hindu dan budha) ke pemrintahan islam Demak Bintoro. Aliran sufi atau mistik ini berkembang mejadi Aliran Kebatinan. Terhadap kondisi keyakinan melalui aliran kebatinan ini, dapat dilihat juga bahwa berdasarkan teori Emile Durkheim mengenai sifat solidaritas dari dalam masyarakat, maka adanya solidaritas mekanis yang muncul dalam masyarakat sebagai akibat yang ditimbulkan dari kesamaa yang mengaitkan individu dengan masyarakatnya, maka didalam masyarakt demikian, terdapat kesamaan antra para anggotanya mengenai kebutuhan-kebutuhan, prikelakuan, kepercayaan dan sikap. Hal ini yang pada akhirnya menimbulkan keinginan untuk menimbulkan efek mempertahankan aliran yang diyakininya tersebut.
• Sementara, apabila dilihat dari proses lahir atau munculnya mistik tersebut turut mempengaruhi cara memperoleh mistik tersebut, khususnya di negara Indonesia. Seperti mengenai kultus sebagai ekspresi beragama yang cenderung tertutup dan merasa paling benar, proses munculnya adalah diawali dengan terjadinya perubahan kepribadian seseorang yang tiba-tiba drastis, suka menyendiri dan menjaga jarak dengan orang lain, kehilangan daya kritis, sensitif terhadap kritik, cenderung defensif yang berlebihan dan lama-lama menyakini pihak yang dikultuskannya dan bersedia diajak bunuh diri.
• Kehadiran mistik ke dalam budaya hukum, secara teori juga dapat dianalisis berdasarkan teori-teori mengenai prilaku masyarakat dan budaya. Budaya menjadi sarana penting bagi mistik untuk masuk menjadi bagian budaya hukum dikarenakan mistik mempengaruhi pola pikir manusia yang akhirnya akan mnucul dalam bentuk budaya atau kebudayaan, sementara kebudayaan memberi pengaruh pada hukum sehingga proses ini menjadi suatu budaya hukum, sebagaimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat bahwa hubungan antara kebudayaan dengan hukum digambarkan sebagai berikut :
"Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatannya lebih kongkret, seperti norma-norma, hukum dan aturan-aturan khusus semuanya berpedoman kepda sistem nilai budaya."


Berdasarkan hal ini, maka diketahui bahwa hukum dengan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat, yaitu hukum merupakan kongkretisasi dari nilai-nilai budaya suatu masyarakat, dengan kata lain hukum merupakan penjelmaan dari sistem nilai-nilai budaya masyarakat. Perkembangan analisis ini melahirkan istilah budaya hukum sebagai persenyawaan antara variable hukum dan kebudayaan.
Berikut beberapa teori yang menjelaskan cara mistik masuk ke dalam kebudayaan dan kemudian menjadi budaya hukum, diantaranya :
• Berdasarkan bentuk-bentuk karakteristik perilaku sosial yang dikemukakan oleh Max Weber yaitu : Pertama perilaku sosial masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai rasional dan berorientasi terhadap suatu tujuan. Kedua, bahwa prilaku sosial dapat diklasifikasikan oleh kepercayaan secara sadar pada arti mutlak perilaku. Ketiga, perilaku sosial yang diklasifikasikan sebagai suatu yang bersifat afektif atau emosional. Keempat, merupakan prilaku sosial yang dikalsifikasikan sebagai tradisonal yang telah menjadi adat istiadat. Berdasarkan prilaku sosial masyarakat tersebut, dapat dianalisis bahwa mistik juga merupakan suatu prilaku sosial yang cenderung bersifat emosional dan tradisional yang kemudian menjadi bagian dari budaya.
• Menurut teori dari Robert K. Merton dijelaskan bahwa magis atau mistik atau ritus kepercayaan tertentu maupun kepercayaan bersifat fungsional memberi efek terhadap jiwa atau kepercayaan diri bagi mereka yang memang mempercayainya. Dengan demikian, mistik dianggap mampu mempengaruhi suatu maryarakat sehingga dapat diartikan juga mempengaruhi budaya masyarakat tersebut.
• Berdasarkan inti teori Von Savigny : "semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa yang biasa tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk yakni bahwa hukum itu mulai-mula dikembangkan oleh adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum. Baru kemudian oleh yurisprudensi, jadi dimana-mana oleh kekuatan dalam yang bekerja diam, tidak oleh kehendak sewenang-wenang dalam pembuatan UU. Von Savigny menekankan bahwa setiap masyararakat mengembangkan hukum kebiasaanya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat (termasuk kepercayaan) dan konstitusi yang khas Dengan demikian, apabila suatu mistik telah menjadi kepercayaan suatu masyarakat (seperti munculnya aliran keagamaan atau aliran politik) maka dapat berarti mistik menjadi kebiasaan dalam masyarakat tersebut, dimana kebiasaan tersebut mampu mengembangkan suatu hukum.
• Bahkan berdasarkan Teori Max Weber lainnya, dijelaskan bahwa dalam perkembangan hukum sehingga samapai kepada bentuknya yang sekarang ini, dominasi dalam masyarakat bertolak dari struktur yang karismatik dan tradisional menuju ke struktur yang legal rational. Adanya kharismatis yang berunsur magis diakui oleh Weber sebagai faktor yang memberi sumbangan dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum


Dengan demikian, dari aspek epistemologinya, mistik dapat diperoleh melalui berbagai cara, seperti meyakinkan seseorang melalui pengkultusan, karisma, secara damai melalui pendekatan agama dan keyakinan termasuk melalui jalur partai politik, melakukan meditasi sampai dengan beberapa teori yang dikemukakan oleh para filosof dan sosiolog terkait dengan analisis teori yang mendukung argumentasi mengenai cara mistik masuk ke dalam kebudayaan dan kemudian menjadi budaya hukum


Manfaat telaah mistik dalam budaya hukum
Berdasarkan teori dari Ann Ruth Willner yang menjelaskan bahwa terhadap suatu kepemimpinan yang hanya berdasarkan suatu karistmatis belaka, dapat menimbulkan ciri-ciri bahwa : Pertama , adanya keyakinan bahwa sang pemimpin memiliki kualitas Istimewa yang superhuman. Kedua, para pengikutnya kehilangan kritisme terhadap pemimpinnya, bahkan cenderung memperlakukan pendapat atau sikap pemimpinnya sebagai suatu kebenaran. Ketiga, para pengikut memberikan loyalitas mutlak kepada para pemimpinnya dan Keempat, massa pengikut senantiasa memperlihatkan komitmennya yang emosional dan personal terhadap pemimpin. Dan hal ini menjadi salah satu faktor digunakannya mistik yang dikaitkan dengan suatu budaya masyarakat, karena lebih mempermudah suatu pihak menggunakan kharismatik dalam menentukan keberadaan kepemimpinannya pada suatu masyarakat.
Selain itu terdapat beberapa kegunaan mistik sebagai budaya hukum apabila dikaitkan dengan kegiatan baik dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum :
• Dapat dimanfaatkan oleh para politisi dalam meraih perhatian masyarakat yang pemahaman politiknya belum tinggi, sehingga dalam hal seperti pemilihan umum, partai politik atau seorang tokoh lebih mudah mempengaruhi pemilihnya melalui keyakinan, kultus maupun karisma yang semuanya merupakan mistik.
• Sifat subyektif dalam mistik menunjukkan kegunaanya lebih ditujukan kepada pihak-pihak yang menggunakan mistik tersebut. Seperti pengembangan aliran kebatinan ataupun aliran dalam agama yang mempengaruhi suatu partai politik.
• Disukai atau tidak, masuknya islam dan meluasnya penyebaran agama tersebut di Jawa maupun di wilayah lain, dilakukan secara damai tanpa harus berperang. Dikarenakan dalam penyebaran tersebut menggunakan upaya mistik sekaligus memberikan kepercayaan lain yang dianut untuk melebur pada islam, sehingga muncullah islam abangan ataupun islam mistik.
• Dalam pembuatan UU sekalipun, mistik yang telah menjadi suatu budaya dan memiliki suatu nilai yang mewakili suatu masyarakat tertentu, dapat diberikan perlindungan hukum. Sebagai contoh suatu mistik yang menjadi budaya dan bernilai sejarah serta menjadi mitos dalam kalangan masyarkat tertentu, diakui sebagai bagian dari Folklore masyarakat tersebut dan dilindungi melalui UU Hak Cipta.
• Bahkan tidak jarang, pengaruh keyakinan, sikap serta kebiasaan yang berasal dari mistik yang telah menjadi budaya hukum dapat berperan sebagai pendorong proses adaptasi dari suatu perubahan, sekaligus dapat pula berperan sebagai penghambat. Hal ini dapat dilihat, dari banyaknya budaya yang bernilai ekonomis yang apabila dilindungi akan membantu proses adaptasi dari suatu perubahan, misalnya dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual suatu masyarkat seperti Hak Cipta, atau sebaliknya menjadi penghambat apabila tidak dimanfaatkan secara positif.


Ditarik suatu sintesa bahwa, kegunaan utama dari mistik sebagai budaya hukum selain mempermudah sebagian pihak untuk mempengaruhi masyarakat melalui kharismatik dan pengkultusan baik dalam dunia politik dan keagamaan, namun juga dapat dimungkinkan dimanfaatkan secara positif seperti menjadi bagian dari folklore masyarakat tertentu, sehingga bernilai ekonomis dan dapat dilindungi oleh hukum.
Pada akhirnya, suatu kebudayaan, aspirasi, cita-cita dunia nilai-nilat, tetap merupakan variabel bebas yang turut menentukan penampilan kahir dari hukum. Demikian analisis melalui persfektif filsafat ilmu mengenai keberadaan mistik sebagai budaya hukum yang cukup mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia.


Penutup.
Kebudayaan mempengaruhi suatu hukum dalam suatu masyarakat. Mistik sebagai suatu pengetahuan yang mempengaruhi pola pikir manusia pada akhirnya akan muncul dalam bentuk budaya. Selanjutnya proses kebudayaan mempengaruhi hukum ini lebih dikenal sebagai suatu proses yang menjadi budaya hukum. Dengan demikian mistik pun dapat dikaitkan dan menjadi bagian dari budaya hukum.
Secara filosofis, keberadaan misitk dalam budaya hukum dapat dilihat dari 3 aspek yaitu, aspek ontologis yang menjelaskan bahwa mistik dalam budaya hukum merupakan mistik merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak didalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya.
Kemudian berdasarkan aspek epistemologis, mistik dapat diperoleh melalui berbagai cara, seperti meyakinkan seseorang melalui pengkultusan, karisma, secara damai melalui pendekatan agama dan keyakinan termasuk melalui jalur partai politik, melakukan meditasi sampai dengan beberapa teori yang dikemukakan oleh para filosof dan sosiolog terkait dengan analisis toeri yang mendukung argumentasi mengenai cara mistik masuk ke dalam kebudayaan dan kemudian menjadi budaya hukum.
Pada akhirnya, berdasarkan aspek aksiologis, kegunaan utama dari mistik sebagai budaya hukum adalah, selain mempermudah sebagian pihak untuk mempengaruhi masyarakat melalui kharismatik dan pengkultusan baik dalam dunia politik dan keagamaan sampai mempengaruhi pembentukan dan pelaksanaan hukum, namun juga dapat dimungkinkan dimanfaatkan secara positif seperti menjadi bagian dari folklore masyarakat tertentu, sehingga bernilai ekonomis dan dapat dilindungi oleh hukum.


Saran.
Apabila nilai mistik sebagai budaya memiliki nilai positif dalam arti memiliki keuntungan ekonomis sehingga berbentuk mitos dan kepercayaan masyarakat lokal dan pada akhirnya dapat dilindungi melalui perlindungan hukum terhadap folklore, maka keberadaan mistik masih tetap dapat dipertahankan.
Persoalannya menjadi pelik, apabila mistik sebagai suatu budaya tersebut setelah melalui prosesnya menjadi budaya hukum, terlalu dominan sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat, seperti dalam menentukan pilihan hukumnya pada pemilihan umum, atau wakil rakyat dalam menentukan ketentuan hukum apa yang perlu diatur. Hal ini dapat menjadi penghambat perkembangan hukum dalam beradaptasi pada perubahan dan kemajuan dunia. Oleh karenanya, keberadaan mistik sebagai suatu budaya hukum, harus ditempatkan pada posisi yang tepat, seperti hanya sebagai alat untuk mempengaruhi menjelang adanya pilihan hukum, tidak pada saat melakukan pilihan hukum dalam pemilihan umum ataupun harus disertai dengan upaya pembuktian hukum yang tepat jika akan menjadi bagian ketentuan tertulis, seperti pengaturan mengenai santet dalam KUHPidana.
Daftar Pustaka
Buku :
Ahmad Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu : mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Cita Citrawinda Priapantja. 1999. Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi. Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi. Jakarta : Chandra Pratama.
Eman Suparman. 2004. Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan. Jakarta : PT. Tatanusa.
Hajriyanto. Y. Thohari. 2002. Kepemimpinan Nasional : antara Primordialisme dan Akuntabilitas. Dalam buku Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat L: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta : LP3ES.
Harold H. Titus, et al. 1984. Pesoalan-Persoalan Filsafat. (alih Bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi). Jakarta : PT. Bulan Bintang.
J.W.M. Bakker. Sj. 1984. Filsafat Kebudayaan : Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Kanisius.
Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT. Dian Rakyat.
--------------------. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia.
Lawrence. M. Friedman. 2001. American Law : An Introduction. Hukum Amerika : Sebuah Pengantar (alih bahasa Wishnu Basuki). Jakarta : Tatanusa.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung : CV. Mandar Maju.
Moh. Mahfud MD. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : PT. Pustaka LP3ES.
Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
--------------------. 2003. Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas.
Soerjono Soekanto et al. 1994. Antropologi Hukum : Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Jakarta : CV. Rajawali.
Soerjono Soekanto. 1985. Seri Pengenalan Sosiologi 1 : Max Weber, Konsep-Konsep Dasar Dalam Sosiologi. Jakarta : Rajawali Pers.
Soerjono Soekanto. 1989. Seri Pengenalan Sosiologi 10 : Robert K. Merton, Analisa Fungsional. Jakarta : Rajawali Pers.
W. Friedmann. 1994. Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan (Susunan II). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.


Dokumen lainnya :


Chamzawi. Munculnya Aliran Kebatinan.
http://www.yarsi.ac.id/kolom_chamzawi/detail.php?id=8. diakses tanggal 04 Oktober 2004
Falun Gong, Komunisme dan Aquaria". Majalah Tempo. CD. Room . Vol. 3. Edisi No. 24/XXVIII/16-22 Agustus 1999. Bagian Selingan
http://kompas.com/kompas-cetak/0403/21/pemilu/920904.htm. Analisis Pemilu : Perubahan Signifikansi Politik Aliran. Minggu 21 Maret 2004., diakses tanggal 29 September 200
Kelik. M. Nugroho. "Obat itu bernama Kultus. Majalah Tempo. CR-Rom. Vol. 2. Desember 1998 bagian Agama
Kompas 27 Desember 2003. Opini. Abd A'la. "Mitos dalam Politik, Ancaman bagi Demokrasi Substansial
Pusat Bahasa Departemen P dan K. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Republika. 27 Agustus 2001. Kuntowijoyo. "Mitos, Ideologi, dan Ilmu : Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan".
Tim Tata Nusa. Juli 1999. Kamus Istilah : Memuat Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia 1945 – 1998. Jakarta : PT. Tatanusa Indonesia.